Berita Jabar NewsCerpen

Cerpen “Mantra Sakti Pak Danu”

Berita Jabar News (BJN) – Kolom Sastra – Cerita pendek (cerpen) berjudul Mantra Sakti Pak Danu”  ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko,  alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.

Hujan gerimis sejak sore membuai para warga Kampung Bancar menjadi merasa nyaman tinggal di rumah, apalagi ada kopi panas dan pisang goreng hangat di atas  meja, semakin membuat malas keluar rumah. Hawanya membuat orang menjadi mager.

Begitu pun Bonny. Kalau saja tadi siang Pak Danu, Kepala Kampung, tidak berulang-ulang memintanya menghadiri pertemuan bulanan, pasti dia memilih tinggal di rumah bercengkerama dengan anak dan istrinya. Namun, karena permintaan pak Danu itulah yang bikin dia berpamitan pada istri dan anaknya. Dia tinggalkan setengah cangkir kopi panas dan beberapa pisang goreng hangat di atas meja. Dia pergi ke Balai Warga.

Jarak dari rumah Bonny ke tempat pertemuan hanya puluhan langkah. Cukup dengan berlari kecil gerimis tidak akan membuat baju dan tubuhnya basah. Dia tidak mau membawa payung. Dia kapok, dulu pernah ke balai membawa payung, tapi hilang saat pulang.

Sambil berlari kecil menuju balai, Bonny berpikir apa yang membuat Pak Danu beberapa kali memintanya datang. Jantungnya berdetak lebih cepat, dadanya berdebar, dan hatinya gelisah. Benaknya dipenuhi tanda tanya: “Ada apa lagi nih pak Danu, jangan-jangan….ahhh…”.

***

Sudah beberapa lama ini jantung Bonny berdegup lebih kencang setiap kali dihubungi Pak Danu. Bahkan, setiap ingat nama Danu, hatinya menjadi gelisah, duduk tidak jenak, tidur kurang nyenyak. Bonny hanya bisa menyesali perbuatan cerobohnya, tapi sesal pun kini tiada lagi berguna.

Beberapa bulan lalu, Bonny betul-betul apes ketika sedang berduaan mesra dengan wanita lain di sebuah café di pinggir kota. Saat itu dia baru saja mau mulai makan dan minum. Ternyata di tempat yang sama, di bawah remang cahaya lampu ada Pak Danu duduk sendiri sedang minum kopi di pojokan. Bonny tahu persis dari tubuhnya yang besar dan kumisnya yang tebal.

Dibalut rasa kaget dan khawatir ketahuan, Bonny kemudian pura-pura sibuk sendiri makan dan minum hidangan yang ada di meja. Tingkah canggungnya membuat teman wanitanya bertanya, “Kenapa Bang? Kok gitu banget…”.

“Sebaiknya kita pergi yuuuk, ada tetanggaku duduk di pojok sana,” jawab Bonny.

Pacaran
Ilustrasi: Donny makan bersama wanita gelapnya di sebuah cafe – (Sumber: Arie/BJN)

Sialnya, teman wanitanya dengan lugu berdiri dan celingukan kesana-kemari sehingga menarik perhatian pengunjung lain, apalagi dengan suara nyaring dia bertanya, “Mana orangnya Bang?”

Tanpa banyak omong, sebelum Pak Danu tahu, digeretnya teman wanitanya itu untuk pergi ke kasir dan membayar pesanannya. Dia bermaksud segera pulang. Pada saat Bonny hendak membayar, tiba-tiba terdengar suara berat menyapa dari belakang.

“Loh, Mas Bonny kok ada di sini, lembur kah?”

Bonny langsung menengok dan apa yang tadi dikhawatirkan benar-benar terjadi. Pak Danu tahu dia sedang berduaan dengan wanita lain. Dengan gugup disapanya pak Danu.

“Eh Pak Danu, mari biar saya bayar sekalian Pak,” jawab Bonny.

Bonny lalu menggaet tangan Pak Danu dan bersama melangkah menjauh ke tempat agak sepi dan ngomong mengiba-iba, “Please Pak, jangan omong-omong ya.”

“Okey, beres Mas Bonny,” kata Pak Danu sambil sekilas memperlihatkan video di hapenya dengan tangan kirinya.

“Waduh Pak Danu, tolong dihapus saja itu videonya ya,” kata Bonny memohon.

“Okey Mas Bonny,” kata Pak Danu sambil ujung jempol dan ujung jari telunjuk tangan kanannya dipertemukan membentuk lingkaran, pertanda okey.

Tanpa pikir panjang lagi Bonny menggandeng teman wanitanya itu, lantas melangkah cepat ke parkiran. Mereka lalu pulang sendiri-sendiri. Hilang sudah kesempatan bermesraan dua insan beda jenis itu.

Huff, malang bener aku. Belum apa-apa sudah ada yang tahu, kata Bonny dalam hati. Sepanjang perjalanan pulang otak Bonny dipenuhi pikiran, dalih apa yang bisa dia sampaikan jika suatu saat nanti Pak Danu memberitahu istrinya.

Dasar lelaki ceroboh, Bonny mengulangi perbuatannya dengan wanita yang sama beberapa hari kemudian. Meskipun dilakukan di tempat berbeda yang lebih jauh dan lebih sepi, kesialan tidak bisa ditolaknya, Pak Danu memergokinya lagi. Kali Pak Danu cuma bilang, “Okey, Mas Bonny,” sambil membuat lingkaran ujung jempol dan ujung jari telunjuknya.

Setelah itu Bonny benar-benar tidak berkutik di depan Pak Danu. Setiap kali ada kebijakan kampung yang memerlukan dukungan warga, Bonny selalu diundang dan seringkali dengan terpaksa dia mendukung kebijakan apapun maunya Pak Danu, sang Kepala Kampung.

Itu terjadi beberapa waktu yang lalu dalam pertemuan bulanan. Kepala Kampung menyampaikan rencana menaikkan iuran bulanan.  Tentu saja banyak warga yang menentang rencana tersebut.

“Pak Danu, hidup kami sudah berat, tolong jangan bebani kami lagi,” kata Yasroji yang banyak didukung oleh warga. Naluri jiwa sosial Bonny pun muncul.

“Iya Pak, kasihan warga, harga kebutuhan sudah pada naik, jangan ditambah lagi. Lagian untuk apalagi sih uang hasil iurannya?” Kata Bonny.

“Nah, apa kata Bonny, terima kasih Mas,” kata beberapa warga hampir bersamaan.

Warga sangat senang dengan suara Bonny yang selama ini memang dikenal selalu menyuarakan orang kecil. Dalam banyak kesempatan suara hatinya sering ditunggu warga.

Tentu saja berbeda dengan suara hati Pak Danu dan pengurus lainnya. Mendengar omongan Bonny, wajah Pak Danu tampak mengeras. Dahinya berkerut dan dua ujung alis matanya beradu di tengah.

Setelah menghela nafas dalam-dalam dan minum seteguk air mineral, Pak Danu menanggapi, “Okey, Mas Bonny, tidak masalah.”

Pak Danu bicara sambil mengerdipkan mata ke Bonny dan membentuk lingkaran paduan ujung jempol dan ujung jari telunjuknya.

Seketika setelah itu, Bonny langsung teringat café, lalu mengangkat tangan dan melanjutkan, “Maaf Bapak, Ibu, dan Pak Danu, izinkan saya nyambung omongan,  tadi saya belum selesai.”

“Ooh begitu, silahkan Mas Bonny,” kata pak Danu.

Bonny lalu melanjutkan kata-kata yang pernah dia katakan sebelumnya, “Tapi, Bapak Ibu sekalian, kebutuhan kampung juga banyak, bayar listrik dan air untuk fasilitas umum seperti mushola, balai warga, penerangan jalan dan konsumsi untuk ronda setiap malam, belum lagi keperluan mendadak lainnya.”

“Lah gimana Don, kok kamu berbalik arah, enggak kasihan sama warga,” kata Slamet disambung dengan omongan panjang lebar tentang beban hidup yang semakin berat. Ujungnya Slamet menyatakan tidak setuju dengan rencana kenaikan iuran.

Slamet memang juga dikenal warga suka bersuara keras membela kepentingan mereka. Bonny lalu menjawab.

“Ya, usulan Pak Danu harus dimaklumi. Contohnya, kita sekarang ini, di tempat ini, malam hari ini, ada makan minum, kan perlu duit.”

Akhirnya tanpa banyak kata, usulan Kapala Kampung menaikkan iuran bulanan disetujui. Pak Danu secara khusus langsung menyampaikan rasa terima kasih kepada Bonny.

Begitulah, sejak itu Pak Danu sering mengucapkan “Okey Mas Bonny” ditambah ujung jempol dan jari telunjuk membentuk lingkaran sebagai mantra yang membuat lelaki berkumis tipis itu tak berkutik. Dengan mantra itu Pak Danu menekan dan memanfaatkan Bonny.

***

Begitulah, pertemuan malam ini pun mantra sakti itu sepertinya akan digunakan lagi, apalagi Bonny mendengar bahwa topik bahasan utamanya adalah rencana memindahkan Pos Kamling ke pinggiran kampung. Sebuah rencana yang beberapa waktu ini menjadi gunjingan warga.

Suara hati Bonny sebenarnya tidak setuju dengan rencana pemindahan ini karena dia mencium bau-bau akal busuk dibalik pemindahan ini. Namun, dia merasa tidak kuasa menentang secara terbuka. Bisa-bisa kena mantera. Bahaya.

Bagaimanapun suara nurani Bonny tidak bisa diingkari. Dia lalu berusaha mendekati Slamet, sebayanya yang juga biasa bersuara lantang. Saat Bonny menelpon, Slamet menjawab, “Aku masih kerja nih Don, aku usahakan pulangnya nanti langsung ke balai.”

Slamet menjadi satu-satunya harapan Bonny. Semoga dia tidak terlambat hadir di Balai Warga .

Saat Bonny sampai ke balai, Pak Danu sedang membuka pertemuan. Layaknya sambutan pembukaan, pria setengah baya berkumis tebal ini juga ngomong panjang lebar penuh basa-basi. Sepertinya itu dilakukan sambil menunggu kedatangan warga lain yang masih di jalan.

Pertemuan kali ini memang istimewa. Warga duduk di lantai beralaskan karpet yang telah disediakan. Setiap delapan orang duduk melingkar mengelilingi beraneka ragam hidangan dan minuman. Ada sekitar 10 lingkaran tertata rapi di balai.

Hidangan yang istimewa ini mengundang komentar salah satu warga, “Wah, Pak Danu lagi royal niiih, hidangannya kayak lagi hajatan saja.”

“Alhamdulillah, lagi banyak rizki kali ya,” sahut Basuki yang duduk di sebelahnya.

Joko menimpali, “Jangan-jangan lagi dapat banyak proyek nih.”

“Asal jangan dari hasil judi online ya,” kata Slamet yang baru datang dan menyalami satu-satu hadirin, termasuk Bonny.

Semua yang hadir tampak ceria menikmati hidangan. Kulit kacang rebus mulai bertebaran. Kopi dan teh mulai diseruput dan ceret isi ulangnya mulai beredar. Senyum dan tawa menghiasi wajah sambil menyimak sambutan pembukaan yang masih terus berlangsung.

Pak Danu memang piawai membawakan sambutan. Hadirin kadang ketawa terbahak-bahak karena lucu dan kadang terperangah karena terkejut.

Setelah beberapa saat suasana pertemuan mulai berubah menjadi serius ketika Pak Danu dengan pelahan menyampaikan bahasan utama, yaitu rencana memindahkan Pos Keamanan Lingkungan (Pos Kamling).

Seketika pandangan penuh rasa ingin tahu mengarah ke Pak Danu. Sebagian sambil mengerutkan dahi, sebagian lain mengatupkan bibir dan ada lagi yang memasang muka penuh prasangka. Semua menunggu Pak Danu meneruskan omongannya.

Sebenarnya warga sudah lama mendengar rumor tentang pemindahan ini. Pos Kamling itu ada di pinggir jalan di tengah rumah-rumah warga. Bangunan Pos sederhana itu ada di tengah-tengah pekarangan seluas rumah type 21.

Menurut sebagian warga sekitarnya, posisi pos sudah tidak layak lagi. Sehari-hari pos lebih sering digunakan untuk nongkrong remaja yang berisik mengganggu ketenangan dengan bermain musik hingga larut malam. Kadang juga kedapatan remaja sedang minum-minum dan petugas ronda sering terpaksa minggir.

Dengan dasar itulah Pak Danu berpendapat Pos Kamling perlu dipindah ke arah pinggiran, tempat yang agak sepi.

Suasana pertemuan sedikit memanas ketika Pandu menolak rencana pemindahan pos, “Ngapain dipindah. Memindah Pos itu perlu duit banyak, sedangkan anggaran sangat terbatas. Kekurangannya nanti mau ngutang ke mana?”

Belum lagi omongan Pandu ditanggapi, muncul Basuki yang bilang, “Apakah Pak Danu bisa menjamin, pemindahan pos ini tidak ada permainan duit?”

Omongan Basuki muncul karena memang ada prasangka bekas Pos Kamling nantinya akan dibangun “mini market”.  Gosip yang beredar, para pengurus kampung akan mendapat bagian dari adanya mini market tersebut.

Pak Danu menanggapi singkat, “Kami pengurus kampung bertanggung jawab atas pemindahan ini, kalau ada bukti kecurangan silahkan laporkan saja. “Kami hanya perlu persetujuan Bapak Ibu sekalian, itu saja.”

Pertemuan yang dimulai setelah salat Isya itu belum juga ada tanda-tanda akan berakhir, sementara cangkir-cangkir minuman kopi maupun teh sudah tandas tuntas. Ceret untuk mengisi ulang pun sudah beredar beberapa putaran.

Camilan-camilan kueh, mendoan, tahu goreng, dan bakwan tinggal tersisa beberapa biji. Kulit kacang rebus bertebaran di depan peserta. Tidak banyak warga yang menyampaikan gagasan dan pendapat. Kebanyakan mereka hanya manut-manut saja.

Walau begitu, semua masih mengambang dan belum ada kejelasan, padahal hadirin mulai menampakkan tanda-tanda bosan dan kelelahan.

“Masih lama kah pertemuan ini?” Kata seorang peserta lelaki kurus ke sebelahnya.

“Yah, mana aku tahu, kakiku juga sudah pegel, mau apa lagi, ikuti saja kang,” jawab yang ditanya.

Danang mengangkat tangan, lalu berkata, “Maaf Pak Danu, sudahlah ambil keputusan saja. Ini sudah semakin malam, tidak usah berlarut-larut, kayak rapat DPR saja.”

“Okey Mas Danang, sebelum saya ambil keputusan, saya ingin tanya beberapa tokoh muda di sini,” kata Pak Danu.

Suasana mendadak hening sejenak. Warga menyimak agak serius.

Pak Danu melanjutkan, “Pertama, bagaimana dengan Mas Danang, apakah okey dengan usulan saya untuk memindahkan Pos Kamling?”

Pak Danu lalu senyum tipis sambil membuat lingkaran dari ujung jempol dan ujung jari telunjuknya.

Danang menjawab, “Saya okey, silahkan dilanjut”

Bonny terkesiap dengan ulah Pak Danu dan jawaban Danang, tokoh muda yang biasanya lantang. Bonny lebih terpana lagi ketika Pak Danu dengan omongan dan bahasa tangannya juga mendapat persetujuan dari tokoh-tokoh kampung lain yang biasa kritis. Slamet, Basuki, Joko, Majid, Heru, Eko, dan Hadi.

“Bagaimana dengan Mas Bonny? Okey juga kan?” Tentu saja sambil diiringi gerak jempol dan jari telunjuknya membentuk lingkaran.

“I..i..iya, saya okey Pak Danu,” kata Bonny tergagap-gagap.

Mantera sakti yang selama ini Bonny anggap hanya untuk dirinya, ternyata juga ampuh diterapkan kepada yang lain. Dalam hati Bonny membatin, jangan-jangan mereka semua kayak aku juga.

Matra Pak Danu benar-benar ampuh. Kini seluruh kampung tunduk dan patuh kepada apapun yang dia mau.

Purwokerto, 17 Juli 2024.

Sarkoro Doso Budiatmoko.

***

Judul: Mantra Sakti Pak Danu
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK

Tentang Pengarang:

Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.

Sarkoro Doso Budiatmoko
Pengarang/Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko – (Sumber: koleksi pribadi)

Pengalaman Sarkoro menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.

Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang” lalu  “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.

Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.

Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.

Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *