Cerpen “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 3”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra – Cerpen berjudul “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 3” merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama pena “Violet Senja”. Cerpen sebelumnya bisa Anda lihat di sini: “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 1” dan “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 2”.
Liburan Berujung Syahadat
Sinar mentari pagi menyapa wajahku melalui ventilasi udara di atas jendela kamar. Kicau burung pipit terdengar dari balik jendela kaca yang masih tertutup rapat. Kuraih telepon seluler (ponsel) untuk melihat waktu. Sudah pukul 7:30, bisikku dalam hati.
Aku bangun dan berdiam sejenak. Ekor mataku melirik Alquran yang telah mengusik ketenanganku. Kedua tanganku menyapu wajah yang belum sempurna terbangun dari mimpi semalam. Kutarik napas dalam sebelum benar-benar beranjak dari tempat tidur. Saat aku membuka pintu kamar, Enyak sedang menata meja makan.
“Udeh bangun Neng?” Sapa Enyak padaku.
“Pagi Nyak,” jawabku, sapaan yang biasa kuucapkan kepada mama saat di rumah.
Enyak hanya tersenyum melihatku.
“Icha di mana Nyak?” Tanyaku balik bertanya.
“Icha di depan sama Babe. Rencana mau ke kandang kambing siang ini. Neng mau ikut?” Jawab Enyak sekaligus mengajakku menuju kandang kambing peliharaan keluarga mereka.
“Kandang kambing? Untuk apa?” Tanyaku dengan nada bingung.
“Beberapa hari lagi Idul Adha, Neng. Jadi si Icha sama Babe mau pilihin kambing-kambing yang cocok untuk hewan kurban,” papar Enyak menjawab pertanyaanku.
Setelah sarapan bersama, Icha dan Babe membawaku ke kandang kambing milik mereka, jaraknya tidak terlalu jauh. Kambing-kambing mereka dirawat oleh warga setempat.
“Untuk apa kambing-kambing ini?” Tanyaku dan Icha memberikan penjelasan yang sama seperti yang diutarakan Enyak tadi pagi.
“Apa makna dari semua itu?” Tanyaku penuh selidik.
“Dalam agama Islam, sesuai dengan isi Al-Quran, jika semua yang kita miliki di dunia ini tidak mutlak milik kita, sejatinya semua milik Allah. Dengan berkurban kita belajar ikhlas. Iklhas dalam konteks memberikan apa yang menjadi hak mereka yang ada pada diri kita,” ujar Icha panjang lebar menjelaskan semuanya padaku.
“Maksudnya?” Tanyaku lagi dengan rasa ingin tahu.
“Di dalam rezeki kita yang berlebih itu ada hak orang lain yang tidak mampu, seperti fakir miskin,” lanjut Icha.
“Apakah aku bisa ikut berkurban?” Tanyaku lebih lanjut.
“Siapa saja bisa ikut berkurban, selama orang tersebut memiliki kelebihan rezeki,” jawab Icha dengan nada lembut.
Akhirnya aku membeli satu kambing untuk dijadikan hewan kurban saat Idul Adha nanti. Seorang ustaz menjelaskan kedudukan aku sebagai nonmuslim jika ikut berkurban.
”Boleh-boleh saja, hanya sebagai sedekah biasa, bukan berkurban dalam arti seperti orang-orang muslim,” ujar sang Ustaz kala itu.
“Apakah aku akan mendapat pahala kebaikan seperti yang Icha ceritakan?” Tanyaku penasaran.
“Urusan pahala dan dosa kita serahkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa karena itu bukan ranah kita,” ucap ustaz tersebut.
Penjelasan ustaz tersebut tidak lantas menyurutkan niatku untuk ikut berkurban dengan menyembelih kambing dan membagikan dagingnya kepada kaum fakir miskin.
Menjelang Idul Adha aku mengikuti semua kegiatan di dalam keluarga Icha, termasuk turut berpuasa dua hari sebelum Idul Adha.
Momen Idul Adha kembali menggetarkan hatiku. Lautan orang-orang yang berkumpul di lapangan dengan pakaian salat dominan berwarna putih. Aku begitu nyaman berada di antara mereka. Terasa ada kedamaian yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Momen itu pun aku abadikan dengan berfoto selfi dengan background orang-orang yang sedang sujud. Lapangan hijau tempat salat itu pun seketika berubah menjadi bernuansa putih.
Aku mengirim foto selfiku ke papa dan ia hanya membalas denga emot senyum dan kiss. Aku hanya tersenyum membuka balasan pesan dari papa.
***
Meski tanpa komposioner suara alunan takbir mengetarkan hati siapa pun yang mendengarnya. Seiring takbir yang masih bergema seolah memberi energi yang begitu kuat. Mendorong satu keinginan dalam hatiku. Keinginan yang belum sepenuhnya aku pahami. Namun, begitu bergelora dalam sanubariku.
“Cha, aku ingin belajar tentang Islam,” ucapku pada akhirnya di hadapan Icha.
“Untuk apa?” Tanya Icha penuh selidik.
Aku terdiam tidak tahu harus jawab apa karena aku sendiri tidak tahu dengan perasaanku akhir-akhir ini.
“A ..a ..aku ingin memeluk agama Islam,” jawabanku terbata-bata yang sontak membuat Icha terlihat kaget dan setengah tak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya.
“Heln, agama bukan hal yang dapat dipermainkan atau uji coba,” ujar Icha.
“Aku serius, Cha!” Seruku.
“Jangan gegabah, akan ada banyak rintangan, ujian, dan cobaan yang akan kamu hadapi,” papar Icha mencoba memberi nasihat.
“Kenapa Cha? Sepertinya kamu kok enggak setuju?”
“Bukan aku tak setuju Cha! Aku tidak menghalangi niat baikmu, hanya saja aku berpikir bagaimana kecewanya orang tuamu jika tahu akan hal ini,” jelas Icha dengan bijak.
“Itu akan menjadi urusanku,” ucapku sambil melempar pandangan keluar jendela kamar dengan perasaan tak karuan.
Perdebatan kecil tidak dapat terelakkan antara aku dan Icha, “Apa kamu bisa membantuku?” Sambungku yang menyadarkan lamunan Icha karena sepertinya ia meragukan niatku.
“Ikut aku,” ajak Icha tiba-tiba.
Tanpa pamit kepada kedua orang tuanya, kami pergi menuju satu tempat yang berada di pusat kota. Aku tidak bertanya tentang apa pun selain mengikuti ke mana Icha membawaku hingga kami tiba di satu tempat. Di sekeliling tempat itu, aku melihat seperti bangunan kelenteng, semua ornaman di dalamnya berwarna merah.
“Tempat apa ini Cha?” tanyaku penasaran.
“Ini masjid” jawab Icha singkat.
Aku semakin dibuat bingung. Seperti inikah bangunan masjid? Pikirku dalam hati. Aku memang tidak pernah masuk ke dalam masjid, tapi setahuku tidak seperti ini bangunannya.
“Ini masjid La-outze, komunitas muslim Tionghoa. Kita akan bertemu dengan seseorang di sini,” ucap Icha seakan mengerti dengan kebingunganku.
Dari arah sisi kanan masjid datang seorang laki-laki setengah baya menggunakan celana panjang ceram dan baju koko putih lengkap dengan kopiah putih yang bertengger di kepalanya.
“Assalamualaikum, Ustaz,” ucap Icha sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.
Spontan aku pun mengikuti gerakan yang sama dilakukan Icha.
“Waalikumssalam,” ucap sang Ustaz, lalu mempersilahkan kami untuk mengikutinya.
Kami tiba di ruangan yang cukup luas seperti ruang kerja, lebih tepatnya seperti ruang sekretariat. Ustaz mempersilahkan kami duduk di sofa yang terdapat di dalam ruangan tersebut.
“Apa yang bisa saya bantu,” ujar Ustaz itu dengan ramah.
“Oh iya Ustaz Sulaiman, kenalkan saya Anisa. Beberapa kali saya pernah mengikuti kajian di sini dan ini sahabat saya Heln dari Kalimantan,” ucap Icha memperkenalkan diri dan aku kepada ustaz yang ternyata bernama Sulaiman.
“Sahabatku ini tertarik belajar agama Islam. Dia baru saja mengutarakan niatnya ingin memeluk agama Islam,” lanjut Icha seraya memandangku.
Ustaz Sulaiman mendengarkan dengan seksama dan mengangguk-anggukan kepalanya, sepertinya ia sudah sangat paham dengan cerita sahabatku tersebut.
“Nak Heln, apa yang membuat kamu tertarik dengan Islam?” Tanya Ustaz Sulaiman.
Aku bingung tidak tahu harus menjawab apa. Apakah aku harus bercerita tentang apa yang aku rasakan setelah melihat dan membaca Alquran? Aku terdiam sesaat. Icha menggenggam tanganku dan itu berhasil menghilangkan sedikit kegugupanku.
“Ustaz, sebelumnya aku tidak pernah tahu tentang Islam. Setelah beberapa hari aku tinggal bersama Anisa dan keluarganya, aku menemukan kedamaian dan ketenangan yang selama ini tidak pernah aku rasakan,” tuturku pada Ustaz Sulaiman.
“Apakah di dalam keluargamu tidak merasakan kedamaian?” Tanya Ustaz Sulaiman lagi.
“Ah, tidak seperti itu. Kedua orang tuaku orang yang sangat taat dalam beribadah. Mereka sangat bijak, hanya saja aku merasakan kekosongan hati. Aku seperti tidak punya pegangan dan orientasi dalam hal religi,” paparku.
“Baik. Ada beberpa faktor yang membuat kita beralih keimanan. Pertama karena kita belum paham dengan keyakinan yang sebelumnya. Kedua karena kita menyalahfahami aturan dan peraturan dengan ajaran-ajaran sebelumnya. Hal itu akan membuat kita goyah keimanan,” jelas Ustaz Sulaiman.
“Namun, apa pun itu, semua tidak lepas dari hidayah yang Allah turunkan ke dalam hatimu. Apakah kamu sudah benar-benar yakin?” Lanjut sang Ustaz.
“Ya, saya yakin Ustaz,” kataku mantap, meski ada sekelebat ada rasa aneh yang menjalar di sekujur tubuhku saat mengatakan kalau aku yakin dengan keputusanku.
Ustaz Sulaiman mengajak kami masuk kedalam masjid. Ada beberapa orang yang sudah berkumpul di sana duduk bersandar pada dinding masjid.
“Perkenalkan, mereka jemaah masjid ini, sebagian mereka baru saja mengucap syahadat,” ucap Ustaz Sulaiman seraya mempersilahkan aku duduk di tengah masjid.
Ada meja kecil dengan Al-Quran di atasnya, serta dua buah microphone tergeletak di samping Al-Quran.
Dadaku bergemuruh. Detak jantungku berdenyut tak karuan. Aku menoleh ke arah Icha, ia tersenyum memberikan kedamaian dan semangat agar aku tidak gugup.
“Nak Heln, sudah siap?” Tanya Ustaz Sulaiman.
Aku mengangguk pelan pertanda akan mengikuti panduannya.
“Ikuti ucapan saya,” lanjut Ustaz Sulaiman seraya mengucapkan kalimat, “Asyhadu an laa ilaaha illallahu, wa asyhaduanna muhammadarrasuulullah.”
Aku mengikutinya dengan terbata. Lidahku kelu. Mungkin karena lidah ini tidak terbiasa mengucap kalimat dengan berbahasa Arab. Ustaz Sulaiman membimbingku hingga tiga kali.
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah,” kalimat ini aku ucapkan dengan fasih, arti dari kalimat syahadat dibacakan sang Ustaz.
Tubuhku kembali bergetar. Telapak tanganku berkeringat. Hawa dingin menyergap sekujur tubuhku, seiring dengan butiran air bening yang tumpah dari kedua pelupuk mataku yang tak bisa terbendung.
Icha menghampiri dan memelukku. Terdengar samar ucapan selamat yang keluar dari mulutnya.
Entah apa yang aku rasakan. Sebuah beban berat seperti teangkat dari punggungku. Aku terdiam. Kutarik napas berulang kali guna menetraliris semua gejolak rasa dalam dadaku saat ini.
Ustaz Sulaiman memberikan satu paket buku berisikan tata cara salat dan wudu dilengkapi doa-doa pendek untuk aku pelajari.
“Selamat, Nak Heln. Saat ini kamu sudah menjadi saudara seiman kami. Ikutilah kajian-kaijan ringan seputar pengetahuan dasar tentang Iman, Islam, dan Ikhsan,” ucap Ustaz Sulaiman seraya memberikan selembar kertas berupa sertifikat tanda bukti jika aku telah resmi memeluk agama Islam. (BERSAMBUNG). (Violet Senja).
***
Judul: “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 3”
Pengarang: Violet Senja
Editor: JHK
Sekilas tentang pengarang
Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platfoam. Tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang psikotropika ini juga merupakan seorang ibu rumah tangga, ibu dari satu orang putri dan satu orang putra.