ArtikelBerita Jabar NewsBJN

“Mom Shaming” dan Kesehatan Mental Ibu

BERITA JABAR NEWS (BJN) ─  Rubrik OPINI, Selasa (28/01/2025) ─ Artikel bertajuk Mom Shaming” dan Kesehatan Mental Ibu ini adalah karya tulis Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Pada 2025, pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, meluncurkan program makanan bergizi bagi anak-anak usia sekolah dasar. Program ini merupakan salah satu upaya strategis untuk menciptakan generasi muda yang sehat, cerdas, dan produktif, sebagai bagian dari visi Indonesia Emas 2045.

Program tersebut dirancang untuk memastikan semua anak di sekolah dasar memiliki akses ke makanan bergizi yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan optimal.  Nutrisi yang baik berkontribusi pada kemampuan kognitif anak (kegiatan mental yang membuat individu bisa menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu peristiwa), sehingga diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi dan prestasi belajar.  Dengan memberikan akses yang sama ke makanan bergizi, program ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan gizi di seluruh Indonesia.

Febri Satria Yazid, penulis - (Sumber: Arie/BJN)
Febri Satria Yazid, penulis – (Sumber: Arie/BJN)

Selain bertujuan meningkatkan gizi anak-anak usia sekolah, program makanan bergizi yang dilaksanakan pemerintah pada 2025 juga memiliki dampak sosial yang signifikan, yaitu membantu meredam gejala “mom shaming”.

Mom shaming adalah perilaku mempermalukan atau menghakimi ibu lain atas cara mereka mengasuh anak sehingga sering membuat ibu merasa bersalah dan merasa usahanya tidak cukup baik, khususnya dalam hal pemenuhan gizi anak.

Fenomena “mom shaming” merujuk pada tindakan mempermalukan, mengkritik, atau menghakimi seorang ibu atas cara mereka mengasuh anak-anaknya. Perilaku ini sering kali muncul dalam bentuk komentar negatif, baik secara langsung maupun melalui media sosial yang menyiratkan bahwa seorang ibu tidak cukup baik dalam mengurus anak-anaknya. Hal ini mencakup kritik terhadap berbagai aspek, seperti cara mendidik, pemenuhan gizi, gaya pengasuhan, hingga pilihan pribadi yang diambil seorang ibu, misalnya bekerja atau menjadi ibu rumah tangga.

Program ini dilaksanakan secara bertahap mulai awal 2025 dengan target mencakup seluruh siswa sekolah dasar di Indonesia pada akhir tahun. Pemerintah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, dan sektor swasta untuk memastikan distribusi makanan yang efektif dan berkualitas.

Makanan yang disediakan disesuaikan dengan kebutuhan gizi anak-anak usia sekolah, mengacu pada standar kesehatan nasional. Anak-anak dari berbagai latar belakang sosial dapat memperoleh makanan bergizi yang sama sehingga meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup mereka, membantu meringankan beban orang tua dalam memenuhi kebutuhan gizi anak, terutama bagi keluarga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Dengan akses makanan bergizi, program ini diharapkan mampu menurunkan angka stunting di Indonesia, yang masih menjadi tantangan besar dalam sektor kesehatan.

Di masyarakat, mom shaming sering kali terjadi tanpa disadari. Perilaku ini bisa muncul dalam perbincangan sehari-hari atau perbandingan antar ibu, seperti membandingkan kesehatan anak berdasarkan berat badan, prestasi di sekolah, atau pola makan. Tekanan sosial untuk memenuhi standar tertentu membuat banyak ibu merasa bersalah, tidak percaya diri, bahkan mengalami stres atau gangguan mental.

Mom shaming tidak hanya melukai perasaan ibu yang menjadi target, tetapi juga dapat memengaruhi hubungan antara ibu dan anak, serta dinamika keluarga secara keseluruhan. Fenomena ini mencerminkan adanya budaya kompetisi dan kurangnya empati dalam masyarakat yang memperparah beban emosional seorang ibu. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan edukasi tentang pentingnya mendukung ibu tanpa menghakimi sehingga mereka dapat menjalankan perannya dengan percaya diri dan penuh kasih sayang.

Mom shaming dapat memberikan dampak yang signifikan pada kesehatan mental ibu. Ketika seorang ibu merasa dihakimi atau dipermalukan atas pilihan atau cara pengasuhannya, hal ini dapat memicu berbagai gangguan psikologis.

Ibu yang sering menjadi korban mom shaming cenderung meragukan kemampuannya dalam mengasuh anak. Kritikan yang terus-menerus dapat membuatnya merasa tidak kompeten, meskipun ia telah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.

Mom shaming sering kali memicu rasa bersalah yang tidak proporsional. Ibu merasa bahwa apa yang telah dilakukannya selalu kurang atau salah, sehingga beban emosionalnya semakin berat.

Kritik sosial yang terus-menerus dapat meningkatkan tingkat stres dan kecemasan seorang ibu. Ibu mungkin merasa tertekan untuk memenuhi standar yang tidak realistis yang diciptakan oleh masyarakat atau media sosial.

Dalam kasus yang lebih parah, mom shaming dapat memicu atau memperburuk depresi. Ibu yang merasa dihakimi mungkin merasa terisolasi, kehilangan motivasi, dan mengalami kesedihan yang mendalam.

Tekanan psikologis akibat mom shaming dapat memengaruhi cara ibu berinteraksi dengan anak-anaknya. Rasa stres dan frustrasi dapat menyebabkan ibu menjadi kurang sabar atau emosional yang pada akhirnya dapat memengaruhi hubungan mereka.

Ibu yang sering menjadi sasaran mom shaming mungkin menarik diri dari lingkungan sosial karena takut dihakimi. Hal ini dapat memperburuk perasaan kesepian dan kurangnya dukungan sosial. Kombinasi dari tekanan sosial, tanggung jawab pengasuhan. Ibu merasa kelelahan secara fisik, mental, dan emosional sehingga kesulitan menjalankan perannya dengan baik.

Untuk mengurangi dampak tersebut, penting bagi masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, penuh empati, dan bebas dari penghakiman. Selain itu, ibu juga perlu mendapatkan akses ke sumber daya kesehatan mental, seperti konseling atau dukungan komunitas, untuk membantu mereka mengatasi tekanan akibat mom shaming.

Dengan adanya program makanan bergizi, pemerintah memberikan akses yang merata kepada seluruh anak sekolah dasar di Indonesia untuk mendapatkan nutrisi yang seimbang. Hal ini secara tidak langsung membantu mengurangi tekanan pada ibu, khususnya dari kalangan keluarga kurang mampu, yang sebelumnya mungkin merasa disalahkan atau dinilai tidak cukup cakap dalam memenuhi kebutuhan gizi anak-anak mereka.

Selain itu, banyak perilaku di masyarakat, baik yang disadari maupun tidak, memperburuk situasi ini. Contohnya adalah membandingkan kesehatan anak berdasarkan berat badan, tinggi badan, atau kondisi fisik lainnya yang sering dikaitkan dengan kecukupan gizi. Perbandingan ini semakin nyata ketika ibu membawa anak-anak mereka ke posyandu dan menerima kartu sehat yang kadang menjadi alat pembanding antar keluarga. Ibu yang anaknya dianggap kurang sehat sering kali menjadi sasaran komentar negatif atau pandangan merendahkan dari lingkungan sekitar.

Dengan adanya program nasional ini, diharapkan tidak ada lagi perbedaan mencolok dalam pemenuhan gizi anak, sehingga mom shaming terkait gizi dapat diminimalkan. Selain itu, langkah ini juga dapat mengedukasi masyarakat untuk lebih memahami pentingnya mendukung satu sama lain, alih-alih saling menghakimi. Pemerintah, melalui program ini, tidak hanya memastikan anak-anak mendapatkan nutrisi terbaik, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya lingkungan sosial yang lebih suportif bagi para ibu.

Mom shaming adalah perilaku mengkritik, menyalahkan, atau merendahkan seorang ibu atas pilihan atau cara ia mengasuh anaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk melalui media sosial. Contohnya mencakup komentar tentang metode menyusui, pola asuh, karier, hingga penampilan fisik ibu.

Perilaku tersebut dapat berdampak negatif pada kesehatan mental ibu. Ibu sering merasa tertekan, cemas, bahkan kehilangan rasa percaya diri akibat tekanan sosial untuk menjadi “ibu sempurna”. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu stres kronis, depresi pasca melahirkan.

Tindakan yang merugikan mental ibu harus dihindari. Dukungan, empati, dan pengertian dari lingkungan sekitar sangat penting untuk membantu ibu menjaga kesehatan mentalnya dan menjalankan peran sebagai orang tua dengan lebih percaya diri. (Febri S.Y.).

***

Judul: Mom Shaming” dan Kesehatan Mental Ibu
Penulis: Febri Satria Yazid, pemerhati sosial.
Editor: Jumari Haryadi

Catatan:

Tulisan berjudul Mom Shaming” dan Kesehatan Mental Ibu ini  bisa juga Anda baca di blog pribadi penulisnya Febrisatriayazid.blogspot.comdan atas seizin penulis diterbitkan kembali di BERITA JABAR NEWS (BJN).

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *