Berita Jabar NewsBJNCerpenSastra

Cerpen “Abah Menang Banyak”

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra, Selasa (17/12/2024) – Cerita pendek (cerpen) berjudul Abah Menang Banyak”  ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko,  seorang penulis dan pengarang, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.

Belum satu jam nongkrong di warung Mak Ukin, dua gelas kopi sudah Jonmin minum tandas tuntas. Si empunya warung tahu gelas minuman pelanggannya kosong, lalu dengan sigap menawarkan tambahan kopi lagi.

“Nambah lagi kopinya Mas?”

“Boleh Mak, terima kasih,” jawab Jonmin.

“Tambah tempe mendoan, masih hangat Mas.”

“Wah, enak niih, cabe rawitnya mana Mak?” Pinta Jonmin.

“Oh iya., tunggu Mas.”

Mak Ukin, wanita sepuh yang ramah, memberinya cabe rawit, lalu bergeser meladeni pelanggan lainnya. Keramahannya yang tulus membuat para pelanggan betah. Tentu tidak hanya betah duduk, tapi juga betah makan dan minum.

***

Sudah berbilang waktu, setiap pulang kerja, Jonmin singgah minum kopi dan makan di warung Mak Ukin. Bagi Jonmin, semua makanan di warung ini rasanya amat lezat dan aroma bumbu dapurnya sungguh sedap.

“Rizal belum datang Mak?”

“Sudah, itu tas kerjanya nyantol di bangku, tadi pamit pergi mau potong rambut dulu,” jawab Mak Ukin.

“Potong rambut? Bukannya dia botak Mak? Rambut apa yang mau dicukur?” Tanya Jonmin heran.

“Yaah, gak tahu, nanti tanya saja sendiri,” kata Mak Ukin sambil tersenyum tipis.

Rizal adalah teman Jonmin ngobrol di warung. Dua laki-laki ini biasa ke warung sehabis kerja dan akan saling mencari kalau salah satunya belum datang. Seperti halnya hari itu.

Mereka sama-sama menjadi pelanggan setia warung Mak Ukin dengan alasannya masing-masing. Jonmin berlangganan karena makanannya, sedangkan Rizal karena keramahan pemilik warungnya.

Rizal terpesona dan menjadi pelanggan setia setelah merasakan keramahan Mak Ukin yang tulus. Sesuatu yang jarang ditemui di rumahnya. Orang-orang di rumahnya terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing.

Bagi Rizal, sekedar sapaan, “Apa kabar hari ini mas?” Sudah sangat menghibur hati lelaki berambut tipis ini, apalagi ketika ditanya, “Mau makan apa mas?” Itu sudah mengobati hausnya kasih sayang di hatinya.

Di warung, Jonmin dan Rizal biasa ngobrol tentang apa saja, dari soal politik, ekonomi maupun kehidupan pribadi. Tidak jarang mereka berbeda pandangan, tetapi kehangatan berkawan tetap terjaga.

***

Seusai potong rambut, Rizal kembali nongol di warung. Saat itu Jonmin baru mulai minum kopi gelas ketiga, Rizal langsung ditanya, “Rambut mana yang kamu cukur Zal?”

“He … he … he, mau tahu saja kamu Jon,” jawab Rizal, lalu menyapa Mak Ukin dan meminta segelas kopi hitam.

Mereka berdua sama-sama menyukai warung Mak Ukin karena harganya jauh lebih murah dari makanan dan minuman sejenis di mall dan café. Mall dan café sering menjadi bahan diskusi hangat Jonmin dan Rizal.

Kata Jonmin, “Mudah-mudahan warung Mak Ukin tetap bertahan di tengah gempuran café yang kini bermunculan seperti jamur.”

Jonmin melanjutkan dengan bertanya, “Kira-kira café mengancam kelangsungan usaha kecil seperti warung ini gak Zal?”

Rizal membalas, “Aku gak terlalu mikirin, masing-masing sudah ada pelanggannya kok.”

Jonmin melanjutkan, “Ah iya, aku hanya merasa bodoh saja sih. Ngapain merogoh kantong untuk membayar makanan dan minuman yang namanya pakai bahasa asing, padahal soal rasa, lidahku milih Mak Ukin.”

“Ya, tiap orang punya pilihan Jon,” jawab Rizal sekenanya, lalu, “Silahkan mau pilih yang mana?” Mereka juga pakai uang sendiri, bukan uangmu Jon,” lanjut Rizal dengan nada agak sinis.

Jonmin memang dari awal memilih nongkrong di warung. Dia tidak mau latah ikut-ikutan makan minum di café. Batinnya acap bertanya-tanya, mengapa orang lebih menghargai makanan dan minuman asing, padahal makanan dan minuman sendiri tidak kalah enak, sedangkan Rizal memang seorang penikmat makanan. Apapun makanan dan minumannya, dia lebih memperhatikan kenyamanan dan pelayanan yang prima.

Kata Rizal, “Begini Jon, aku pernah melihat serombongan orang sedang makan bersama di sebuah café lho.”

“Ah, apa istimewanya itu?” Jawab Jonmin.

Rizal meneruskan, “Iya biasa, tapi tahu gak kamu, mereka itu kumpulan para pemilik warung tenda di dekat stasiun. Mereka menyewa odong-odong.”

“Hah!  Terus gimana?” Kata Jonmin ingin tahu.

“Ya gak gimana-gimana, boleh saja kan kalau mereka ingin pelesir, mencicipi makanan asing,” jawab Rizal.

“Ya tentu saja boleh,” sahut Jonmin.

Lalu kata Rizal, “Atau lagi belajar cara melayani yang baik dan nyaman ke pelanggan?”

“Eh, bagus juga kalau memang mau belajar,” kata Jonmin.

“Ya bagus banget, biar tidak kayak katak di bawah tempurung … ha … ha … ha,” kata Rizal, lalu, “Membeli makanan asing tidak selalu berarti mematikan usaha warung kecilkan?”

Jonmin merespon, “Ya, tapi warung-warung itu berapa modalnya? Siapa yang akan membela? Mereka bisa dilahap habis oleh yang besar, yang punya segalanya. Kasihan kan.”

“Halaaah, itu biarlah bapak-bapak di atas sana yang mikir,” sahut Rizal tangkas.

“Bapak-bapak?” Kata Jonmin heran, lalu lanjutnya dengan nada ketus, “Zaman edan kayak gini, bapak yang mana? Mimpi kamu Zal.”

“Entahlah, edan memang. Orang kalau sudah duduk di kursi empuk langsung lupa asal-usul,” kata Rizal.

“Mengharukan,” sambung Rizal.

“Dan menggelikan,” sahut Jonmin.

“Ha … ha … ha …ha,” mereka ketawa ngakak bersama.

“Menurutku sih,” kata Rizal seperti mau mengakhiri diskusi, “Mulai sekarang lebih baik kita pikirkan diri sendiri saja.”

“Egois itu namanya Zal,” sahut Jonmin.

“Memang harus egois, siapa yang mikirin kalau bukan diri sendiri?” Kata Rizal.

Rizal lalu melanjutkan, “Coba siapa yang akan mikirin diri kamu sendiri? Ingat, istri belum punya, rumah belum ada, kendaraan masih nyicil.”

“Ah bener juga Zal,” suara Jonmin agak tercekat, “Aku belum punya apa-apa.”

Jonmin terdiam, bibirnya terkatup, dahinya berkerut dan ngedumel lirih, “Benar juga omonganmu. Siapa yang mikirin diriku kalau bukan aku sendiri?”

“Okey Jon,” Rizal mencoba mencairkan suasana, “Gimana kalau kapan-kapan kita pergi ke cafe, pilih tempat yang pengunjungnya cantik-cantik, siapa tahu kamu dapat jodoh, he … he … he.”

“Ide bagus Zal,” kata Jonmin, dilanjut dengan penolakan halus, “Tapi kayaknya belum saatnya aku ke sana.”

Jonmin tidak mengingkari, di mall dan café pasti banyak wanita cantik. Sebagai lelaki normal pasti betah duduk lama makan-minum di sana. Namun, hati Jonmin berkata, ketemu jodoh di café? Tidak! Aku di warung saja. Aku milih wanita berbau keringat daripada berbau parfum menyengat.

***

Begitulah, Jonmin tidak berubah pikiran. Dia tetap lebih suka nongkrong di warung Mak Ukin. Warung alami, apa adanya tanpa banyak polesan. Suasana yang sangat disukai dan dinikmatinya.

Setiap datang ke warung, Jonmin biasa berhenti sejenak di pintu masuk, memberi kesempatan pada hidungnya menikmati aroma asap tungku dan olahan bumbu dapur, lalu membiarkan telinganya mendengarkan suara gemericik air cucian piring dan bunyi srang-sreng Mak Ukin menggoreng tempe mendoan atau pisang.

Jonmin juga membiarkan sepasang matanya manyapu pandangan menikmati segala rupa di sepanjang dinding dapur. Ada sederetan peralatan dari bambu dan kayu yang menggantung teratur di sana.

Semuanya persis seperti dapur Emaknya di kampung lengkap dengan aroma khas secangkir kopi panas yang baru diseduh. Uap yang keluar dari cangkir kopi meliuk-liuk naik menari gemulai seperti ronggeng berlenggang-lenggok berjoged.

Minuman kopi seperti itulah yang dulu selalu dia lihat saat Emaknya mengawali harinya dari dapur. Setelah itu, hingga malam wanita sederhana itu berkutat di dapur mengurus segala macam keperluan keluarga.

Banyak sekali yang harus diurus Emak di dapur tanpa pernah terlihat lelah. Sesekali Jonmin ingin membantu meringankan pekerjaan dapur, tetapi Emak selalu melarang.

Kata Emak, “Emak masih kuat, kamu belajar saja, supaya besok pintar dan jadi orang.”

“Iya Mak,” jawab Jonmin patuh.

“Sstt Nak, jangan kayak Abah,” kata Emak.

“Iya Mak,” jawab Jonmin lagi.

Abah memang sekolahnya tidak tinggi, tetapi sebagai seorang ayah, dia berusaha keras menghidupi anak dan istrinya tanpa mengenal istirahat. Walau Abah orangnya pendiam, tapi penuh perhatian.

Di mata Jonmin, tidak ada lelaki kuat selain ayahnya. Abah selalu tampil kuat di depan anak-anaknya dan tidak pernah terlihat sakit. Belakangan setelah dewasa, baru Jonmin tahu, ternyata apapun kondisinya, Abah selalu tampil sehat supaya tetap bisa membesarkannya.

Sebaliknya, Jonmin kadang berpura-pura sakit supaya bisa membolos sekolah atau mencari berbagai alasan supaya bisa bermain.

Dulu, Jonmin pernah berbohong, “Abah, besok guru-guru rapat, aku libur.”

Abah hanya menjawab, “Hem yaa.”

Besoknya Jonmin bermain seharian menyalurkan naluri berpetualang sampai puas. Lagi-lagi, Jonmin baru mengerti ternyata waktu itu Abah tahu dia berbohong.

***

Sosok Abah dan Emak sangat berpengaruh pada Jonmin. Mereka tidak banyak omong, tetapi banyak berbuat. Apapun keperluan hidup dan sekolah, selalu berusaha dicukupi.

Sebagi anak bungsu Jonmin kadang berpikir wajar kalauAbah dan Emak berharap banyak pada dirinya. Kakak-kakaknya semua berbeda Emak, sekolahnya tidak tinggi dan menikah muda. Mereka menjadi lebih sibuk dengan keluarganya masing-masing.

Emak pernah ngomong ke Jonmin, “Kamu satu-satunya harapan Emak nak.”

“Iya Mak,” jawab Jonmin agak miris.

Mampukah aku? Kata Jonmin dalam hati.

Sejak itu Jonmin bercita-cita menjadi seorang ayah yang seperti Abah dan mencari istri yang seperti Emak.

Sebagai lelaki, menjadi seorang ayah seperti Abah rasanya tidak terlalu susah. Namun, mencari istri seperti Emak, ternyata tidak mudah. Terbukti, hingga kini di umur sangat matang, masih hidup sendiri.

Sosok Emak sangat membekas di sanubari Jonmin. Di hatinya, dialah wanita sempurna, cantik luar dalam tiada tara. Wanita lembut dan penuh kasih.

Ketika suatu malam, di warung Mak Ukin, Jonmin cerita tentang sosok Emaknya ke Rizal. Namun, Rizal hanya senyum kecut. Senyum yang sulit dimaknai artinya. Rizal lantas bercerita pengalamannya.

“Bagiku yang paling berjasa ya mbok Giyah, pembantuku. Dia yang dari kecil bersamaku hingga kini. Makan, minum, pakaian, bermain, mandi, menyiapkan keperluanku hari itu dan sebagainya,” suaranya Rizal terdengar pilu.

“Mamahku itu kebetulan saja menjadi ibuku karena dari perutnya aku lahir. Papahku sama saja. Dia mengira memenuhi kebutuhan sehari-hari sama dengan memberi kasih sayang,”  lanjut Rizal sambil menatap langit.

Rizal berhenti sejenak dan menarik napas sangat dalam, lalu berkata, “Aku iri sama kamu Jon. Sampai setua ini aku gak pernah tahu bagaimana rasanya bermain bersama Papahku, bermain layang-layang, mancing, dan mandi di kali.”

Jonmin terdiam. Hatinya mensyukuri atas apa yang dia dapatkan selama ini. Suasana hatinya seketika berubah menjadi melankolis, ingin pulang kampung melepas rindu pada Abah.

Tanpa pikir panjang, malam itu juga diraihnya jaket, pamitan ke Rizal dan Mak Ukin, lalu meluncur ke terminal bis. Beruntung bis terakhir tujuan ke kampung halamannya belum berangkat. Jonmin melompat ke dalam, tidak sabar ingin segera ketemu Abah.

Di dalam bis Jonmin kenangan manis hidup di kampung berputar-putar di kepalanya.

Kepulangan Jonmin kali ini bukan sekedar kangen, tapi juga untuk memberi selamat ke Abah yang beristri lagi setelah beberapa Lebaran yang lalu Emak meninggal. Entah seperti apa Emak barunya. Semoga saja Abah tidak salah pilih.

Sepanjang perjalanan Jonmin berharap Emak barunya berumur lebih panjang dari umur Abah sehingga di masa tuanya tidak perlu menikah dan menikah lagi. Sudah empat kali Abah ditinggal wafat istrinya. Setiap kali ditinggal wafat, Abah menikah lagi. Emaknya sendiri adalah istri urutan ke empat.

Sampai di rumah, Jonmin disambut hangat Abah dan istri barunya.

“Mana istrimu Jon?” Kata Abah disambung, “Kirain pulang sambil bawa gandengan.”

Dijawab Jonmin, “Belum dapat Bah.”

Lalu sambil berbisik di telinga ayahnya, “Belum nemu yang kayak Emak Bah.”

Selama di kampung, Jonmin merasa dimanja, baik waktu pagi, siang, dan sore. Semua keperluannya diladeni Emak barunya.

Ketika Jonmin nengok ke dapur, Emak barunya ada di sana. Tidak ada yang berubah di dapur. Susunan peralatan yang berderet-deret nyantol di dinding, tungku, gelas, piring, dan sendok tidak berubah. Begitu juga tempat bumbu-bumbu dan bahan-bahan makanan. Jonmin Takjub.

Ketika Emak barunya minum kopi, gaya dan tingkah lakunya persis seperti Emak. Segala gerak dan laku Emak barunya tidak beda jauh dengan Emak kandungnya. Jonmin merasa Emaknya seperti hidup lagi.

Dengan perasaan campur aduk, lelaki muda itu melangkah keluar. Di depan pintu ketemu Abah yang sedang minum kopi.

Abahnya ngomong ke Jonmin, “Bagaimana Emak barumu?” Lantas ditatapnya mata Jonmin, “Persis almarhumah Emakmu kan?”

Jonmin kehilangan kata-kata. Dalam hatinya, Aku kalah telak. Satupun belum dapat wanita untuk diperistri. Abah sudah lima kali dapat Emak. Abah menang banyak.

Purwokerto, 17 Desember 2024

Sarkoro Doso Budiatmoko.

***

Judul: Abah Menang Banyak
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: Jumari Haryadi

Tentang Pengarang:

Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalani di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.

Sarkoro Doso Budiatmoko
Pengarang/Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko – (Sumber: koleksi pribadi)

Pengalaman Sarkoro menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.

Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang”, lalu  “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.

Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul “Nah Mengambil Makna dari Hal-hal Kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.

Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.

Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *