Satu Bangku Sekolah untuk Masa Depan
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI/ARTIKEL/FEATURE, Rabu (02/07/2025) – Artikel berjudul “Satu Bangku Sekolah untuk Masa Depan” merupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Ciremai, tinggal seorang anak laki-laki bernama Rizki berusia 13 tahun. Ia seharusnya duduk di bangku kelas VIII SMP tahun ini. Namun, pagi-pagi buta, ia bukan berangkat sekolah seperti teman-temannya yang lain. Ia justru sibuk membantu ibunya menjemur kerupuk untuk dijual ke pasar. Ayahnya tak lagi bekerja tetap sejak pandemi melanda. Sekolah kini menjadi barang mewah dalam kamus keluarganya.

Suatu hari, ibunya berkata lirih, “Kalau Rizki masuk sekolah lagi, kita makan apa besok?”
Rizki diam. Ia mengerti, sekolah memang penting, tapi nasi di piring lebih mendesak hari ini.
Cerita Rizki bukan cerita tunggal. Ada ribuan anak di Jawa Barat yang menghadapi kenyataan serupa. Mereka bukan tak mau sekolah, tetapi keadaan memaksa mereka menepi. Namun, harapan belum pupus.
Pada 19 Juni 2025, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menerima Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Mereka membahas langkah konkret untuk mengurangi angka putus sekolah, melalui penambahan kuota rombongan belajar melalui SPMB 2025. Artinya, lebih banyak kursi akan tersedia untuk anak-anak seperti Rizki.
Langkah ini adalah angin segar, tetapi tentu saja hal ini baru permulaan, sebab persoalan putus sekolah tak hanya tentang kursi yang tersedia. Ini soal isi dapur, soal ongkos jalan, soal seragam dan buku, soal beban hidup yang tak ringan.
Guru besar dari UPI, Prof. Dadan Wildan menyatakan bahwa solusi kuota saja tidak cukup.
“Akar persoalannya adalah kemiskinan struktural dan kurangnya perlindungan negara terhadap hak pendidikan anak-anak,” ujar Prof. Dadan dalam wawancara dengan media.
Ketika ruang kelas diperluas dari 36 menjadi 50 siswa, sebagian anak bisa kembali belajar. Namun, para guru menghadapi tantangan baru. Kelas menjadi lebih padat. Suasana belajar berubah. Guru harus membagi perhatian lebih luas. Kadang, anak-anak seperti Rizki masih juga tenggelam dalam keramaian.
Pendidikan adalah hak, bukan perlombaan rebutan bangku. Bila akar kemiskinan tidak ditangani maka upaya ini hanya menjadi perban sementara bagi luka yang dalam.
Namun, kita tak boleh menyerah. Solusi harus datang dari banyak arah. Dari sisi ekonomi, orang tua butuh pekerjaan yang layak agar bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Dari sisi politik, negara perlu memperbesar anggaran pendidikan, membangun lebih banyak sekolah, dan menggratiskan biaya sekolah secara merata.
Masyarakat juga bisa berperan. Siapa pun yang memiliki kemampuan lebih, bisa menyumbang melalui beasiswa, donasi, atau program pengajaran sukarela. Semua lapisan masyarakat bisa berkontribusi mengambil bagian dalam gerakan ini sesuai kemampuan masing-masing.
Dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan dasar yang dijamin oleh negara. Bahkan, Rasulullah Saw. menjadikan pendidikan sebagai bagian dari misi dakwahnya. Ketika tawanan perang Badar dibebaskan dengan syarat mengajarkan baca-tulis, itu adalah bukti bahwa pendidikan adalah prioritas sejak awal Islam berdiri.
Allah Swt. Berfirman, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Q.S. Al-Mujadilah: 11).
Kisah para pemimpin Islam terdahulu menunjukkan bagaimana negara hadir sebagai penanggung jawab pendidikan. Semua rakyat mendapat hak yang sama, tanpa diskriminasi dan pungutan apa pun.
Rizki masih menunggu. Di matanya, sekolah bukan hanya ruang kelas, tetapi jendela dunia. Ia ingin menjadi guru suatu hari nanti. Ia ingin anak-anak di desanya kelak tak perlu lagi memilih antara makan dan belajar.
Semoga setiap kebijakan yang dilahirkan, setiap rombel yang ditambah, setiap sekolah yang dibuka, benar-benar mengantar anak-anak seperti Rizki pada masa depan yang lebih cerah. Sebab ketika satu anak kembali ke sekolah, kita sedang membangun peradaban. Satu huruf demi satu harapan.
***
Judul: Satu Bangku Sekolah untuk Masa Depan
Penulis: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: JHK