Nasib Sungai Cimanuk
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI/Artikel, Senin (19/08/2024) – Artikel bertajuk “Nasib Sungai Cimanuk” ini adalah karya tulis Asep Sulaeman yang berprofesi sebagai Ketua Umum Asgar Jaya.
Sebelum membahas ke topik problematika Sungai Cimanuk, saya akan mencoba menyampaikan opini saya mengenai arti dari sebuah kemerdekaan.
Saya memaknai kemerdekaan saat ini adalah “kebebasan dari rasa takut atau khawatir” (Freedom from Fear). Dengan kata lain kalau sudah “Merdeka”, rakyat tidak hawatir untuk mendapatkan keadilan, tidak hawatir untuk berpendapat, tidak hawatir untuk mendapat pendidikan, tidak hawatir untuk mendapat pekerjaan, tidak hawatir besok bisa makan, tidak hawatir kepada para pemimpin karena pemimpinnya akan menjalankan amanah dengan sejujurnya, tidak hawatir atas keamanan dan keselamatan, dan lain-lain kehawatiran.
Jadi kesimpulannya selama masih ada rasa kehawatiran dalam kehidupan bangsa ini berarti kita belum “Merdeka secara Paripurna”. Mungkin sebagian di antara kita sudah merasa “Merdeka”, tetapi sebagian besar saudara-saudara kita kehidupannya masih serba tertinggal.
Apakah warga Garut saat ini sudah merasa “merdeka” dengan keberadaan Sungai Cimanuk yang membelah wilayahnya? Atau masih dihantui oleh rasa hawatir akan muncul kembali bencana banjir dan longsor di sepanjang daerah aliran sungai yang mereka banggakan?
Problematika Sungai Cimanuk
Sedikit gambaran tentang kondisi riil Sungai Cimanuk yang membelah Kota Garut saat ini dan mungkin juga ini curhat dari seorang Asgarian
Sungai Cimanuk yang dulu kita kenal sebagai sungai Iconic yang membelah kota Garut, penuh pesona keindahan kini sudah berubah penampakannya. Dulu kita bisa mencari insprirasi, bercengkrama, main air dan menikmati keindahan aliran Cimanuk serta pemandangan indah di sekitarnya.
Kini wajah Cimanuk tidak seperti dulu, wajahnya garang penuh luka karena ulah manusia.
Sebagai seorang pensiunan geologist, saya setiap lewat ke arah Bayongbong dan Cisurupan sering mengamati dari jauh kondisi lingkungan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) hulu Cimanuk. Saya menyimpulkan sendiri bahwa DAS Cimanuk sudah mengalami kondisi sangat kritis yang masif. Bayangan saya Sungai Cimanuk bukan sebagai tempat mencari Inspirasi dan rezeki bagi warga Garut, tapi ini adalah sumber bencana dan malapetaka.
Kondisi lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk menurut pandangan saya adalah sebagai berikut:
Pertama, sebagian besar sudah mengalami alih fungsi lahan yang mana lahan-lahan yang seharusnya menjadi lahan perhutani kini dijadikan lahan perkebunan sehingga mengakibatkan erosi dan penyempitan/pendangkalan anak-anak sungainya;
Kedua, pertanian intensif tanaman palawija sepanjang DAS tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air sehingga memperparah kondisi lingkungan, memberikan kontribusi besar dalam penurunan daya dukung lingkungani;
Ketiga, Hutan Lindung di Garut di eksploitasi tidak terkendali tanpa memperhatikan kondisi lingkungan;
Keempat, penggunaan teknologi pertanian yang tidak tepat mengakibatkan peningkatan air limpasan erosi dan kurangnya penyerapan;
Kelima, pemukiman penduduk sepanjang DAS tidak ditata dan diatur, dan;
Keenam, pembanguna/perluasan Kota Garut juga tidak memakai kaidah-kaidah environtmental sustainability yang terintegrasi.
Semua hal tersbut merupakan sumber bencana banjir dan tanah longsor. Banjir bandang bukan hanya bisa terjadi di aliran utama Cimanuk, tapi juga di sungai-sungai kecil di atasnya. Tidak perlu heran kalau tetjadi banjir bandang di daerah Bayongbong, Munjul atau Maktal, apalagi di Kota Garut, seperti pernah terjadi banjir besar di tahun 2016 lalu.
Saat ini apabila hujan turun di daerah catchment area DAS Cimanuk bagian hulu yang luas, mungkin lebih dari 90% akan segera dialirkan ke bawah tanpa resistensi dan preservasi. Dengan terjadinya pendangkalan dan penyempitan anak-anak sungai maka air akan meluap di daerah hulu dan tentu akhirnya terjadi banjir besar sampai ke hilir, seperti di sekitar aliran Garut kota. Bahkan, sampai ke daerah Sumedang dan Indramayu.
Untuk di Kota Garut sendiri, flood plain area menjadi luas karena debit air yang besar dan pendangkalan/penyempitan aliran sungai maja muka air sungai meninggi. Di kota Garut flood plain area sudah dipenuhi pemukiman yang padat, bencana hampir pasti terjadi hanya menunggu masalah waktu, khususnya ketika hujan besar atau curah hujan tinggi dan dalam waktu yang relatif lama di bagian hulu Sungai Cimanuk terjadi. Waspadalah!
Usaha yang dilakukan saat ini untuk menanggulangi banjir/banjir bandang adalah dengan membuat/meninggikan tanggul di sepanjang aliran sungai tanpa koordinasi, tanpa mengindahkan estetika. Malahan di daerah flood plain sudah dijadikan area komersial dan perumahan. Bahkan, dijadikan kantor pemerintahan. Oleh karena itu pinggir sungai Cimanuk, maaf, sudah bopeng-bopeng, tidak ada sedikitpun tersisa kenidahan wajah Cimanuk. Pada musim kemarau, Air Sungai Cimanuk akan menyusut sangat kecil, ditambah dengan sampah-sampah plastik yang dibuang serta limbah-limbah lainnya dibuang ke sungai menambah kesereman sungai Cimanuk,
Saya belum melihat usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaiki ekosistem DAS Cimanuk di daerah hulu. Seperti kita ketahui wewenang pemeliharaan DAS ada di pemerintah pusat tepatnya di Kementerian PUPR untuk urusan hutan ada di Pemerintah Provinsi Jawa Barat, soal Pelestarian Lingkunngan entah siapa yang bertanggung jawab. Bupati Garut dalam membangun biasanya hanya memikirkan program jangka pendek dan JANGKA IMAH untuk mulangin modal.
Oh, betapa malangnya Tjimanoek-ku Doeloe.
***
Judul: Nasib Sungai Cimanuk
Penulis: Asep Sulaeman
Editor: JHK