Lelaki Misterius Pembawa Petaka
Berita Jabar News (BJN) – Kolom Sastra, Selasa (01/09/2024) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Lelaki Misterius Pembawa Petaka” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Hari sudah menjelang petang, lalu-lintas jalan sudah tidak ramai lagi. Lampu penerang jalan pun mulai menyala bersiap menerangi gelapnya malam. Tampak Jalil dengan riang mendorong gerobag dagangannya menyusuri jalan pulang. Dia berjualan kaca cermin.
Sesampai di rumah pelan-pelan gerobag dorongnya diparkir di emperan rumah mungilnya. Setumpuk kaca cermin berbingkai indah dengan hati-hati diturunkan satu persatu, lalu disandarkan di dinding ruang depan.
Semua dikerjakan dengan senang sambil bersenandung lagu dangdut. Sesekali punggung tangannya mengusap keringat yang membasahi jidat.
Selesai itu Jalil membuat minuman kopi dan menyiapkan makan malam sendiri. Di rumahnya tidak ada siapa-siapa, seekor kucing pun tidak ada. Semua dia kerjakan sendiri untuk dinikmati sendiri.
Ketika sedang sendiri Jalil sering terkenang kebersamaan dengan istrinya. Banyak kebersamaan yang susah dia lupakan, baik ketika bahagia, suka, riang, duka sengsara, dan saat bertengkar.
Kesendirian acap kali membawa pikirannya terbang jauh pada kenangan masa lalu. Seperti kenangan saat sarapan pagi nasi goreng bersama istri beberapa tahun yang lalu. Pagi itu di tengah sarapan pagi, sambil menyendok nasi, istrinya bertanya, “Kang, ini hari apa ya?”
“Hari Ahad, memang kenapa?” Jawab Jalil sembari menggigit telor dadar.
“Tanggal berapa sih ini?” Tanya istrinya lagi.
“Lihat kalender saja tuh di pinggir jendela,” jawab Jalil singkat kali ini sambil menggigit kerupuk.
Istrinya bangkit sambil membanting sendok di piring, lalu pergi. Wanita berwajah manis itu bukan melangkah ke pinggir jendela untuk melihat kalender, tetapi masuk kamar. Pintu kamar ditutup dengan keras sehingga menimbulkan suara yang membuat Jalil kaget. Dalam kagetnya Jalil bergumam sendiri, waduh apalagi nih, bikin kaget dan bingung orang saja, bisa jantungan aku.
Sambil menyelesaikan sarapannya, Jalil berpikir keras apa yang menyebabkan istrinya sewot. Diingatnya semua rencana yang belum terlaksana, jajan apa yang belum terbeli atau janji lain apa yang dia lupa tunaikan.
Diusap-usapnya jidatnya sendiri, dilihatnya langit-langit rumah dan disapukan pandangan matanya berkeliling menyapu dinding rumah. Bingung. Lalu tiba-tiba dilihatnya foto di dinding.
“Aahaaaa, ingat aku sekarang, maafkan aku Neng, aku lupa,” teriaknya keras dalam hati.
Jalil bergegas menyusul masuk ke kamar dan tanpa ba-bi-bu, ditubruknya istrinya yang lagi terisak tengkurap di atas kasur.
“Maafin aku Neng, aku benar-benar lupa hari ini ulang tahun perkawinan kita. Maafin Akang ya sayang,” kata Jalil penuh sesal.
Istrinya tak peduli dan masih nampak kesal. Namun, bukan Jalil namanya kalau tidak mampu menundukkan hati istrinya. Entah apa yang dibisikkan ke telinga, istrinya pun kembali bisa tersenyum mesra. Bahkan, kemudian pagi hari itu kemesraan dua insan itu memuncak dan terbakar.
Api asmara memang tidak mengenal waktu. Tidak peduli pagi sudah hampir berganti siang, api asmara belum juga padam. Mereka merayakan hari ulang tahun perkawinan yang keempat dengan caranya sendiri. Keringat membasahi tubuh mereka. Kenangan hari itu begitu manis dan membekas di hati Jalil.
Perlahan, malam hari itu, kenangan manisnya hilang tertimpa rasa kantuk. Dimatikannya lampu. Lelah badan seharian berdagang membuatnya dengan cepat terlelap tidur.
Esok harinya Jalil kembali mendorong gerobag berisi lembaran-lembaran kaca cermin. Pagi itu dia menggelar dagangannya dengan rapi di pinggir jalan di dekat alun-alun. Jalil berharap jualannya laris manis.
Tanpa kenal lelah dibersihkannya kaca-kaca dari debu jalanan. Diatur tata letaknya supaya tidak terlalu mengganggu pemakai jalan. Beberapa menit sekali dia berteriak menawarkan dagangannya. Sampai menjelang siang belum juga ada yang membeli. Wajahnya tampak letih.
Seandainya saja dulu dia tidak di-PHK, sebenarnya tidak perlu bekerja sekeras ini. Penghasilan dari tempat kerjanya cukup untuk hidup layak. Sayangnya bencana menimpa dunia. Dia senasib dengan ribuan orang lain yang terkena pemutusan kerja akibat pandemi Covid.
Bagi Jalil yang tidak memiliki sumber penghasilan lain, keadaan menganggur dengan cepat membawa kondisi ekonominya meluncur ke titik nadir, apalagi waktu itu semuanya serba terbatas. Bahkan, bergerak pun dibatasi. Banyak orang benar-benar menjadi tidak berdaya, termasuk Jalil dan istrinya.
Sebagai lelaki yang harus menafkahi istri, Jalil tidak tinggal diam. Dia banting tulang mencari penghidupan. Bermacam usaha dicobanya tanpa mengenal waktu. Istrinya juga tidak merasa malu bekerja menjadi asisten rumah tangga paruh waktu di beberapa rumah di sekitar tempat tinggalnya, tapi semua hanya cukup untuk makan.
Kondisi ekonomi rumah tangga mereka sungguh semakin berat. Tidak pernah lagi makan di luar, jarang pelesir dan sudah lama tidak menambah perabot rumah. Keadaan buruk itu berlanjut meski pandemic sudah lewat.
Jalil berusaha untuk tetap wajar dan menghadapi semuanya dengan tegar, tetapi tidak mudah. Usahanya untuk tegar semakin berat ketika dilihatnya wajah istrinya semakin hari semakin masam. Sering uring-uringan dan marahnya dari hari ke hari semakin sering muncul.
Jalil paham, semua wanita ingin hidup bahagia dan serba berkecukupan. Tidak semua tahan hidup susah. Istri Jalil tidak tahan hidup susah, dia tertekan. Akhirnya pada suatu sore istrinya menyampaikan kegundahannya.
“Kang,” kata wanita itu pelan ke Jalil.
“Ya Neng,” jawab Jalil sambil menahan napas, gelisah menunggu apa yang mau diomongkan istrinya.
“Aku kasihan melihat Akang. Aku sudah coba bantu semampuku, tapi rupanya itu pun tak seberapa. Aku mau berusaha berbuat lebih banyak untuk memperbaiki kondisi kita Kang, maaf,” jelas wanita itu ke suaminya.
“Iya Neng, mau apa lagi, yang sudah kamu perbuat sudah sangat berarti bagi kita. Sudahlah, lebih baik hidup seadanya, tapi tenang,” lanjut Jalil berupaya agar tetap terdengar wajar.
“Itulah Kang, aku ga bisa tenang hidup seperti ini. Aku ingin seperti orang-orang itu,” jawab istri Jalil.
Orang-orang itu adalah orang-orang kaya di sekitar tempat tinggal mereka.
Kemudian istri Jalil menyampaikan mimpinya ingin punya banyak uang, ingin memakai perhiasan dan ingin tinggal di rumah bagus. Dia juga ingin makan enak dan ingin sering-sering healing.
Masih banyak lagi yang disampaikan istrinya, tapi Jalil tidak mampu menyimak dengan baik. Semua yang didengar sangat jauh dari kemampuannya untuk memenuhi. Dibiarkannya istrinya nyerocos menyelesaikan omongannya. Lalu, istrinya menutup dengan kalimat yang mengejutkan, “Aku mau jadi TKW Kang.”
Jalil terperangah. Tak menduga istrinya akan senekat itu. Sontak membayangkan hidup sendiri jauh dari istri yang dia sangat cintai ini. Dia tidak membayangkan harus mengurus segalanya sendiri.
Seketika Jalil mengerahkan berbagai jurus demi mencegah istrinya pergi jauh, bukan pergi ke tetangga yang bisa dijemput setiap saat, buka ke tetangga desa yang bisa ditunggu pulangnya, bukan ke mertua yang bisa diharapkan oleh-olehnya.
Kali ini Jalil kena batunya. Kemampuannya untuk merayu dan menundukkan hati istri tidak berhasil Istrinya tetap bertekad kuat pergi. Tidak ada yang mampu menahan, tembok China pun tidak.
Lelaki gagah itu tertunduk seperti ayam jago kalah bertarung. Lesu dan tak berdaya. Semangatnya luruh kayak tissue basah. Dalam hati dia berkata, lelaki macam apa aku ini. Harusnya aku mampu mencukupi kebutuhan di rumah ini dan istriku tidak perlu pergi.
Kepalanya semakin tertunduk saat muncul suara hati lain, tapi aku memang tidak mampu sepenuhnya menyangga tiang rumah tangga. Aku rapuh, kasihan istriku.
“Bagaimana Kang, aku ingin suaramu mengijinkanku pergi,” desak wanita itu.
Terjadi perang batin di diri Jalil, kenapa tidak aku ijinkan saja? Tujuannya kan mencari uang. Siapa tahu nantinya dia pulang membawa uang satu kapal.
Batinnya masih terus sibuk bicara sendiri. Lalu, sontak Jalil berkata, “Ah sudahlah, aku izinkan saja, aku pasti bisa beberapa tahun hidup sendiri.”
Akhirnya Jalil semakin mantap memberi ijin, “Ah iyalah, daripada pusing setiap hari menghadapi istri yang bawel, mukanya peteng dan bibirnya sinis, aku izinkan saja.”
“Okey Neng, aku izinkan,” akhirnya keluar juga suara yang ditunggu-tunggu istrinya.
“Alhamdulillah, terima kasih Kang,” kata istri Jalil sambil melepas napas lega.
Beberapa pekan berlalu, tibalah waktu istrinya berpamitan. Setelah mulut berbusa-busa penuh basa-basi, diakhiri dengan pesan yang terdengar tidak biasa, “Tolong jaga kaca cermin aku itu ya Kang, jangan sampai rusak, jatuh dan pecah.”
“Okey Neng, bukan hanya cermin, yang lain juga aku jaga kok.”
“Iya terima kasih, tapi cermin itu bagiku sangat istimewa Kang.”
Istri Jalil lalu bercerita bahwa cermin pemberian Emak dan warisan dari Neneknya itu memiliki keistimewaan. Setiap kali berkaca di cermin itu dia merasa sangat cantik, setiap kali itu pula dia mendoakan Emak dan Neneknya.
Istrinya juga cerita selama ini dia berhasil menjaga barang warisan itu dan tidak segores pun ada di cerminnya. Tak secuilpun bingkai kayunya teriris. Semuanya utuh, termasuk cat warna emas pada bingkainya. Jalil kemudian berjanji akan menjaga kaca cermin yang memiliki banyak arti bagi istrinya itu.
Selepas istrinya pergi, Jalil mencoba bercermin. Berulang-ulang dia memandang wajah dan tubuhnya sendiri dari atas ke bawah, muka, dan belakang, samping kanan dan kiri. Hasilnya, Jalil merasa masih tampan apalagi rambut dan kumisnya tipisnya masih hitam. Umurnya memang belum empat puluh tahun.
Tanpa disadari, kegemaran baru Jalil bercermin memberinya ilmu baru tentang wajah dan bahasa tubuh. Dia belajar dari mengenali wajahnya sendiri di cermin ketika sedang jengkel, mangkel, dan galau. Saat seperti itu, wajahnya sama sekali tidak enak dilihat. Ketika dipaksakan senyum, malah terlihat aneh dan penuh kepalsuan.
Sebaliknya ketika sedang gembira, banyak uang, ketawa, dan bahagia, wajahnya enak dilihat dan tampak bersahabat. Bermodal pengetahuan yang baru sedikit itu, dia memberanikan diri berdagang kaca cermin.
Jalil pun mulai berdagang. Dagangan perdana sepuluh lembar cermin berbingkai indah dalam berbagai ukuran. Dagangannya digelar di pinggir jalan dekat alun-alun. Jalil berharap hari itu dagangannya laku semuanya.
Api apa mau dikata, hari pertama tidak ada yang pembeli. Maklum, belum ada yang kenal. Hari kedua ada orang datang tetapi tidak membeli, cuma lihat-lihat. Hari ketiga ada yang datang, ikut berkaca dan menyisir rambutnya, tapi tidak beli.
Hati Jalil pun sebenarnya kesal, tetapi tetap mencoba untuk bertahan. Dia ingat kata-kata orang bijak, “Rizki itu ditunggu tidak datang-datang, dikejar dia lari,”
Begitulah berdagang. Kadang dapat banyak, kadang sedikit. Kadang pembeli sopan, kadang juga marah-marah. Namun, tetap dipegangnya pedoman bahwa pembeli adalah Raja, dia melayani sebaik dia mampu.
Seperti terjadi pada suatu siang hari yang terik. Datang pria setengah baya penuh gaya mau membeli sekaligus empat bilah cermin seukuran badan.
“Siap, empat bilah cermin ada Pak. Maaf, boleh tahu untuk apa?” Tanya Jalil.
“Aku mau lihat seluruh tubuhku dari segala sudut,” jawab pria setengah baya itu, “Aku ingin terlihat seperti orang-orang, celana, dan bajunya serasi dan pas di badan.”
Dilihatnya pria ini memakai baju dan celanaa bermerek dan mahal. Hanya perlu sedikit polesan pasti akan tampak lebih keren. Jalil lalu memberanikan diri memberi saran.
“Kalau boleh saya beri saran Pak?” Ujar Jalil.
“Ya, apa.?” Jawab si pria itu.
“Saran saya sih, sebaiknya Bapak bajunya jangan dimasukkan ke celana.”
“Eh, memang kenapa?” Jawab si pria itu.
“Pantat Bapak tuh tepos, jadi …,” belum selesai Jalil bicara, langsung disambut suara keras penuh amarah. Keluar umpatan sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke Jalil. Lalu pergi begitu saja, tidak jadi beli.
Tentu saja Jalil menyesal, lalu introspeksi, seharusnya aku tidak ngomong tepos, tetapi tipis. Jalil jadi banyak belajar bagaimana caranya menghadapi pembeli.
Kali lain datang seorang pemuda berpenampilan rapi. Rambutnya disisir licin. Jalil bertanya dalam hati, pemuda ini baru kemarin membeli cermin, mau beli lagi?
Belum sempat Jalil menyapa, si pemuda bertanya, “Bang, di cermin yang aku beli kemarin itu kok rambutku tampak tidak rapi? Sudah aku sisir berulang-ulang ke berbagai arah, tetapi masih juga belum rapi. Boleh aku minta kembali uangnya Bang?”
“Boleh saja Mas, asal barangnya masih utuh. Tapi coba bercermin di cermin-cermin itu Mas, beda atau sama dengan cermin yang dibeli kemarin.”
Pemuda ini lalu bercermin, menyisir rambutnya, miring kiri-miring kanan, lalu dimonyongkan bibirnya, dipelototkan matanya. Dilakukannya lagi dan lagi.
“Sama saja Bang,” sahut si pemuda.
“Kalau begitu, kayaknya Mas harus periksa ke dokter mata, siapa tahu ada silindris atau ada kelainan di mata,” kata Jalil, “Lain kali jangan buru-buru menyalahkan kaca cermin Mas.”
Pemuda itu lalu dengan enteng ngomong, “Oh iya, rupanya wajah aku memang jelek. Hampir saja cermin aku belah, maaf Bang,” lalu pemuda itu pergi begitu saja.
Pengalaman yang paling menyenangkan bagi Jalil terjadi saat beberapa orang bersamaan memborong kaca cermin dagangannya. Mereka melihat, memilih, tidak menawar, dan langsung bayar. Hanya tersisa satu cermin yang memang tidak dijual, yaitu cermin istrinya yang harus Jalil jaga erat-erat.
Belakangan ada yang memberitahu, orang-orang itu adalah para calon anggota lesgislatif yang sedang kampanye. Mereka banyak bercermin untuk menaikkan citra diri. Tidak ada kabar apakah mereka akhirnya terpilih atau tidak. Jalil juga tidak terlalu peduli.
Pengalaman lain adalah saat suatu siang Jalil dikagetkan oleh kedatangan lelaki kurus tinggi memakai baju putih dengan lengan baju digulung sampai batas siku. Wajahnya tidak bisa dikatakan tampan dan cenderung ndeso. Rambutnya tipis dan disisir rapi. Jalil mendekatinya dan bertanya.
“Silahkan Pak mau pilih yang mana?” Sambut Jalil.
“Ini bagus dan murah Pak,” lanjut Jalil.
Lalu menunjuk cermin yang lain, “Kalau yang ini cermin istimewa, bisa membuat Bapak tampak lebih tampan.”
Jalil berusaha bicara semenarik mungkin, tetapi tak satu pun omongannya ditanggapi. Bapak itu hanya jalan kesana-kemari dengan kedua tangannya mengait di punggung. Sungguh lelaki yang misterius. Jalil terus mengikuti, menempel di sampingnya, siapa tahu beli banyak cermin.
Perhatian Jalil tersedot total ke si Bapak, sampai-sampai tidak tahu ada keributan. Para pedagang kaki lima berlarian menyelamatkan diri dan dagangannya dari kejaran petugas. Dia kaget, ditinggalkannya si Bapak tanpa tanya siapa namanya.
Tergesa-gesa dan panik, Jalil berusaha memasukkan barangnya ke gerobak, lalu mendorongnya ke emperan toko. Namun terlambat, petugas berhasil merebut gerobaknya. Petugas seperti kerasukan menendang gerobaknya. Jalil lari menjauh sambil berdoa semoga tidak ada cermin dagangannya yang pecah. Hanya itu gantungan hidupnya saat ini.
Hanya sekitar setengah jam, operasi petugas itu selesai. Si Bapak misterius itu sudah hilang dari pandangannya, entah ngumpet di mana. Perlahan Jalil mendekat ke gerobaknya. Hati-hati dia lihat isinya. Dia angkat cermin tumpukan paling atas. Jalil hampir jatuh terduduk, perasaannya campur aduk. Lidahnya kelu. Bibirnya tak kuasa bicara. Dilihatnya tidak satu pun cermin utuh. Tinggal satu lagi belum dilihat, cermin terakhir.
Cermin terakhir itu cermin yang tidak dia jual, tetapi selalu dibawa berjualan. Cermin itu tengkurap dan sisi belakangnya masih utuh. Pelahan Jalil angkat dan ketika dibalik, dia berteriak penuh sukur.
“Oh Tuhan, alhamdulillah masih utuh.”
Cermin itu milik istrinya yang siang dan malam dia jaga. Dipeluknya cermin itu erat-erat.
Selesai membersihkan serpihan kaca, Jalil menerima selembar kertas yang beredar di kalangan pedagang. Kertas bergambar lelaki kurus tinggi berpakaian putih dengan tulisan di bawahnya: “Hati-hati dengan lelaki ini, bila datang dan melihat-lihat isi lapak Anda, beritahu teman-teman agar segera berkemas-kemas dan bubar”.
Jalil membatin, oh ternyata dia itu lelaki misterius pembawa petaka.
Purwokerto, 01 Oktober 2024.
***
Judul: Lelaki Misterius Pembawa Petaka
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalani di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.
Pengalaman Sarkoro menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang”, lalu “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.
Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul “Nah Mengambil Makna dari Hal-hal Kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.
***