Cerpen “Kutarik Doaku dan Aminkan Doa yang Lain”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom SASTRA – Cerpen berjudul “Kutarik Doaku dan Aminkan Doa yang Lain” ini merupakan karya Diantika IE, seorang penulis dan pengarang asal Ciamis, Jawa Barat. Ia juga aktif sebagai Ketua Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Indonesia.
Ramadan hampir habis. Kesempatan untuk merayu Allah dengan mudah semakin menipis. Walaupun setiap hari selalu ada kesempatan untuk meminta dan berdoa kepada-Nya, tetapi Ramadan adalah bulan terhebat untuk melantunkan doa-doa.
Termasuk Ramadan kali ini, aku begitu banyak melangitkan doa-doa yang aku biarkan terbang ke langit pada malam-malam yang kupercayai begitu penuh berkah. Sesaat sebelum berbuka puasa pun aku menggumamkannya.
Suaraku lirih nyaris tak terdengar karena memang (harusnya) hanya aku yang tahu doa-doa ini. Rahasia terbesar yang selama ini aku pendam, hanya aku dan Allahlah yang tahu urusannya serumit apa. Seperih dan senangis apa ketika aku memohon berulang-ulang kepada-Nya.
Doa itu selalu kugelontorkan kepada Yang Maha Kuasa sejak beberapa bulan lalu. Namun, bulan ini aku percepat ritmenya agar semuanya dikabulkan.
Sayangnya, beberapa hari terakhir aku menyadari bahwa doa-doa ini tidak lagi harus kuulangi. Doa ini adalah manifestasi kesakitanku pada masa lalu yang teramat ingin aku kirimkan kepada mereka yang telah nyata membuangku dari segala bentuk kebahagiaan yang menurutku begitu layak aku nikmati.
Masih terasa perih kurasa ketika mereka mengusirku dengan tiba-tiba. Caranya yang membuatku merasa hina dilakukan beramai-ramai oleh orang-orang yang selama ini aku percayai dan aku sayangi. Bahkan, aku perjuangkan agar mereka jauh lebih sejahtera.
Ya, nyatanya aku hanyalah seorang pemimpin bodoh yang diakal-akali oleh teman seperjuangan yang tidak suka dengan caraku memimpin.
“Kau terlalu idealis! Kami tidak suka caramu!” Ujar Dean.
Dean tidak mau diajak lembur, walaupun deadline mepet dan keahliannya sangat diperlukan. Baginya, bekerja sesuai jam yang telah ditentukan adalah hal yang paling adil bekerja di perusahaan ini.
“Target ya terget. Bukankah itu memang tugasmu yang memang memiliki tanggung jawab penuh? Kenapa harus melibatkan kami?” Kata Melan si paling modis dan senang belanja.
Melan terlalu masa bodoh. Setelah melakukan apa yang menjadi tugasnya, dia enggan diajak menyelesaikan misi bersama yang perlu dilakukan secara tim.
“Kau hanya pecundang yang terlalu bekerja keras menggaungkan ketercapaian visi misi yang ada di dalam perusahaan ini,padahal mengejar dan mewujudkannya tidak harus sekeras itu,” kata Indah, perempuan cerdas berparas cantik yang sering merasa sia-sia jika waktu mudanya dihabiskan untuk bekerja karena menurutnya semua orang berhak menikmati libur dan pulang ‘tepat waktu’.
“Kau terlalu disiplin hingga melupakan caranya bersenang-senang,” ledek Tito yang menjadi andalanku selama ini karena dia memiliki kecepatan berpikir dan bertindak yang lebih unggul dibandingkan yang lainnya.
Ketika aku merasa lelah, Titolah tempat aku bisa berbagi peran. Dia orang yang cukup diandalkan. Lantas aku?
Aku hanyalah seorang korban yang selalu mau menerima semua perkataan teman-teman kerjaku. Semua yang mereka bilang memang benar. Semua berhak menikmati liburan, berhak pulang tepat waktu dan pulang ke rumah secepat mungkin dan menghabiskan waktu bersama orang-orang terkasih. Bahkan, semua orang sangat berhak bersenang-senang; nongkrong, shoppingatau nonton sinema. Namun, apa kabarnya dengan tanggung jawab?
Menjadi leader memang serba salah. Diberi tugas untuk memastikan semuanya baik-baik saja adalah tugas yang menuntut seorang leader bisa melakukan segalanya. Semua tugas yang seharusnya sudah dibagi perbagiannya, malah harus diselesaikan sendirian pada masa-masa deadline yang semakin mepet. Sementara mereka?
“Saya mohon, ajuan saya untuk menaikan upah karyawan dikabulkan, Pak! Ini salah satu usaha agar mereka lebih produktif lagi,” pintaku pada atasan suatu waktu.
“Kami usahakan, Bu. Semoga dengan begini akan membuat mereka semakin bersemangat ya,” jawab atasanku sambil tersemyum memberikan semangat.
Jawaban atasanku itu sedikit membuatku merasa lega dengan harapan ini akan berhasil membuat mereka sedikit lebih bersemangat dan lebih cepat dalam menjalankan tugas-tugas.
***
Hari itu adalah hari yang sangat menyengankan bagi karyawan Tri Tunggal Unggul, terutama divisi pemasaran. Upah meningkat signifikan. Senyum-senyum tergambar di wajah reka-rekan kerjaku.
Aku menghela napas panjang ketika melihat rekeningku, jumlahnya sama saja.
“Maaf ya, Bu. Upah ibu, belum bisa kami up. Mohon mengerti jika….“
“Saya paham, Pak. Tidak perlu memberikan lagi penjelasan. Saya cukup paham tentang kondisinya. Saya sangat berterima kasih atas apa yang sudah terjadi kepada teman-teman. Sayaberharap, saya tidak lagi menjadi kambing hitam ketika target molor. Saya juga punye keterbatasan, Pak!”
Sebenarnya aku sangat ingin memprotes banyak hal. Ingin berteriak sejadinya. Menuntut training karyawan yang dijanjikan bertahun lamanya. Selain dinaikan upah, karyawan pun perlu pembinaan rutin. Bukan hanya tugas manager untuk memperbaiki kualitas dan skill SDM di sini. Selalu kalimat pembelaan itu ada di benakku dan ingin berulangkali dikatakan. Namun, ya sudahlah.
“Sabarlah sebentar saja, kerja keras sebentar lagi kita kaan mendapatkan hasilnya,” ucapku mencoba menyemangati dan menepis keluhan-keluhan rekan kerja.
Deadline mepet, atasan sudah mengamuk berkali-kali di ruanganku. Aku hanya memohon, “Please, sebentar lagi. Yuk bekerja sama, kita sleesaikan.”
Malam semakin larut ketika aku masih mengerjakan beberapa dokumen dengan terkantuk-kantuk. Kepalaku sudah sangat berat, telat makan. Hanya dua keping roti yang mengganjal perutku tadi pagi.
Sekadar hiburan, aku men-scroll media sosial. Setelah itu barulah aku akan menunaikan salat Isya dan beristirahat. Badanku sudah tidak bisa diajak kompromi. Beruntung sebelumnya sudah bagi-bagi tugas. Besok pagi pukul sembilan tepat semua dokumen harus selesai.
Aku meyempatkan menyapa teman-teman.
“Dean, sudah sampai mana pekerjaan kita yang menjadi tugasmu? Semangat ya!” Aku menulis pesan itu di whatsapp dan tidak lupa aku membubuhkan emo senyum.
“Mel, kalau sudah selesai kirim file-nya ya. Biar besok bisa di-print sepagi mungkin,” perintahku kepada Mellan yang tidak langsung mendapatkan jawaban.
Beberapa teman yang sudah kekasih tugas sesuai bagiannya pun sudah kukirimi pesan yang sama bahwa mereka harus segera mengirim file laporan secepatnya karena sudah sangat larut malam.
Pukul 22:30 aku meninggalkan ruang kerja untuk sujud dan meminta kekuatan. Setelah salat, aku berharap sudah ada file yang mendarat dan bisa kugabungkan dengan apa yang sedang kuselesaikan. Namun, tiba-tiba aku mendapati status WA yang sama.
“Mereka malah nonton film terbaru di bioskop?”
Aku menjerit tanpa suara. Memekik, bikin susah napas. Aku mulai panik dan memanggil satu persatu nomor telepon mereka, tetapi tidak ada jawaban.
***
Waktu berlalu.Malam itu sama sekali aku tidak tidur. Sampai fajar menyingsing tidak ada satu pun file yang masuk ke email-ku. Aku berusaha menyelesaikan semuanya sendirian ditemani detak jarum jam yang berpacu dengan denyut jantungku yang semakin tidak karuan.
Apa yang akan terjadi jika ini tidak selesai sesuai target? Bisik kepalaku berkecamuk.
***
“Kami kecewa dan merasa salah pilih sudah menunjuk Anda sebagai leader. Hari ini juga dengan berat hati kami memberhentikan Anda. Terima kasih atas kerja samanya selama ini,” ucap atasanku dengan wajah dingin.
Indra pendengaranku terasa sakit menembus ke ulu hati. Seketika langit terasa runtuh. Air mataku berlinang. Bibirku terkunci rapat. Bingung apa yang harus aku katakan.
Aku keluar dari ruangan Pak Bos dengan langkah gontai,disambut dengan tepuk tangan Dean dan semua bawahanku. Senyum sinis tergambar di wajah mereka. Aku berjalan melewati mereka dengan sisa tenaga.
“Semoga Tuhan mendatangkan penggantimu yang lebih bisa diajak party-party,” bisik Melan yang membuat hatiku semakin pedih.
Belakangan aku menjadi paham bahwa mereka memang telah merencanakan semuanya dengan didalangi Tito yang memang menginginkan posisiku.
Sejak saat itu doa-doa itu terlantun,melangit setinggi-tingginya. Aku meminta Tuhan membalaskan kesakitanku yang terasa terakumulasi selama bertahun-tahun bekerja dengan mereka, orang-orang terjahat yang berkompromi untuk membuatku pergi. Termasuk doa spesial untuk atasanku agar terbuka mata hatinya dan menyadari siapa sebenarnya yang telah bekerja keras selama ini untuk perusahaannya.
Aku!
***
Ramadan hampir habis. Kesadaranku pulih. Aku yang terpuruk, putus asa, dan merasa jatuh miskin karena dipecat dari tempatku bekerja akhirnya memutuskan untuk menarik doa-doa. Menyembunyikannya di laci lemari untuk kulupakan atau kubuka kembali sesekali.
Yang pasti, kali ini aku ingin belajar untuk lebih bahagia dengan caraku sendiri dan berharap luka ini sembuh meski aku tahu ini butuh waktu seribu tahun lagi. (Diantika IE)
***
Judul: Kutarik Doaku dan Aminkan Doa yang Lain
Pengarang: Diantika IE
Editor: JHK