Berita Jabar NewsBJNCerpenSastra

Cerpen “Kia, Murid SDIT Cahaya Qur’ani yang Mandiri”

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom SASTRA, Selasa (28/01/2025) – Cerita pendek (Cerpen) berjudul Kia, Murid SDIT Cahaya Qur’ani yang Mandiri ini ditulis oleh Lani H., seorang guru SDIT Cahaya Qur’ani Kabupaten Bandung Barat.

Assalamu’alaikum sayang?” Sapaku delapan bulan silam, saat di hadapanku tampak seorang gadis kecil yang sedang berada dalam antrian untuk melakukan tes penerimaan siswa baru di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Cahaya Qur’ani.

Wa’alaikumsalam Ibu,” jawab gadis kecil itu dengan senyum merekah bernada manja, khas anak kecil.

“Siapa namamu sayang?” Tanyaku lagi pada gadis manis itu.

“Namaku Kia Putri Andini,” jawab anak kecil itu dengan riang sambil memaparkan identitasnya, sementara itu terlihat sang nenek yang tampak sedang menunggu di belakangnya tersenyum bangga melihat cucunya begitu berani dan percaya diri.

Ibu dan anak
Ilustrasi: Aku dan Kia sedang ngobrol berdua sehabis jam sekolah – (Sumber: Arie/BJN)

Tes berjalan dengan baik. Saat interview dengan sang anak sedang berlangsung, lebih tepatnya sih bercakap-cakap, tiba-tiba sang nenek menyela pembicaraan kami. Tampaknya ada hal yang ingin disampaikannya.

“Ibu, nanti Kia ikut jemputan sekolah. Sepertinya hari Senin sudah mulai ikut,” ujar sang nenek.

Kebetulan Senin itu kegiatan sekolah di mulai dengan kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Dengan hati sedikit kaget saya pun menjawab.

“Iya Bu, silahkan!” Jawabku singkat.

Hebat sekali anak ini, gumamku. Biasanya usia anak SD kelas 1 masih rewel ingin diantar oleh ibunya. Bahkan, ada anak yang sampai harus ditunggu di sekolah.

Singkat cerita, hasil tes yang dijalani Kia, seperti tes baca, tulis, dan hafalan dengan mudah dilalui oleh  gadis kecil itu.

Hari pertama MPLS, sekolah tampak penuh, ramai dengan ibu-ibu pengantar dan anak-anak yang tampak malu dan sedih. Namun, ada juga anak-anak yang sangat antusias karena sudah menjadi “Kakak SD”, begitulah sebutan kami menyapa murid baru kelas 1.

***

Aku memicingkan mata menelusuri keberadaan Kia karena rasa ingin tahu dengannya. Saat mencari, tiba-tiba suara nyaring terdengar dari belakang.

“Ibuuu.”

Aku teringat ini suara khasnya anak gadis kecil itu dan bersiap untuk tersenyum sambil membalikkan badan.

Assalamu’alaikum Kia?” Sapaku pada Kia.

Wa’alaikumsalam Ibu,” balas Kia menjawab salamku disertai salim dan memelukku dengan sedikit rasa segan dan malu.

Tak lama kemudian terdengar suara bel berbunyi menandakan kegiatan upacara pembukaan MPLS akan segera dilaksanakan.

***

Hari demi hari, minggu, dan bulan, aku perhatikan Kia termasuk anak yang mandiri. Bahkan, dia selalu mengajak teman-temannya untuk berperilaku disiplin. Kia pun termasuk anak yang berprestasi. Nilai-nilai yang diperolehnya relatif  baik dan di atas rata-rata.

Kegiatan belajar di sekolah tidak terasa sudah berjalan hampir enam bulan. Seperti biasa dan umumnya di sekolah lain, semua anak-anak wajib mengikuti ujian penilaian akhir semester. Anak-anak pun antusias belajar karena ingin mendapat hasil yang baik.

Gadis muslim sedang belajar
Ilustrasi: Kia rajin belajar di rumahnya – (Sumber: Arie/BJN)

Hari pertama berjalan dengan lancar, tidak ada kendala. Pada hari kedua, saat  tes sedang  berjalan, tepatnya pada jam kedua, saat membacakan soal kepada anak-anak sambil menatap satu persatu setiap gerak dan ekspresi mereka, sekilas aku melihat ada garis luka di wajah Kia. Saat itu aku tak sempat bertanya karena kupikir mungkin nanti bisa ditanyakan setelah tes selesai. Mengingat Kia menggunakan jemputan sekolah, jadi ada waktu untuk menanyakan saat dia menunggu giliran dijemput.

“Duduk rapih!” Terdengar suara petugas pemimpin doa menyiapkan teman-temannya agar mereka bisa mengikuti arahannya.

“Siap, InsyaAllah, aamiin!” Itulah jawaban dari anak-anak ketika sudah disiapkan.

“Sebelum kita pulang, marilah kita berdo’a dulu. Berdo’a dimulai! ”

Semua yang berada di kelas membaca do’a kifaratul majlis tanda kegiatan sudah selesai.

Anak-anak sudah mulai bubar dan meninggalkan sekolah. Seperti biasa, aku kembali ke kelas untuk beres-beres agar besok anak-anak belajar dengan nyaman.

“Ibuu, lagi apa?” Kia menghampiri dengan senyumnya yang khas.

“Ibu sedang beres-beres, lalu memeriksa hasil ujian, Kia. Oh iya, kenapa pipi Kia terlihat merah seperti habis dicakar?” Tanyaku pada Kia spontan.

“Emmmm, sama kucing Bu. Aku punya kucing kecil lucuuuu sekali,” jawab Kia menggemaskan.

“Harus segera diobatin ya Kia,” ujarku sambil berdiri mencari minyak herbal untuk dioleskan dipipinya.

”Nanti diobatin lagi di rumah ya!” Kataku lagi, mengingatkan Kia.

“Iya Ibu,” jawab Kia ramah.

Percakapan pun aku ganti dengan hal-hal yang lucu agar Kia tidak merasa canggung. Misalnya aku minta dia bercerita tentang kucingnya yang lucu dan tentang adiknya yang berusia dua tahun. Tak lama kemudian datanglah bapak petugas yang menjemput Kia, lalu dengan riang dia pun berpamitan pulang.

***

Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB, saatnya aku pulang ke rumah karena badan sudah ingin segera disegarkan dan harus menyiapkan makanan anak dan suami.

Sekitar pukul 21.00 WIB malam, ada suara notif dari handphone-ku menandakan ada pesan masuk. Tak lama langsung kubaca.

Dengan sedikit penasaran, aku berkata dalam hatiku, ini dari siapa ya? Nomornya belum terdaftar dikontak handphone-ku”. Aku lanjut membaca isi pesan itu, “Ibu, saya ayah Kia, mohon maaf mengganggu waktunya. Saya mau menginformasikan bahwa anak saya Kia pipinya dicakar temannya yang bernama Beni saat jajan di kantin. Mohon agar anak yang mencakar Kia segera diberikan bimbingan agar kejadian  itu tidak terulang lagi karena mengingat Kia adalah perempuan, takut lukanya berbekas. Tidak elok dilihat.

“Mohon maaf bapak atas kejadian yang menimpa Kia, tadi di sekolah kami ngobrol, katanya itu dicakar kucing?” Jawabku menjelaskan.

“Sudah lama kami tidak pelihara kucing, Bu. Kucing Kia mati enam bulan lalu. Mungkin Kia takut saya marahin temennya, jadi Kia berbicara seperti itu,” balas ayahnya Kia

“Oh seperti itu. Baik Bapak, besok saya akan beri teguran dan pengarahan kepada Beni yang sudah mencakar Kia,” jawabku kembali.

“Baik Ibu, terima kasih,” balas ayahnya Kia menutup obrolan via chat di aplikasi WhatsApp.

***

Besoknya aku langsung bertindak seperti yang dijanjikan tadi malam kepada ayah Kia. Dengan sangat hati-hati, aku tanyakan apa yang terjadi pada Kia dan setelah tahu kejadiannya seperti apa, aku langsung bertanya juga kepada Beni. Akhirnya aku mendapatkan kesimpulan kronologis peristiwa dari Kia dan Beni.

Aku harus segera meminta konfirmasi atas kejadian tersebut kepada wali Beni. Obrolan dengan ibu  Beni pun berjalan dengan baik. Beliau mengakui atas kesalahan anaknya dan menghaturkan maaf kepadaku  selaku wali kelas dan menitipkan pesan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada Kia dan orang tuanya.

Setelah kejadian tersebut selesai, aku pun kembali fokus terhadap ujian semester yang tinggal beberapa hari lagi.

Selama beberapa hari dilalui, ujian berjalan dengan lancar dibarengi dengan rekap nilai. Sampailah saat yang dinanti-nantikan oleh setiap murid dan orang tua, yaitu pembagian rapor.

Qadarullah, selama masa rekap nilai, Kia sakit selama beberapa hari. Bahkan, sampai tiba saatnya pembagian rapor, gadis kecil itu masih sakit. Orang tua Kia meminta agar pembagian rapornya didahulukan karena sudah ada jadwal tes darah untuk Kia di Rumah sakit karena demam yang terus tinggi dan tidak turun-turun.

Pada pukul 07.30 WIB adalah jadwal yang diminta orang tua Kia untuk pengambilan rapor anaknya. Selagi menunggu kehadiran orang tua Kia, aku pun menyiapkan rapor, lembar refleksi, dan lembar kehadiran orang tua.

Selagi aku sedang asyik bekerja, tiba-tiba ada panggilan dari luar kelas, “Bu, di mana ya ruang kelas 1 Khalid?”

Seketika aku beranjak langsung berdiri menghampiri sumber suara tersebut, “Di sini Bunda, silahkan masuk!”.

Ayah dan bunda Kia pun memasuki kelas, “Sehat bunda?”

Alhamdulillah Ibu, saya sehat,” jawabku singkat dengan nada ramah, “Bagaimana keadaan Kia sekarang?” Tanyaku kemudian.

“Demam Kia belum turun Bu. Sekarang mau dia mau kami bawa ke rumah sakit, mau cek lab,” ujar Bundanya Kia.

“Semoga hasilnya baik dan tidak ada apa-apa ya Bun. Aamiin,” ujarku sambil mendoakan Kia.

“Minta do’anya ya Bu, semoga hasilnya baik,” balas Bundanya Kia.

Selagi Bundanya Kia mengisi formulir, kami berbincang seputar nilai yang didapat Kia, pencapaiannya, dan apa saja yang menjadi kendala pembelajaran bagi Kia selama satu semester ini.

“Alhamdulillah Bu, Kia ini anak yang sholeh sekali, mandiri, dan mudah diarahkan. Pernah suatu waktu kami sekeluarga pindah dan jauh dari oang tua, belum mendapatkan pengasuh untuk Kia. Selama beberapa minggu Kia tinggal sendiri di rumah.”

“Kami pasang CCTV yang terhubung dengan HP saya dan suami. Semuanya kami arahkan dari HP, seperti bagaimana Kia makan, mandi, dan tandas. Apapun itu kami arahkan dari HP. Saya sedih sekali karena kami sama-sama bekerja. Jadi benar-benar Kia kami tinggal sendirian di rumah,” ujar Bundanya Kia.

Ayah Kia tak mengucapkan sepatah kata pun. Beliau berusaha menguatkan perasaan Bundanya Kia sambil mengusap punggung istrinya itu agar bisa menahan perasaan yang dialaminya.

Mendengar hal itu, aku pun langsung  terdiam. Aku merasa terenyuh, kagum dan sedih.

MasyaAllah Bunda, hebat sekali anak bunda, sejak diusia emas Kia sudah mandiri dan bertanggung jawab,” kataku memuji Kia.

“Iya Bu,” jawab Bunda Kia sembari menyeka air mata yang sudah mengalir membasahi pipinya.

“Oh iya, Ayah Bunda, mohon maaf atas kejadian kemarin yang menimpa Kia.Waktu itu  saya sedang di kelas, jadi tidak sempat melihat kejadiannya,” ujarku pada kedua orang tua Kia.

“Tidak apa-apa Ibu, saya maklum atas kejadian tersebut. Semoga tidak ada kejadian seperti itu lagi,” balas Bundanya Kia.

“Aamiin,” kataku singkat.

Tak terasa kami berbincang sudah hampir setengah jam. Ibu-ibu wali murid sudah mulai berdatangan.

“Baik Ayah Bunda, apakah masih ada hal yang ingin disampaikan lagi?” Tanyaku kembali dengan maksud agar percakapan kami disudahi karena mengingat pembagian rapor akan segera dilaksanakan.

“Ibu, saya ucapkan terima kasih atas segala yang Ibu berikan kepada Kia. Saya titip Kia Bu.”

InsyaAllah bunda.”

Sambil tersenyum dan bersalaman,  Ayah dan Bunda Kia  berpamitan.

Sambil menunggu wali murid mengisi lembaran refleksi, aku terus teringat percakapan dengan Bunda Kia. Ternyata anak diusia emas yaitu usia di bawah tujuh tahun bisa begitu mandiri, bertanggung jawab, dan sudah punya pendirian. Kia hanya menurut apa yang diarahkan oleh orang tua dan gurunya.

Pada usia emasnya, Kia sudah dapatkan: Kemandirian fisik, seperti makan, minum, berpakaian, dan tandas; Kemandirian emosional, seperti mampu mengatasi perasaan negatif seperti takut dan sedih, dan; Kemandirian sosial, seperti mampu berinteraksi dengan orang lain, sabar menunggu giliran, dan bergantian.

Mungkin inilah pondasi yang orang tuanya lakukan kepada Kia: Memberikan kepercayaan kepada anak untuk melakukan sesuatu sendiri; Memberikan tugas kecil; Membiarkan anak menentukan pilihannya sendiri; Tidak selalu membantu anak; Memberikan lingkungan yang ramah anak; Memberikan apresiasi atas usaha anak, dan; Menciptakan suasana rumah yang aman untuk bertualang dan eksplorasi.

Berputar pikiran ini seputar Kia. Sungguh bangga aku  mempunyai anak didik yang mandiri dan berprestasi.

***

Judul: Kia, Murid SDIT Cahaya Qur’ani yang Mandiri
Pengarang: Lani H.
Editor: Jumari Haryadi

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *