ArtikelBerita Jabar NewsSosial

Rekahan

BERITA JABAR NEWS (BJN)Artikel “Rekahan” adalah karya tulis Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial.

Tadi pagi saya dikirimi video oleh sahabat yang sering berdiskusi dengan saya. Video berdurasi dua menit dan 11 detik itu membahas tentang hati yang patah dan terluka, disampaikan dengan lugas dan sangat tenang oleh Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag.

Seperti yang saya ketahui, Dr. Fahruddin saat ini bekerja sebagai Dosen Aqidah Filsafat Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan juga sebagai Dosen tamu di Universitas Sahid Jakarta sejak 2016 sampai sekarang. Selain itu beliau  juga sering mengisi pembicaraan Kajian Filsafat di Masjid Jenderal Soedirman, Yogyakarta.

Filsafat sangat berguna untuk kehidupan manusia, mulai dari cara pandang sampai cara menghadapi masalah yang meliputi hal-hal mendasar tentang persoalan, seperti eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, pikiran, dan bahasa.

Seorang pria menyendiri
Ilustrasi: seorang pria yang menyendiri karena hatinya kecewa, sedih dan terluka – (Sumber: Pixabay.com)

Dr. Fahruddin Faiz M.Ag. menjelaskan bahwa hati yang patah dan terluka dapat menimbulkan rekahan dan secara harfiah rekahan merupakan kerusakan mekanik pada batuan, berasal dari tegangan yang dihasilkan di sekitar kerusakan, heterogenitas dan diskontinuitas fisik. Dibalik kerusakan  mekanik pada batuan, rekahan menimbulkan celah yang menyebabkan cahaya bisa menerobos masuk. Metafora ini dapat diartikan dalam berbagai konteks, termasuk dalam kiasan atau analogi filosofis.

Dalam pengertian filosofis, “rekahan masuknya cahaya” dapat diinterpretasikan sebagai kesempatan atau momen ketika terdapat peluang baru untuk mendapatkan wawasan atau pemahaman yang lebih dalam tentang suatu hal. Ini bisa merujuk pada seseorang saat memiliki pengalaman atau kesadaran baru yang membawa pencerahan atau pengertian yang lebih mendalam tentang kebenaran atau realitas.

Metafora ini juga dapat mencerminkan ide tentang kebenaran yang sebagian besar tersembunyi atau tidak jelas, tetapi dapat diakses melalui refleksi mendalam atau pengamatan yang cermat. Dengan memanfaatkan “rekahan masuknya cahaya”, seseorang dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia atau eksistensi.

Dalam beberapa konteks agama atau spiritualisasi, “rekahan masuknya cahaya” bisa merujuk pada momen pencerahan atau pengalaman rohaniah yang mendalam yaitu ketika seseorang merasa terhubung dengan kekuatan atau pengetahuan yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, “cahaya” mungkin mewakili iluminasi atau pencerahan spiritual.

Iluminasi atau pencerahan sosial adalah proses ketika individu atau masyarakat secara kolektif memperoleh pemahaman atau wawasan baru yang lebih mendalam tentang masalah-masalah sosial atau kebenaran-kebenaran fundamental mengenai kehidupan manusia. Ini sering kali melibatkan kesadaran mendalam tentang hak asasi manusia, keadilan, kesetaraan, dan nilai-nilai sosial yang penting.

Pencerahan sosial bisa terjadi melalui pendidikan, diskusi, pengamatan langsung atas realitas sosial, atau melalui pengalaman hidup yang mengubah pandangan seseorang. Hal ini sering kali terkait dengan upaya untuk mempromosikan perubahan sosial positif, memerangi ketidakadilan, atau memajukan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Pencerahan sosial juga dapat melibatkan proses introspeksi individu dan refleksi mendalam tentang nilai-nilai dan keyakinan pribadi, serta bagaimana hal-hal tersebut memengaruhi pandangan dan tindakan dalam konteks sosial. Secara umum, iluminasi atau pencerahan sosial adalah suatu proses di mana individu atau masyarakat mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang isu-isu sosial yang kompleks dan penting dengan tujuan untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat.

Patah dan terlukanya jiwa dikaitkan dengan dapat masuknya cahaya pada patahan yang hakikinya merupakan perjalanan menuju Dia, Sang Pencipta alam semesta mengandung metafora filosofis yang menghubungkan pengalaman penderitaan atau “luka” emosional dengan kesempatan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam atau pencerahan rohaniah.

menyendiri
Menyendiri mencari ketenangan jiwa – (Sumber: Sage Friedman on Unplash

Patah dan terlukanya jiwa merujuk pada pengalaman emosional atau spiritual yang menyakitkan atau memilukan, bisa berupa rasa kehilangan, kesedihan mendalam, penderitaan, atau krisis rohaniah.

Kemudian  masuknya cahaya pada patahan menggambarkan bahwa dalam saat-saat kesulitan atau penderitaan, ada potensi untuk mendapatkan wawasan atau pencerahan baru. Cahaya di sini bisa diartikan sebagai pemahaman yang lebih mendalam atau pengalaman spiritual yang memperkaya jiwa.

Hakikat patahan, mengacu pada inti atau kebenaran yang tersembunyi dalam penderitaan atau krisis tersebut. Ini adalah esensi atau kebenaran mendalam yang mungkin tersembunyi di balik lapisan kesakitan atau patah hati.

Lalu perjalanan ini berujung pada Sang Pencipta ketika manusia berkata  dengan tulus bahwa dia  tidak bisa atasi  itu  lalu memohon pada Allah SWT untuk hadir menemani dirinya ketika marah, takut, benci, dan patah hati. Ini merujuk pada proses pencarian atau perjalanan spiritual yang bertujuan untuk mencapai kesatuan dengan Sang Pencipta, yang bisa diartikan sebagai Tuhan atau kebenaran rohaniah.

Melalui pengalaman penderitaan atau krisis emosional, ada potensi untuk mendapatkan pemahaman atau pencerahan baru yang bisa memperkaya jiwa. Patah hati atau luka batin tidak hanya merupakan penderitaan semata, tetapi juga merupakan kesempatan untuk mendalami hakikat eksistensi dan mencapai kedekatan dengan kebenaran rohaniah atau Sang Pencipta. Pengalaman luka dan patah hati bisa dianggap sebagai bagian dari perjalanan spiritual menuju pencerahan atau kesatuan dengan keberadaan rohaniah yang lebih tinggi.

Ketika proses yang diuraikan di atas berhasil kita lalui dengan baik maka kita akan mencapai level dapat menerima situasi tanpa menghakimi dan menyadari bahwa hal yang hakiki adalah perjalanan menuju Dia. Ungkapan ini mengacu pada upaya individu untuk mencari, mendekati, atau mencapai hubungan yang lebih dalam dengan keberadaan rohaniah yang lebih tinggi atau Allah SWT.

Dalam berbagai tradisi keagamaan, “Dia” dapat merujuk kepada “Tuhan” atau “kekuatan yang dianggap sebagai pencipta dan pengaruh utama di balik alam semesta”. Perjalanan yang hakiki ini sering kali melibatkan berbagai tahap dan praktik, seperti meditasi, doa, refleksi, dan pengabdian. Tujuannya adalah untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang eksistensi, tujuan hidup, dan keberadaan rohaniah yang lebih tinggi. Proses ini juga dapat melibatkan pertumbuhan spiritual, transformasi pribadi, dan pencarian kebenaran yang lebih tinggi.

Penting untuk diingat bahwa “perjalanan yang hakiki menuju Dia” adalah pengalaman yang sangat individual dan dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara berdasarkan keyakinan dan pendekatan spiritual masing-masing individu. Itu bisa menjadi pencarian yang penuh makna dan memberikan tujuan dan makna dalam kehidupan seseorang. (Febri S.Y.)

***

Judul: Rekahan
Penulis: Febri Satria Yazid, pemerhati sosial.
Editor: JHK

Catatan:

Tulisan ini  bisa juga Anda baca di blog pribadi penulisnya Febrisatriayazid.blogspot.com dan atas seizin penulis diterbitkan kembali di BERITA JABAR NEWS.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *