Kekerasan pada Anak, Tuntas dengan Islam
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI/ARTIKEL/FEATURE, Rabu (18/12/2024) – Artikel berjudul “Kekerasan pada Anak, Tuntas dengan Islam” merupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Sungguh memprihatinkan, anak yang merupakan generasi penerus bangsa tidak mendapatkan perlindungan dan keamanan dalam kehidupannya. Faktanya, kekerasan terhadap anak di Kota Bandung tertinggi se-Jawa Barat. Bahkan angkanya tidak pernah turun, seperti yang diungkapkan oleh Uum Umiati, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung dalam Seminar “Pencegahan Tindak kekerasan Kepada Perempuan dan Anak di Kota Bandung Tahun 2024”. (Bandungoke.com, 05/12/2024).
Kekerasan terhadap anak masih sering terjadi di lingkungan masyarakat, sekolah, dan keluarga. Pelakunya beragam, bisa orang dewasa, termasuk orang tua, guru atau teman sebayanya. Kekerasan terhadap anak dipengaruhi banyak hal.
Saat ini, pendidikan anak oleh ibu sebagai madrasah pertama di rumah sebagian besar tidak berjalan. Pernikahan seolah jauh dari nilai ruhiyah dalam mencetak generasi unggul yang akan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, agama, dan bangsa. Alhasil, ketika pernikahan menghasilkan keturunan, anak-anaknya tidak terdidik dengan baik sehingga jauh dari kepribadian Islam dalam dirinya, padahal, terbentuknya kepribadian Islam adalah kewajiban orang tua, khususnya ibu. Mirisnya, saat ini para ibu justru didorong bekerja di luar rumah atas nama pemberdayaan perempuan yang didukung dengan regulasi ekonomi kapitalisme.
Di sisi lain, perekonomian yang tidak menentu hari ini telah memaksa para ibu secara langsung atau tidak untuk ikut membantu suami mencari nafkah. Akibatnya, generasi kehilangan masa pendidikan di dalam rumah oleh ibunya.
Ulah Sekulerisme
Sistem sekulerisme yang menjadi pemahaman dan standar kehidupan di tengah masyarakat telah menghasilkan pendidikan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Porsi belajar agama dalam sistem ini sangat sedikit bahkan cenderung formalitas. Tidak ada pembelajaran Islam sebagai standar perilaku dan penentu benar dan salah, yang ada hanya pelajaran terkait ibadah ritual semata.
Sungguh sistem pendidikan ini telah gagal melahirkan individu yang beraklak mulia. Sebaliknya, sistem ini justru menghasilkan generasi yang mengalami krisis jati diri. Remaja menjadi tidak mengenal siapa dirinya dan apa tujuan hidupnya di dunia yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.
Akibatnya, standar perilaku mereka hanya menjadikan kepuasan jasadiyah sebagai tujuan utama, bukan syari’at Islam. Selain dari lingkungan keluarga dan pendidikan, sekulerisme juga dibentuk oleh lingkungan sekitar atau masyarakat.
Masyarakat hari ini tidak peduli atas apa yang terjadi dengan sekitarnya dan cenderung individualis. Bila ada tetangganya yang melakukan kesalahan, masyarakat sekuler tidak biasa mengingatkan, masyarakat akhirnya menjelma menjadi masyarakat sekuler dan kapitalis.
Sistem Islam sangat berbeda dengan sistem kapitalisme. Dari sejarahnya saja, selama kurang lebih 1300 tahun lamanya, sistem Islam mampu melahirkan generasi unggul yang berkepribadian Islam, berakhlak mulia dan beradab.
Semua ini tidak lepas dari bentuk negara yang ta’at dan tunduk pada aturan Allah Swt. Islam memiliki sistem perlindungan anak dengan tegaknya tiga pilar, yakni adanya keimanan dan ketakwaan individu, kontrol masyarakat dengan budaya amar makruf nahi munkar dan penerapan aturan oleh negara.
Ketakwaan individu, mulai dibentuk dari keluarga, khususnya melalui peran seorang ibu sebagai madrasatul ‘ula bagi anak. Ibu akan sangat memahami perannya sebagai pendidik generasi dan pengatur rumah tangga (al-umm warabatul bait).
Karena itu, mereka akan mengutamakan peran ini sebelum mengambil aktivitas lain yang dibolehkan syari’at, seperti bekerja. Peran mendidik generasi dipahami sebagai amal yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat sehingga mereka akan belajar mendidik anak hingga memiliki kepribadian Islam.
Negara memberi dukungan bagi para keluarga dengan membuka lapangan pekerjaan yang luas dan gaji yang layak bagi para laki-laki pencari nafkah. Semua ini akan memudahkan para ibu supaya fokus menjalankan peran strategisnya di rumah.
Selain itu, negara hanya akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang akan mencetak peserta didik agar memiliki kepribadian Islam sehingga mereka akan selalu berusaha berpikir dan bersikap sesuai dengan standar Islam. Peserta didik juga akan diarahkan untuk mengisi waktunya dengan baik demi kemajuan peradaban bangsa yang cemerlang. Mereka akan dididik untuk menjadi generasi bertakwa sekaligus menguasai sains dan teknologi sehingga tidak akan ada remaja yang waktunya terbuang sia-sia untuk melakukan aktivitas maksiat termasuk kekerasan.
Kontrol masyarakat berperan penting dalam menjadikan pemahaman, keyakinan, dan perbuatan para anggotanya bersandar pada Islam sehingga mereka tidak akan abai terhadap perilaku generasi. Bahkan, akan mudah menashati generasi jika menemukan kemaksiatan.
Hanya melalui penerapan aturan Islam secara menyeluruh (kafah) maka negara bertanggung jawab secara penuh dalam melindungi anak dan generasi dari berbagai tindak kekerasan, membina generasi supaya memiliki kepribadian mulia dan menjadi salah satu pilar peradaban yang berkualitas. (Ummu Fahhala).
***
Sekilas tentang penulis:
Ummu Fahhala, seorang pegiat literasi, ibu dari lima anak (Fadilah, Arsyad, Hasna, Hisyam & Alfatih). Selain sebagai Ummu warobbatil bait, juga sebagai praktisi pendidikan. Menulis untuk dakwah. Semoga menjadi wasilah datangnya hidayah dari Allah Swt. dan meraih pahala jariyah.
Judul: Kekerasan pada Anak, Tuntas dengan Islam
Penulis: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: Jumari Haryadi