Berita Jabar NewsBJNCerpenSastra

Cerpen “Pemufakatan Batin Dua Begundal”

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra, Senin (18/11/2024) – Cerita pendek (cerpen) berjudul Pemufakatan Batin Dua Begundal ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko,  seorang penulis dan pengarang, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.

Lelaki ini biasa dipanggil Pulung. Nama yang singkat dan mudah diingat. Tidak usah tanya nama lengkapnya karena tidak banyak orang tahu, lebih tepatnya tidak banyak orang yang peduli. Di lingkungannya, Pulung bukanlah siapa-siapa, jadi untuk apa mengingat nama lengkapnya.

Pada dini hari yang masih gelap itu Pulung sibuk memijit tepian luka di jempol kaki kanannya. Luka itu didapat beberapa saat lalu setelah menyepak kucing. Dia pijit tepian lukanya dengan harapan darah dari luka itu keluar bersama bakteri yang masih menempel di sana. Tidak mempedulikan rasa pegal, jari-jarinya terus memijit dan memijit.

Pulung mengerti sekali bagaimana rasanya terluka. Teriris pisau dapur, tertusuk duri, jatuh dari sepeda dan sejenisnya, itu hal biasa. Namun, sakit karena terpapar bakteri amat dia takuti. Sakit yang memaksanya berurusan dengan klinik, obat, dan jarum suntik, sangat dia benci.

Agak aneh memang, di zaman TikTok masih ada orang takut obat dan jarum suntik. Pulung, lelaki setua itu, setiap kali harus minum obat kerongkongannya terasa tersumbat. Dia tidak mau luka barunya ini nanti memaksanya berurusan dengan klinik. Dia pijit-pijit terus di seputaran lukanya.

Akhirnya darah tidak menetes lagi, mampet. Sambil sedikit menahan perih, Pulung melangkah tertatih-tatih ke tepi pagar pekarangan tetangga, persis di sebelah rumah. Rumah besar, halamannya luas dan berpagar tembok tinggi, itu rumah Pak Pram.

Dilihatnya ranting muda tanaman kastuba yang menjulur ke jalan. Walau menjulur di jalan umum, untuk memetik ranting, Pulung tetap minta izin ke pemiliknya. Pria berumur hampir setengah abad ini sedikit berteriak, “Pak Pram, permisi, saya minta sedikit kastubanya yaaa….”

Tidak ada jawaban dari rumah besar itu. Ditunggu beberapa saat, tetap sepi. Sebenarnya Pulung dan Pak Pram kenal baik, hanya saja memang jarang tampak ngobrol. Bahkan, orang melihat mereka berdua seperti tidak saling mengenal.

Karena masih juga sepi, apa boleh buat, sambil senyum tipis, permintaan izin ke tetangganya itu dia jawab sendiri, “Iya, silahkan, ambil secukupnya Pak Pulung,” kemudian dilanjut ngomong sendiri, “Hehe…, terima kasih Pak Pram…”

Pulung berpikir, Pak Pram pasti belum bangun. Orang kaya yang sudah punya segalanya, buat apa bangun pagi-pagi.

Tidak banyak orang yang tahu apa sebenarnya pekerjaan Pak Pram. Dia hanya tampak pergi bermobil ke luar rumah pagi dan pulang malam langsung masuk rumah. Mobilnya banyak dan bagus-bagus, dipakai berganti-ganti. Kadang hitam, saat lain putih, hari berikutnya abu-abu, dan merah.

Keluarga Pak Pram sangat tertutup. Gerbang rumahnya jarang dibuka. Pada hari tertentu sering terlihat banyak orang yang akan bertamu, tetapi kembali pulang karena tidak kuat menunggu lama pintu gerbang yang tidak dibuka-buka. Entah kenapa, tidak ada yang tahu persis.

Anehnya, untuk kegiatan sosial di lingkungan RT, Pak Pram sangat royal. Apapun dan berapapun yang diminta Pak RT, selalu dicukupi. Dari peringatan hari besar nasional sampai hari raya keagamaan, Pak Pram  tidak pernah absen menyumbang dana. Di tengah kondisi yang tidak selalu baik, warga sangat menyukai keroyalan Pak Pram.

Wajar kalau Pulung yakin, mengambil sepotong ranting kastuba tidak akan mengurangi harta kekayaan Pak Pram.

Dari ujung patahan tanaman kastuba keluar getah pekat berwarna putih. Perlahan-lahan getah itu dia oleskan ke seluruh permukaan luka. Rasanya nyes dan dengan cepat menutup luka. Pulung sungguh berharap bakteri yang di dalam mati dan yang dari luar tidak bisa masuk.

Rasa perih perlahan berkurang dan lenyap. Hilang pula rasa was-was yang sebelumnya memenuhi kepala Pulung.

“Ah, semoga cepat sembuh dan tidak perlu ke klinik,” ujar Pulung penuh harap.

Pulung memang layak was-was. Luka itu dia derita setelah kakinya menyepak kucing dan tepat kena giginya. Gigi taring kucing yang tajam meninggalkan luka gores agak dalam di jempol kaki kanannya. Lalu darah merah segar keluar dari tempat lukanya.

Dia tahu, kucing adalah hewan yang bisa menularkan rabies. Setiap mendengar rabies, dia ingat kakaknya yang pernah digigit anjing gila. Pulung menggigil membayangkan betapa menderitanya orang yang sakit terpapar rabies.

Sambil memandang lukanya, lelaki beralis tebal ini menyesal. Luka itu sebenarnya tidak perlu ada seandainya dini hari tadi dia tidak kehilangan kendali. Emosinya naik tajam ketika bangun tidur dini hari tadi, dia tidak bisa segera minum kopi panas, padahal di kepalanya sudah terbayang nikmatnya minum kopi.

Syaraf kepala Pulung rupanya sudah menagih untuk segera menyeruput minuman hitam itu. Belum minum kopi menyebabkan kepalanya terasa nyut-nyut seperti dipukul godam.

Keinginan Pulung tidak seketika terwujud. Dia masih harus merebus air di atas kompor dulu. Serba tidak kebetulan, entah kenapa airnya tak juga kunjung mendidih. Mungkin apinya terlalu kecil. Lalu diputarnya tombol kompor ke kanan sehingga api pun membesar. Namun, hatinya  semakin tidak sabar.

Kepala Pulung bertambah nyut-nyut ketika di saat bersamaan kucing-kucing kampung di depan pintu rumahnya bermeong-meong berisik. Dia paham benar, mereka sedang minta jatah makan pagi. Pada jam-jam seperti pagi itu memang jadwalnya memberi makan kucing-kucing kampung. Hanya saja biasanya tidak sebanyak ini kucing yang datang. Kali ini kayaknya kucing satu kampung datang semua. Berisik.

Gendang telinga Pulung terasa budek dipenuhi suara meang-meong. Apalagi capek dan lelah semalaman mencari uang belum hilang. Mata melek, tetapi tubuh nglungkrah, membuka pintu rumah pun berat. Senut-senut di kepala semakin menyiksa.

Di luar, di depan pintu, suara berisik meang-meong masih terus bersautan. Sapertinya hanya makanan yang bisa membungkam mulut-mulut kucing itu. Namun, lelaki berkulit gelap ini sedang gelap hati dan kehilangan kesabaran. Berisik suara kucing dan kacaunya suasana hati telah menaikkan tekanan darahnya.

Dari pada dada meledak, Pulung berjalan kearah pintu dan menyemprot, “Hai ciiing, diaam! Kalau gak mau diam, silahkan pergi, pindah ke negeri lain!”

Di balik pintu, para kucing terkesiap. Seandainya mereka bisa ngedumel, tentu mereka akan ngomong, “Tidak biasanya Tuan semarah itu.”

Dengan suara tak kurang keras, Pulung menambahkan, “Ke rumah Pak Pram saja tuh banyak makanan enak!”

Para kucing menjawab antar mereka, “Ke rumah Pak Pram? Susaaaah, pagar temboknya tinggi sekali.”

Mereka lalu duduk bersimpuh di depan pintu terdiam seribu meong. Tidak satu tarikan napas pun berani mereka lakukan. Mereka takut Tuan Pulung bertambah marah.

Para kucing rupanya sangat mengenal Pulung yang kalau sedang marah akan mengusir dan tidak memberi makan. Para kucing juga mengerti, Pulung sebenarnya orang baik, paling tidak selalu menyediakan mereka makan dan minum.

Salah satu kucing jantan berbulu hitam bermeong ke kucing yang lain, “Tenang, jangan berisik, Tuan nanti tambah marah, bisa-bisa kita tidak makan berhari-hari.”

Kucing-kucing yang lain menjawab lirih,“Siaaaap…”

Setelah semprotan keras, suasana agak tenang. Pulung pun merasa lega. Telinganya sepi dari bunyi berisik meang-meong. Dia bisa kembali kembali ke kompornya meneruskan merebus air.

Pulung tidak kuat menunggu lama, kali ini giliran kompor dia marahi dengan nada kesal sambil memutar tombol kompor tambah ke kanan, “Kamu pun bikin kesel juga yaa por (kompor).”

Api pun bertambah besar. Bersamaan itu, suara meong mulai terdengar lagi. Seekor, dua ekor mulai bermeong-meong, lalu disusul yang lain. Paduan suara meong kembali bising di kuping Pulung.

Ketenangan hanya sekejap dinikmati Pulung. Mereka pasti lapar sekali, pikir Pulung. Agaknya perut para kucing tidak bisa diajak kompromi.

Di manapun, rasa lapar memang akan membuat siapapun kehilangan rasa hormat dan rasa takut. Hewan jinak pun bisa seketika menjadi buas jika perutnya lapar. Kucing lapar bisa berubah menjadi singa yang sangar.

Jangan salah, tidak semua raungan hewan bermakna lapar. Bisa juga bermakna ungkapan rasa takut, rasa sayang, rasa khawatir atau sekadar usaha memberitahu tuannya ada sesuatu yang tidak biasa. Namun, Pulung bergeming, tidak menggubris berisik suara kucing. Dia berharap, kucing-kucing itu kali ini memahami dia yang lagi capek dan malas bergerak. Dia ingin mereka bisa mencari makan sendiri di tempat lain. Kali ini saja.

Kucing-kucing yang dikira kelaparan itu tidak mau tahu, tetap berisik di depan pintu. Mereka ingin menyampaikan sesuatu yang sulit dimengerti Pulung dan karenanya Pulung pun tidak paham.

Itulah yang pagi itu terjadi. Kucing-kucing itu kembali berisik di depan pintu. Pulung yang belum juga bisa minum kopi kehilangan kesabaran. Suara berisik dan keinginan minum kopi yang belum juga terwujud bercampur aduk dan memompa jantung berdetak lebih cepat. Lalu diambilnya sebuah asbak dari meja dapur dan dilemparnya sekuat tenaga ke pintu.

Duaaaarr …. Praaang …. Suara asbak yang pecah berantakan membentur daun pintu mengagetkan diri Pulung sendiri. Pecahan beling menyebar kemana-mana. Kucing-kucing pada lari menyebar menjauh dari pintu. Pulung lalu menjadi repot sendiri membersihkan remahan beling-beling kecil di lantai.

“Dasar kucing-kucing semprul! Awas kalau balik lagi, aku gampar kamu semua,” teriak Pulung  penuh ancaman.

Gelapnya pagi masih bertahan, rasa kesal di hati Pulung belum berkurang, mau minum kopi belum juga kesampaian. Untungnya suara meong-meong kucing di depan pintu sudah hilang. Hati Pulung kini agak tenang.

Namun, ketenangan itu hanya sekejap. Entah apa yang mendorong kucing-kucing kembali ke depan pintu rumah Pulung. Jumlahnya lebih banyak. Suara meongnya juga bertambah berisik. Telinga Pulung bertambah budek.

Pulung tidak tahan lagi. Dia bangkit dari kursi dapur, nyala kompor dia kecilkan, diambilnya sapu ijuk, lalu bergegas melangkah menuju pintu dengan hati geram.

Dibukanya pintu dan suara meong terdengar di telinganya seperti klakson bis malam bersaut-sautan. Napas Pulung memburu dibakar rasa kesal. Dengan memakai gagang sapu, dia mengusir pasukan kucing itu.

“Kucing-kucing semprul, mana-mana kamu haah,” sergah Pulung di pagi yang masih remang-remang. Matanya tidak bisa melihat dengan jelas kucing-kucing itu. Ketika dilihatnya dengan jelas satu ekor, digamparnya dengan kaki kanannya sepenuh tenaga.

Marah sama kucing
Ilustrasi: Pulung kesal dan marah sama kucing kelaparan yang berada di depan rumahnya – (Sumber: Arie/BJN)

“Niiih, makaaan….!” Kaki kanan Pulung melayang, jempolnya tepat membentur mulut kucing yang sedang mengeong. Benturan itu menimbulkan suara raungan kucing kesakitan.

Hewan-hewan jinak itu kembali lari berhamburan ke segala penjuru. Ada satu ekor terjebak kawat tanaman. Pulung yang emosinya sudah kadung naik, hilang kendali. Diamuknya kucing sial itu sejadi-jadinya.

Setelah itu semua baik-baik saja, sampai saat masuk kembali ke rumah, Pulung melihat tetesan darah di lantai. Lalu dirasakannya perih pedih di jempol. Baru Pulung sadari, jempolnya berdarah.

Dilihatnya di lantai banyak tetesan darah. Namun, tampaknya melihat darah bagi Pulung bukan hal istimewa. Dia biasa-biasa saja. Dia tidak takut darah. Dia hanya takut sakit dan jarum suntik.

***

Kini Pulung sudah lebih tenang. Luka kecilnya sudah diberi kastuba, kopi hitam manis sudah siap diminum. Dia ingin segera santai dan istirahat. Diambilnya gelas kopi dan melangkah ke kamar. Dia ingin leyeh-leyeh menghilangkan lelah sampai agak siang nanti.

Pulung hanya bisa membuat rencana. Belum lagi tangan meraih tirai kamar, terdengar pintu rumah diketuk keras. Ada suara sepatu di belakang ketukan dan tampaknya tidak hanya sepasang. Mereka mengetuk lagi, sambil minta pintu dibuka.

Pulung terkesiap dan bersikap waspada. Dalam hati dia bertanya-tanya, dini hari begini ada tamu? Aku gak pernah begini. Okay, mari kita mainkan!

Dengan gerak hati-hati dan pelahan, segelas kopi hitam yang belum seteguk pun dia minum ditaruh kembali ke meja. Dengan sigap, diraihnya kopiyah warna putih, lalu dikenakan di kepala, kemudian dia buru-buru mengenakan sarung dan mengalungkan syal warna coklat di leher. Bergegas Pulung berjalan berjingkat ke belakang rumah tanpa menimbulkan banyak suara. Rumahnya tanpa pagar, dia bebas kemana-mana tanpa hambatan.

Pulung berhenti di belakang pagar tembok rumah Pak Pram. Dari jarak sepelemparan batu, diam-diam dia pungut batu sebesar bola pingpong, lalu dilontarkan tinggi-tinggi ke rumah Pak Pram. Dari ketinggian batu jatuh menimpa atap jemuran dan menimbulkan suara keras. Seisi rumah kaget dan keluar kamar tidur masing-masing.

Hanya Pak Pram yang bersikap berjaga-jaga. Diraihnya sepatu dan baju olahraga. Tanpa cuci muka dan minum dia menuju pintu gerbang untuk segera ke luar rumah. Suara istri dan anaknya tidak didengarnya. Dengan langkah panjang dan cepat dia menuju pintu dan gerbang, satu-satunya pintu keluar rumah.

Bersamaan Pak Pram membuka gerbang, beberapa pria tegap masuk dan langsung menggeretnya kembali masuk rumah. Pak Pram tidak bisa menghindar. Entah apa yang terjadi di dalam, tetapi beberapa menit kemudian lelaki berkulit bersih itu dengan tangan diborgol digelandang menuju mobil berwarna hitam yang parkir di pinggir jalan di depan warung kopi.

Dari warung kopi, Pulung yang sudah memakai sarung, berkopyah, dan berkalung syal memandang Pak Pram. Beberapa detik mata mereka saling berpandangan. Dalam hitungan detik itu pula Pulung berkirim pesan batin, tenang, aku urus keluargamu. Sebentar nanti kamu pasti bebas.

Dari matanya, Pak Pram menjawab, aku sudah banyak bantu kamu Pulung, sekarang saatnya kamu bantu aku.

Lalu keduanya saling mengedipkan mata. Hanya mereka berdua yang paham maknanya. Sementara itu, di pinggir jalan di depan rumah Pak Pram, orang ramai berkerumun. Semakin matahari naik, semakin ramai orang di sana. Mereka saling menyapa dan saling bertanya, “Ada apa?”

Tidak ada yang tahu persis apa yang terjadi. Pak RT yang ada di situ pun tidak tahu. Rasa ingin tahu dan kepala penuh tanda tanya membuat warga ramai setengah ribut, saling bertanya dan menjawab satu sama lainnya. Aneka ragam dugaan mereka ciptakan, dari korupsi, judi online hingga perampokan.

Sehari itu, sejak pagi hingga sore warga ramai membahas kejadian dini hari tadi. Sesuatu yang sebenarnya bukan sekali ini saja terjadi.

Hari-hari berikutnya, kehidupan kembali berjalan seperti biasa, seperti kemarin, seperti pekan lalu, seperti bulan lalu, seperti tahun lalu. Kembali seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Matahari pun kembali terbenam di ufuk barat.

Purwokerto, 18 November 2024.

Sarkoro Doso Budiatmoko

***

Judul: Pemufakatan Batin Dua Begundal
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK

Tentang Pengarang:

Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalani di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.

Sarkoro Doso Budiatmoko
Pengarang/Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko – (Sumber: koleksi pribadi)

Pengalaman Sarkoro menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.

Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang”, lalu  “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.

Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul “Nah Mengambil Makna dari Hal-hal Kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.

Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.

Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *