Berita Jabar NewsBJNCerpenSastra

Cerpen “Pak Guru”

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom SASTRA, Senin (27/01/2025) – Cerpen berjudul “Pak Guru” ini merupakan karya original dari Dimas Saputra, seorang praktisi perbukuan yang kini tinggal di Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Di sebuah pagi yang cerah, di kelas sebuah SMA di kota yang dingin, terdengar suara Pak Guru sedang mengajar. Pak Rayhan, seorang guru Bahasa Indonesia paruh baya. Sayup-sayup terdengar Pak Guru mengajar.

Pak Guru berkata, “Bapak Jaya adalah seorang yang humanis, dia banyak disukai rekan sejawatnya karena kehumanisannya itu.”

“Coba anak-anak, terangkan mengenai susunan kalimat di atas, tentukan pola kalimatnya,” ujar seorang guru bahasa Indonesia pada suatu ketika di sebuah ruang kelas.

Dimas Saputra
Dimas Saputra, Pengarang – (Sumber: BJN)

Udin mengacungkan tangannya dan bertanya, “Pak, apa sih maksudnya seorang yang humanis itu? Apakah orang yang disebut humanis adalah orang baik? Apakah orang yang baik sudah pasti humanis?”

Pak Guru yang baik hati hanya tersenyum dan mulai bercerita bahwa beberapa tahun ke belakang ketika negara Indonesia masuk ke dalam zona Pandemi Covid-19, ketika semua gerak keseharian dibatasi karena adanya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), ia mempunyai beberapa teman yang bekerja di sektor swasta yang kala itu terdampak oleh adanya Pandemi Covid-19.

Saat itu, Pak Guru berujar lagi kepada para muridnya, beberapa temannya terkena dampak pemotongan gaji dari perusahaan tempat mereka bekerja, yang jika dirata-ratakan mereka hanya mendapatkan gaji bersih senilai 60-70% dari gaji seperti biasanya. Hal itu terjadi karena pola bekerjanya pun berubah karena ada PSBB itu yang biasanya bekerja enam hari dalam seminggu, menjadi empat hari dalam seminggu.

Pak Guru menambahkan, bahwa hal itu masih bisa disebut humanis karena perusahaan tidak sampai merumahkan para karyawannya dan teman-temannya itu juga masih bisa bersyukur jika mereka masih bisa mencari sesuap nasi pada masa-masa yang mencekam itu.

Jadi, Pak Guru menambahkan, humanis itu atau seorang yang humanis adalah individu yang menganut prinsip-prinsip humanisme. Humanisme adalah pandangan hidup yang menekankan nilai, martabat, dan potensi manusia sebagai pusat dari segala pemikiran dan tindakan. Seorang humanis umumnya sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, kasih sayang, dan keadilan sosial.

Seorang anak lain yang seringkali dipanggil Acung oleh teman-temannya, mengacungkan tangan dan bertanya, “Lalu, jika ada sebuah perusahaan yang ingin dianggap sebagai perusahaan yang menganut sistem humanisme, kemudian pada saat pandemi itu dengan dalih tidak mau sampai merumahkan karyawannya karena perekonomian sedang sulit, hingga memutuskan tetap mempekerjakan seluruh karyawannya dengan pola kerja sehari masuk sehari tidak, dalam seminggu tetap bekerja selama 3 hari, tapi perusahaan hanya menggaji sebesar 30% dari nilai gaji yang diterima selama 10 bulan dengan dalih nanti yang sisa 70%-nya dianggap sebagai tabungan dan akan dikembalikan jika situasi sudah normal kembali, apakah itu bisa disebut sebagai humanis?”

Pak Guru hanya terdiam dan sesaat berpikir, mendongakkan kepalanya ke atas seolah-olah sedang mencari jawaban, lalu dengan tenang balik bertanya kepada murid yang bertanya tadi, “Nak, itu sebuah pertanyaan yang berupa andai-andai saja atau sebuah kenyataan yang kamu dengar dari suatu tempat?”

Si Murid, menyeringai kecil lalu berkata, “Hehe… Saya tidak sengaja pada suatu ketika mendengar obrolan bapak-bapak di Masjid Pak, selepas Salat Maghrib, waktu disuruh beres-beres rak buku.”

Pak Guru yang baik hati itu tersenyum, lalu berkata, “Jika menurut cerita dalam pertanyaanmu tadi itu berakhir dengan pengembalian secara penuh sisa gajinya yang 70% itu, ketika situasi sudah kembali normal, perusahaan atau top level management dalam perusahaan itu bisa dianggap humanis, walaupun tentu kurang manusiawi.“

“Dianggap humanis karena demi menghindari pengurangan karyawan, dan agar semua karyawan tetap dapat bekerja dan mempunyai penghasilan, perusahaan berani mengambil keputusan sulit, yaitu hanya memberikan gaji 30% dari jumlah normal, kalau kita hitung UMK waktu itu Rp3.500.000 maka para karyawan hanya mendapatkan gaji berapa, Davit?”

Pak Guru bertanya secara mendadak kepada Davit yang duduk di bangku paling belakang dan terlihat sudah setengah lelap, menuju tidur yang kudus. Si Davit terbangun setelah teman sebangkunya menyolek tangannya. Ia sedikit bingung.

Tiba-tiba Alisya mengangkat tangan dan menjawab, “Satu juta lima puluh ribu rupiah Pak!”

“Ya betul, Alisya!” Kata Pak Guru, sambil berjalan mendekati tempat duduk Davit, “Cuci muka dulu sana ke toilet!” Kata Pak Guru sambil dibarengi tawa riuh murid-murid sekelas.

Davit ngeloyor pergi sambil tersandung-sandung.

“Nah, sekarang coba hitung, jumlah pengembalian total gaji yang besarnya 70% itu yang dianggap sebagai tabungan oleh perusahaan dan sudah komitmen akan dikembalikan setelah pandemi mereda, andaikan saja, selama 10 bulan, kira-kira berapa yang mestinya diterima oleh para karyawan di perusahaan tadi?” Tanya Pak Guru kembali.

Murid-murid sibuk mencoreti kertas, merumus, menghitung. Bahkan, ada anak yang hanya menggambar abstrak, ada yang menggambar hati dengan panah yang menembus di tengahnya, dan ada pula yang hanya menatap langit-langit tanpa berkedip.

Susan mengangkat tangan, lalu berkata, “Totalnya dua puluh empat juta lima ratus ribu, Pak!”

Pak Guru tersenyum, dan mengangguk, muridnya Susan ini memang paling pintar pelajaran matematika.

“Nah, anak-anak, lumayan besar kan, jika 10 bulan kemudian ada pengembalian uang gaji dari perusahaan, masih bisa menutup kemungkinan membengkaknya dana talangan dalam bentuk utang selama digaji sebesar 30% dari nilai total gaji itu.”

“Pertanyaannya adalah, apakah perusahaan itu komitmen terhadap apa yang pernah disampaikan kepada pada karyawannya dulu? Bapak kan tidak tahu, mungkin nanti Acung bisa mencuri dengar lagi di masjid.” Pak Guru tertawa terkekeh-kekeh, murid-murid lainnya ikut tertawa, tapi tak sekeras tawa Acung.

Tak berapa lama. Setelah kelas sunyi kembali, Pak Guru berkata bahwa jika perusahaan itu melaksanakan komitmennya, berarti perusahaan itu khususnya pemilik atau direkturnya adalah sebuah perusahaan yang profesional dan tentu saja humanis dan sangat manusiawi, sangat-sangat memanusiakan karyawannya, tetapi jika tidak, misalnya saja perusahaan itu hanya memberikan sebagian kecil, atau hanya separuhnya saja dari total luang pengembalian yang 70% itu maka image perusahaan di mata karyawannya tentu akan tidak baik.

Lupa akan posisi Pak Guru sebagai guru bahasa Indonesia, ia malah melanjutkan perbincangannya mengenai “kasus” menarik yang dikemukakan Acung. Bahkan, pembahasannya semakin melebar.

“Baik, anak-anak, jika misalnya ayah kalian mendapat penghasilan sebulan selama Pandemi Covid-19 itu sebesar satu juta lima puluh ribu, apakah menurut kalian cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga kalian? Walaupun selama pandemi kalian hanya sekolah melalui Zoom Meeting, Google Meet, atau media online lain yang notabene memerlukan kuota?”

Pak Guru yang baik hati dan hampir disenangi oleh semua murid-murid itu bertanya sambil kembali berjalan ke depan, lalu berhenti dan memutar badannya menghadap kembali kepada murid-murid yang disayanginya itu.

“Joni, apakah selama pandemi, dan sekolah daring kamu masih mendapat uang jajan?” Tanya Pak Guru kepada Joni yang duduk persis di meja paling depan, bagian tengah, dan sekarang sedang beradu pandang dengan Pak Guru.

Joni menjawab dengan cepat, “Masih pak, walaupun tidak full, tapi saya dan adik saya masih tetap dapat uang jajan.”

“Apakah ditambah lagi dengan jatah membeli kuota?” Pak Guru menyambung pertanyaannya.

“Iya, Pak, bahkan selama seminggu bisa sampai dua kali isi selama sekolah online itu, Pak.” Jawab Joni.

“Baik, anak-anak, coba kalian bayangkan sendiri, atau nanti ketika pulang ke rumah tanyakan kepada Ayah dan Ibumu, apakah ada perbedaan pengeluaran bulanan ketika zaman pandemi covid dengan zaman normal di waktu itu, biaya bulanan yang dikeluarkan setiap bulan untuk makan kalian sekeluarga seperti untuk beli beras dan lauknya, beli pulsa kalian, jajan sehari-hari kalian, biaya ongkos kerja atau beli bensin kendaraan ayah kalian, apakah cukup hanya dengan gaji UMK ayah kalian atau gaji yang hanya 30%-nya dari gaji normal, seperti yang ditanyakan Acung berdasar curi dengar dia di masjid itu.”

Anak-anak kembali tertawa sambil melihat ke arah Acung, yang sekarang terlihat tertawa kecil terkekeh-kekeh sambil mengetuk-ngetuk meja dengan tangannya.

Bel jam pelajaran berakhir pun berbunyi. Sudah masuk jam istirahat. Pak Guru meminta kepada murid-muridnya untuk mengerjakan soal yang dia tulis di papan tulis tadi di rumah, setelah ditambah dengan beberapa nomor soal pada halaman tujuh puluh pada buku paket yang berwarna hijau toska itu. Tugas harus dikembalikan minggu depan.

***

Murid-murid berhamburan ke luar kelas, Davit sedari tadi tidak terlihat balik lagi ke kelas. Acung pergi paling akhir ke luar. Pak Guru, duduk sambil menundukkan wajahnya, ada setitik air mata menetes ke atas buku yang masih terbuka. Teringat sahabat dekat, teman sepermainannya, Harun yang meninggal karena Covid, di kala Ia dirumahkan oleh perusahaannya.

***

Judul: Pak Guru
Pengarang: Dimas Saputra
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang pengarang

Dimas Saputera adalah nama pendek dari Dimas Handi Hijrah Saputra. Pria kelahiran 1982 ini, pada suatu ketika pernah belajar dan lulus dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI),  Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia.

Dalam perjalanan hidupnya, Dimas pernah menjadi mentor tingkat SD dan SMP untuk pelajaran Bahasa Indonesia pada bimbingan belajar Sony Sugema College. Selepas dari itu, sejak 2009 s.d. sekarang pernah bekerja di berbagai penerbit dan percetakan buku, sebagai editor, layouter, desainer cover, hingga sebagai marketing dan admin.

Selain menjadi karyawan sebuah perusahaan, Dimas  juga aktif di beberapa komunitas kepenulisan maupun sosial. Sampai saat ini tercatat sebagai anggota Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Bandung Raya, Bendahara Radio Antar Penduduk Indonesia Wilayah Kabupaten Bandung Barat, Pengurus Pusat IKA UPI, dan anggota Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Masjid dekat rumahnya.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *