Merenungi Gotong Royong
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI, Selasa (01/07/2025) – Artikel berjudul “Merenungi Gotong Royong” ini ditulis oleh Mastono, mantan Anggota GMNI Yogyakarta, saat ini sebagai Koordinator Indramayu Movement.
Pertanyaan yang menggelisahkan Sukarno dalam pidato pada 1 Juni 1945—yang kelak dikenal sebagai pidato lahirnya Pancasila—menyatakan, jika Pancasila diperas menjadi satu sila, maka itulah gotong royong. Istilah ini begitu lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan sebagian kita, sebagaimana Sukarno, percaya jika gotong royong adalah jiwa dari kehidupan bangsa.
Namun, bagaimana kita dapat memahami dan, lebih jauh, mempraktikkan gotong royong? Pertanyaan ini mungkin akan melahirkan banyak jawaban dan jawaban-jawaban tersebut dapat melahirkan perdebatan. Satu sisi memahami gotong royong dapat sesederhana kita menunjukkan kerja sama dalam membersihkan lingkungan komplek rumah kita. Namun di sisi lain, bagaimana gotong royong dapat diterapkan untuk menjalankan perannya sebagai dasar negara?

Jika kita kembali pada Sukarno, negeri ini berdiri dengan tujuan sosialisme Indonesia. Dari sini, kita dapat membayangkan, bahwa gotong-royong yang dimaksud Sukarno itulah sosialisme Indonesia. Sekali lagi, bagaimana mempratikkan gotong royong sebagai sosialisme Indonesia? Bagaimana menerapkan gotong royong dalam menjalankan negara dengan berbagai persoalannya yang kompleks?
Jujur saja, saya gelisah dengan pertanyaan ini dari bertahun-tahun yang lalu. Atau mungkin kegelisahan ini hanya menjadi milik saya yang terlalu ribet dalam berpikir tapi kurang literatur. Mungkin bagi anda sekalian justru memahami gotong royong sebagai sosialisme Indonesia sangat sederhana. Sesederhana membaca buku “Sosialisme Indonesia” yang dibikin oleh Roeslan Abdul Gani.
Ancaman
Mari sejenak kita lupakan pertanyaan di atas. Sukarno benar, gotong royong merupakan jiwa bangsa ini. Mau anda dari suku mana, kita punya satu hal yang sama: pernah mempraktikkan gotong royong. Ini mungkin sebabnya, sebagian besar dari kita menyebut bangsa Indonesia bukan bangsa individualis. Kita terbiasa dengan “menanggung persoalan secara bersama”.
Namun, masih konstankah gotong royong sebagai jiwa bangsa Indonesia sampai saat ini? Ada ancaman yang bisa saja lambat laun membuat gotong royong semakin tergilas dan perlahan hanya menjadi “artefak” yang dikenang. Ancaman ini bukan khas hadir untuk membunuh Indonesia, tetapi ia hadir untuk memaksa dunia: neolibaralisme.
Gotong royong bisa dimungkinkan adanya jika dan hanya jika ada rasa sepenanggungan dan kehendak untuk menanggung bersama persoalan. Tanpa keduanya, gotong royong mustahil ada. Sayangnya, dalam kehidupan kapitalisme-neoliberalisme, alam pikir manusia secara tidak sadar digiring untuk melupakan kedua hal tersebut.

Persoalan yang terjadi dalam kehidupan seseorang, saat ini marak dipahami hanya sebatas sebagai persoalan orang itu sendiri. Tidak ada rasa sepenanggungan dan kehendak untuk menanggung masalah itu bersama, untuk menemukan solusinya secara bersama pula. Cara pandang yang melihat masalah seseorang sebagai sebatas masalah orang tersebut, terutama dalam soal ekonomi.
Kemiskinan dianggap hanya sebatas masalah bagi si miskin. Pengangguran dipandang hanya sebatas masalah si pengangguran. Akibat memandang “nasib adalah kesunyian masing-masing”, manusia saat ini cenderung menjadi homo economicus-an sih. Tidak ada hal lain yang patut dikejar selain kepentingan untuk dirinya sendiri sehingga wajar, kesaling-penanggungan kian surut.
Setitik Cahaya
Di tengah ancaman yang mungkin saja membinasahkan gotong royong, datang setitik cahaya yang cukup menggembirakan—setidaknya bagi saya. Sebagai orang yang menganut pemikiran Sukarno (marhaenisme) dan pernah berkecimpung di organisasi yang berasaskan marhaenisme, saya merasa bangga masih ada orang-orang dengan asas yang sama masih bertekad kuat untuk menjaga api gotong royong terus hidup.

Mereka merupakan kawan-kawan alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Yogyakarta yang menggabungkan diri dalam satu forum kultural. Forum tersebut dibentuk untuk melakukan iuran dana dan dana tersebut dialirkan kepada kawan-kawan alumni lain yang sedang kesulitan. Sependek pengetahuan saya, sudah banyak yang merasakan manfaatnya iuran ini ketika kondisi hidup sedang sulit. Salah-satunya saya sendiri.
Terdengar sangat sederhana memang. Namun, ini merupakan bentuk konkrit dari praktik bergotong royong yang melampaui kegelisahan teoritisnya. Sepandai apa pun kita dalam memhami pemikiran Sukarno, mengutak-atik peta dan struktur pemikirannya, merumuskan pembaharuan akan pemikirannya, itu hanya akan menjadikan pemikiran Sukarno sebatas ideologi tanpa menjadi praktik kenyataan.
Bukan saya menyepelakan teori, tapi kita harus ingat teori berasal dari praktik dan pada kalanya harus menjadi praktik baru. Dalam kata lain yang paling kita butuhkan ialah praksis. Kesatuan antara teori dan praktik. Sebagai kader GMNI semestinya kita tidak asing dengan praksis, karena slogan organisasi ini merupakan ejawantah dari praksis: pejuang-pemikir – pemikir pejuang.
Kawan-kawan ini menjadi setitik cahaya yang masih mewarisi rasa sepenanggungan dan kehendak untuk menannggung sacara bersama penderitaaan. Dua hal ini bukan sekedar prasyarat bagi adanya gotong royong, melainkan esensi dari nation yang diwariskan oleh Sukarno. Dengan demikian, juga merupakan pondasi bagi marhaenisme.
Meradikalisasi Gotong-Royong
Apa yang diancam oleh ideologi neoliberalisme bukan hanya gotong royong, tapi semangat perlawanan pada kapitalisme itu sendiri. Apabila seseorang sudah terperangkap dalam cara berpikir neoliberalisme dan menjadi homo economicus an sich, ia akan melihat kemiskinan sebagai problem individual. Orang miskin karena ia malas, tidak dapat berbinis, tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, tidak dapat berinovasi, tidak kreatif. Begitu pula dengan problem pengangguran. Singkatnya, kondisi ekonomi seseorang akan dilihat bukan sebagai persoalan struktural.
Selain masih mewarisi kesepenanggungan, ada harapan lain pada kawan-kawan alumni GMNI yang telah saya singgung di atas: tetap memegang teguh persoalan ekonomi seseorang merupakan bagian konkrit dari struktur ekonomi yang bermasalah. Dengan terus memegang teguh pandangan ini, kita akan terus ingat kapitalisme dengan segala bentuknya harus ditumbangkan—seminimal-minimalnya “iman” harus dikecam. Hanya dan hanya dengan menentang kapitalisme, setitik api gotong royong itu akan menjadi api besar: marhaenisme yang radikal.
***
Judul: Merenungi Gotong Royong
Penulis: Mastono
Editor: Jumari Haryadi