BeritaBerita Jabar NewsBJN

Komponis dan Pianis Ananda Sukarlan: Ekonomi Kreatif Itu Beda dengan Produk Seni

BERITA JABAR NEWS (BJN), Jakarta, Selasa (11/02/2025) – Komponis dan Pianis Ananda Sukarlan yang belakangan ini sering mengangkat karya puisi penyair menjadi sebuah tembang puitik dengan iringan musik klasik.

Lasman Simanjuntak (LS) yang juga dikenal sebagai seorang penyair dan sastrawan melakukan wawancara eksklusif dengan Komponis dan Pianis Ananda Sukarlan (AS) di Jakarta, Selasa (11/02/2025).

Di bawah ini hasil wawancara dalam format tanya jawab.

LS: Aktivitas apa yang sedang dilakukan sekarang? Rencana ke depan apa dalam musik klasik Indonesia?

AS: Sebagai komponis, karya yang sedang di atas meja saya adalah “Bora Ring” untuk orkes dengan para pemain didgeridoo dan penyanyi asli Aborigin yang mengisahkan tentang ritual suku Aborigin.

Komponis dan Pianis Ananda Sukarlan
Komponis dan Pianis Ananda Sukarlan – (Sumber: Lasman Simanjuntak)

Tema hubungan Aborigin dengan Indonesia ini telah saya mulai eksplorasi di karya orkes The Voyage to Marege’ tahun 2017 dan kini saya diminta lagi untuk mengangkat isu ini lewat musik. Saya menggunakan banyak puisi Judith Wright dalam riset saya.

Pertunjukan perdananya April nanti di Jakarta. Setelah itu saya berangkat ke Sydney menjadi composer in residence di Australian Institute of Music, selain sebagai dosen juga memperkenalkan musik Indonesia kepada para mahasiswa di sana.

Saya juga kini fokus ke pemberdayaan anak-anak muda karena ternyata bakat-bakat musik luar biasa sekali di Indonesia. Walaupun saya membesarkan Ananda Sukarlan Award (ASA, kompetisi musik yang didirikan oleh Pia Alisjahbana tahun 2008).

Kini saya sendiri membuat Kompetisi Piano Nusantara Plus ( KPN+ ) yang lebih ditujukan kepada pemusik yang lebih muda, yang belum menginjak pendidikan tinggi musik untuk menjadi profesional.

Fokus yang lebih spesifik saya, yang juga lahir dengan Sindrom Asperger, adalah kaum disabilitas, bahwa disabilitas fisik/mental itu tidak boleh menjadi halangan untuk berkesenian, kalau sang penyandang memang memiliki bakat yang besar dalam seni.

Peluncuran proyek ini saya akan jelaskan di acara yang diselenggarakan Rotary Club (dimana saya mendapat kehormatan diangkat menjadi Honorary Member tahun 2023 lalu) tanggal 20 Februari nanti, di Auditorium LSPR (London School of Public Relations).

Acara itu berupa talkshow, konser dan makan malam dimana semua orang bisa berdialog. Saya akan didampingi oleh Prita Kemal Gani (pendiri LSPR dan juga ibu dari seorang pelukis autis) dan ayah dari pelukis dengan Asperger’s Syndrome, Anfield Wibowo.

LS: Bisa diceritakan proses kreatif dulu dan sekarang, apa ada kendala internal dan eksternal?

AS: Sebelum 2017 saya lebih banyak tinggal di Spanyol, sejak itu sampai saat ini lebih banyak di Indonesia. Tapi, pekerjaan saya tetap lebih banyak untuk proyek-proyek di negara lain. Kalaupun di dalam negeri, itu untuk memenuhi permintaan berbagai kedutaan atau institusi asing untuk memperkenalkan atau kolaborasi budaya negara tersebut dengan Indonesia.

Misalnya Kedutaan Ecuador meminta saya membuat musik dari berbagai puisi Jorge Carrera Andrade, Finlandia memperkenalkan musik mereka ke Indonesia (dan kemudian saya ke Finlandia untuk pendidikan dan kolaborasi budaya), Australia mengeksplorasi sejarah hubungan dengan Indonesia dengan musik saya The Voyage to Marege’ dan masih banyak lagi.

Komponis Ananda Sukarlan bersama Penyair Pulo Lasman Simanjuntak berfoto usai konser musik klasik di sebuah galeri seni kawasan Jln.Kemang Raya No.30, Jakarta Selatan, baru-baru ini - (Sumber: Lasman Simanjuntak)
Komponis Ananda Sukarlan bersama Penyair Pulo Lasman Simanjuntak berfoto usai konser musik klasik di sebuah galeri seni kawasan Jln.Kemang Raya No.30, Jakarta Selatan, baru-baru ini – (Sumber: Lasman Simanjuntak)

Indonesia masih belum mendalami diplomasi ini. Yang saya lihat, Kedutaan Besar RI di luar negeri masih terbatas mengundang grup-grup dangdut misalnya, untuk konsumsi para diplomat kita sendiri.

Saya mengagumi upaya duta besar RI di Helsinki, Ratu Silvy Gayatri yang mengundang saya ke Helsinki tahun lalu dan mengorganisir bukan hanya konser tapi juga pertemuan saya dengan berbagai institusi di Finlandia seperti Sibelius Academy of Music, Museum Sibelius dan beberapa tokoh penting dalam diplomasi budaya.

Saya pribadi memang sudah banyak berhubungan dengan Finlandia dan berbagai institusi serta seniman negara itu selama 25 tahun ini, tapi baru tahun lalu Indonesia terlibat dalam diplomasi budaya yang saya lakukan.

LS: Bagaimana perkembangan musik klasik di Indonesia, terutama bagi Gen Z/Gen Alpha dan untuk disabilitas (autis)?

AS: Luar biasa sih. Kompetisi Piano Nusantara Plus tahun lalu kami adakan di delapan kota dan total pesertanya 477. Sekarang kita tidak bisa lagi bilang musik klasik di Indonesia tidak populer. Bahkan, musik klasik adalah genre musik yang masih belum bisa tersentuh oleh Artificial Intelligence sehingga masa depan musikus klasik sekarang justru jauh lebih menjanjikan daripada profesi lain yang bisa digantikan oleh AI.

Musik klasik justru dinilai dari inovasinya dan kompleksitas pengembangannya, beda dengan misalnya musik Taylor Swift yang progresi harmoniknya itu-itu saja dan mengandalkan faktor eksternal seperti joget, efek visual, dan tatanan panggung.

Indonesia juga kini memiliki musikus-musikus muda yang memang belum bisa tinggal di Indonesia (seperti saya sampai 2017 yang harus “cari makan” dari profesi saya dan juga untuk bisa pensiun).

Memang sih Indonesia lahannya belum bisa untuk seniman menghidupi diri sendiri murni dari berkesenian. Ada Isyana Sarasvati yang kuliah musik klasik, tapi kini menjadi musikus pop yang berkualitas.

Kita ada pianis Calvin Abdiel Tambunan yang baru saja memenangkan juara ke-3 Sydney International Piano Competition, salah satu kompetisi paling bergengsi di dunia, dan Calvin memang tidak berniat balik ke Indonesia untuk sementara waktu ini, sama seperti pianis Anthony Hartono dan soprano Alice Cahya Putri yang kini tinggal di Singapura.

Saya juga tidak menganjurkan mereka untuk pulang ke Indonesia karena mereka akan bisa lebih berkarya lebih produktif di luar negeri. Kalau soal disabilitas saya sudah jelaskan di point pertama di atas, ya.

LS: Apa masukkan musik klasik Indonesia untuk Kementerian Kebudayaan cw Menteri Fadli Zon?

AS: Jangan sampai rancu antara ekonomi kreatif dan seni/budaya. Ekonomi kreatif (EK) itu melibatkan semua yang komersial dan menghasilkan uang secara langsung, biasanya berhubungan dengan hiburan. EK melayani selera pasar, seperti musik pop/dangdut, lukisan dekoratif dan novel/cerpen yang “enak dibaca”.

Jadi kalau EK itu ibarat toko, seni dan budaya itu ibaratnya etalase dari toko tersebut. Kita kan tidak jualan barang-barang di etalase, tapi etalase itu mengundang konsumen untuk memasuki toko, merepresentasi apa yang ada di toko tersebut.

Jadi semua produk seni itu tidak menghasilkan uang secara langsung, tapi harus menunjukkan identitas toko tersebut. Nah, itu hanya salah satu dari fungsi seni/budaya.

Fungsi lain seni adalah dokumentasi sejarah. Penikmat seni akan lebih mengerti sejarah karena seni itu membuat kita untuk merasakannya, bukan hanya menghafal data-datanya.

Misalnya, pemerintah Australia telah banyak bekerjasama dengan saya sejak tahun 2000-an, di mana kami sama-sama memperingati Bom Bali yang menewaskan banyak orang Australia. Di konser tersebut saya bekerja sama dengan komponis Peter Sculthorpe, Betty Beath, Barry Conyngham dan juga banyak komponis dari negara lain dan saya berkeliling dunia memperingati kejadian itu yang telah membuka mata banyak pendengar tentang bahayanya radikalisme dan terorisme.

Selain itu saya juga banyak menggubah Tembang Puitik berdasarkan puisi-puisi yang merefleksikan sejarah, seperti Krawang – Bekasi karya Chairil Anwar, atau kalau tema saat ini ya puisi tentang pandemi dari Goenawan Monoharto, Ewith Bahar, Hilmi Faiq. Atau tentang korupsi dan nepotisme yang gila-gilaan sepuluh tahun terakhir ini yang dipuisikan oleh Riri Satria, Budhi Setyawan dll.

Seni, khususnya musik klasik juga adalah material untuk diplomasi yang sangat kuat karena bahasa yg universal. Ide membentuk G20 Orchestra dari Kementrian Pendidikan & Kebudayaan saat Indonesia menjadi tuan rumah G20 tahun 2022 adalah sangat brilyan, dan saya menerima penunjukan sebagai pendiri dan direktur artistiknya dengan mengaplikasikan konsep saya dalam dua hal :

Pertama, diversitas, yaitu dalam keseimbangan gender serta keberagaman ras, latar belakang budaya serta agama dari para musikusnya dan kedua, dokumentasi sejarah, dari memprogramkan “A Child of Our Time” karya Sir Michael Tippett, isu imigrasi pertama ke Australia oleh para pelaut Makasar abad ke-18 di karya saya Voyage to Marege’  sampai isu disabilitas dengan Piano Concerto no. 4 untuk tangan kiri saja dari Sergei Prokofiev.

Pertukaran budaya dalam musik klasik adalah juga melalui tugas saya sebagai dosen tamu di berbagai fakultas musik di banyak negara, seperti ke Sydney tahun ini dan tahun-tahun lalu ke Perancis, Finlandia, Spanyol, Mexico (Universidad de Monterrey), Brazil (Universidade de Campinas) dan banyak lagi.

Satu lagi perbedaan produk EK dan produk seni yang penting di era ini adalah: produk EK bisa dibikin menggunakan Artificial Intelligence, produk seni tidak (atau belum).

Bionarasi Ananda Sukarlan

Selain dianugerahi penghargaan tertinggi dari Kerajaan Spanyol “Real Orden de Isabel la Católica“, Ananda Sukarlan juga pernah dianugerahi gelar kesatriaan “Cavaliere Ordine della Stella d’Italia” oleh Presiden Italia Sergio Mattarella pada tahun 2020.

Selain itu, seniman Indonesia pertama yang diundang Portugal tepat setelah hubungan diplomatik Indonesia dan Portugal pada tahun 2000 ini juga telah dianugerahi banyak pengakuan swasta seperti Prix Nadia Boulanger dari Orleans, Perancis.

Ananda Sukarlan adalah salah satu dari 32 tokoh dalam buku “Heroes Amongst Us (Pahlawan di Antara Kita)” yang ditulis oleh Dr. Amit Nagpal yang diterbitkan di India. Ananda juga masuk sebagai salah satu dari 100 “Asia’s Most Influential” atau “Orang Asia Paling Berpengaruh” di dunia seni tahun 2020 oleh Majalah Tatler Asia.

Ananda Sukarlan lulus dari SMA Kolese Kanisius di Jakarta pada tahun 1986 dan kemudian melanjutkan studi di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory of Music) di Den Haag, Belanda, di mana ia kemudian lulus dengan predikat Summa CumLaude.

Karya terbarunya akan diluncurkan bulan Maret ini oleh Warner Classics yaitu “The Springs of Vincent“, berdasarkan empat lukisan tentang musim semi Vincent Van Gogh yang dibawakan oleh pemain flute Eduard Sanchez dan pianis Enrique Bagaria. (Lasman Simanjuntak).

***

Judul: Komponis Ananda Sukarlan: Ekonomi Kreatif Itu Beda dengan Produk Seni
Kontributor: Lasman Simanjuntak
Editor: Jumari Haryadi

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *