Berita Jabar NewsBJNCerpen

Cerpen “Pesona Rahma”

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra, Jumat (09/05/2025) – Cerita pendek (cerpen) berjudul Pesona Rahma”  ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko,  seorang penulis dan pengarang, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.

Nasir lelaki yang tidak muda lagi. Umurnya sedikit di atas empat puluh tahun, tapi masih hidup sendiri. Kabarnya itu akibat saat umur belasan patah hati dikecewakan seorang gadis bernama Onah. Penolakan itu meninggalkan luka hati dan dendam yang dalam.

Bertahun-tahun setelah itu dia menjauh dari wanita. Dia pelihara sakit hati dan dendamnya dengan melampiaskan pada hewan-hewan di sekitarnya. Semua hewan yang ditemuinya disebutnya Onah.

Kucing tetangga yang sering be’ol sembarangan di halaman rumahnya, anjing tetangga yang suka berisik di malam hari dan bahkan tikus buduk yang sering menyelundup ke dapurnya, semua dipanggilnya Onah.

Minum kopi
Ilustrasi: Nasir sedang asyik menyeruput kopi hangat di rumahnya – (Sumber: Arie/BJN)

Ternyata panggilan Onah juga Nasir berikan pada orang-orang yang dianggapnya mengganggu. Misalnya, “Dasar Onah…,” untuk kawannya yang hutang, tapi tidak mengembalikan. Lebih lagi kalau ada yang mengganggunya saat sedang menikmati minuman kopi kesukaannya disetiap dini hari sebelum fajar menyingsing. Tanpa ragu dia sebut Onah.

Saat minum kopi Nasir memang tidak mau diganggu. Baginya setiap teguk minuman kopi terlalu berharga untuk terganggu oleh apapun. Nasir merasa minum kopi panas di sejuknya dini hari bisa menghadirkan kenikmatan sampai ubun-ubun.

Namun, pada dini hari itu berbeda. Kenikmatan yang belum sampai ubun-ubun itu terganggu. Baru satu atau dua teguk, terdengar pintu rumahnya beberapa kali diketuk-ketuk. Suara ketukannya pelan, tetapi sungguh memutus nikmat.

Nasir hanya ngedumel pelan, “Dasar Onah! Siapa sih pagi-pagi begini sudah bertamu? Benar-benar tak tahu adab. ”

Ketukan di pintu itu tidak dia gubris. Nasir bergeming, tetap duduk menghadapi secangkir minuman di meja, secangkir minuman kopi panas. Minuman panas itu selalu membawa kelezatan tanpa padanan. Kicau merdu burung burung pagi pun diaabaikan, apalagi suara berisik cicak di dinding.

Tidak lama kemudian pintu rumahnya diketuk-ketuk lagi. Setengah kesal, Nasir ngomong sendiri yang diarahkannya kepada orang yang mengetuk pintu, “Hai, jangan berisik. Kalau mau menunggu, silahkan tunggu di situ…”

Entah terdengar atau tidak, tapi ketukan itu lantas berhenti. Tidak berlanjut. Nasir, lelaki yang bertubuh gempal itu tampaknya menjadi agak tenang. Dia memang benar-benar tidak mau kehilangan momen penting, minum kopi dini hari. Minuman berwarna hitam kental itu sangat berarti untuk memompa semangat hidupnya.

Semangat hidup itu ibarat bahan bakar bagi tubuh Nasir agar kuat bekerja dengan gairah yang membara. Dia tidak ingin ada gangguan yang bisa membuat sisa harinya melempem seperti kerupuk tersiram air.

Nasir tahu diri, dia bukanlah juragan yang tiap hari cukup ongkang-ongkang, tetapi duit tetap datang. Dia paham, supaya bisa beli beras, otak dan keringat harus diperas. Oleh karena itu, di tengah-tengah nikmatnya minum kopi, lelaki ini tak peduli apapun.

Hanya dalam beberapa menit, kopi di dalam cangkirnya tersisa tidak lebih dari setengahnya. Nasir masih bisa meneguknya beberapa kali lagi. Uap beraroma sedapnya juga masih ngebul bersicepat naik mengejar atap.

Selang beberapa saat ketukan di pintu berbunyi lagi. Kali ini ketukannya berirama, bertalu-talu, persis irama pukulan kentong di Pos Siskamling. Nasir masih tetap tidak peduli.

Biarlah si pengetuk pintu yang tidak tahu waktu itu menunggu. Ngedumel-nya bersambung. Kali ini suaranya agak tinggi, “Ah siapapun kamu, jangan ganggu aku. Aku masih butuh waktu untuk menyelesaikan minuman pagi. Kopi hitam panas….”

Si Pengetuk rupanya mendengar omongan Nasir, terbukti menjadi sepi tanpa suara. Hanya satu dua kali terdengar di luar sana ayam jago berkokok membangunkan tuannya dan seliweran sepeda motor pergi ke pasar.

Namun tidak berapa lama suara ketukan di pintu depan itu terdengar lagi, “Tok-tok-tok!” Ketukannya kini pelan, layaknya diketuk tanpa daya. Pasti si pengetuk lemah dan tak punya tenaga.

Nasir masih diam, malah kaki kirinya diangkat naik ke kursi. Di balik sikap tidak peduli, lelaki ini mulai penasaran danmulai menduga-duga siapa si pengetuk pintu. Tetangganya banyak, tapi tidak mungkin mereka pagi-pagi mengetuk pintu. Dia juga tidak punya kerabat yang tinggal di dekat tempat tinggalnya. Lalu siapa? Nasir bertanya-tanya, apalagi ketukannya pelan.

Semua pintu rumah Nasir terbuat dari kayu dan untuk mengetuknya perlu tenaga. Tanpa tenaga tidak akan ada bunyi yang bisa didengar. Berbeda dengan ketika mengetuk pintu seng, hanya dengan sentuhan ujung jari saja sudah menimbulkan suara keras: “Breng-breng-breng”. Di rumah Nasir hanya pintu kamar mandi yang terbuat dari seng.

Nasir masih berpikir, siapa yang mengetuk pintu dengan suara selembut itu. Mengetuk pintu rumah itu harusnya seperti Abang Kurir Paket mengantar barang. Ketukannya keras bertenaga. Kerasnya tidak kira-kira, “Duar-duar-duarrrr!” Lalu disusul teriakan, “Pakeeeet…!”

Ketukan seperti itu dijamin akan membuat si penghuni rumah segera membuka pintu. Entah karena kaget atau karena ingin tahu isi paket.

Nasir suatu hari protes atas perilaku si Abang Kurir mengetuk-ketuk pintu dengan keras. Lebih tepatnya menggedor-gedor pintu.

“Kenapa ngetuk pintunya keras gitu? Bikin kaget saja! Untung aku gak jantungan,” ujar nasir menggerutu, tapi dengan sopan si Abang menjawab, “Maaf Pak, saya ketuk pintu keras-keras karena sambil memberi tahu tetangga sekitar sini, saya ini kurir mengantar barang, bukan maling yang datang diam-diam ambil barang.”

“Oh begitu, tapi rumah sekecil ini kan gak perlu sekeras itu,” jawab Nasir.

“Iya Pak, maaf. Saya hanya ingin beda dengan orang yang ingin cepat kaya, tapi tidak mau kerja keras,” kata si Abang Kurir itu menjelaskan.

“Maksudmu siapa? Maling atau koruptor?” Kata Nasir agak mendesak.

Sejenak si Abang Kurir terdiam, lalu ngomong, “He ..he…, dua-duanya Pak.”

“Jangan salah Bang. Mereka itu, maling maupun koruptor pasti juga kerja keras, hanya sayangnya kerja keras di jalan yang sesat,” jawab Nasir lagi.

“Ha …ha …ha …” Nasir dan si Abang Kurir tertawa ngakak bareng.

Lalu masih sambil ketawa, si Kurir melanjutkan, “Lah, saya kerja pontang-panting, panas-panasan sampai kulit menghitam, belum kaya juga. Mungkin karena menempuh jalan lurus ya Pak?”

“Mau bengkok mau lurus, yang penting kerja halal dan yang halal biasanya berkah Bang,” kata Nasir sok menasehati.

Bang Kurir tersenyum tipis lalu pamit meneruskan perjalanan. Tumpukan paket setinggi bahu diikat tali karet di jok bagian belakang sepeda motornya. Dalam sekejap, dia sudah hilang dari pandangan mata, menyelinap di sudut ujung jalan.

Di hari-hari berikutnya, setiap kali datang mengantar paket, si Abang Kurir menggedor pintu tidak kurang kerasnya, “Duar-duar-duarrrr, pakeeeet.”

Kini, sudah beberapa hari ini si Abang Kurir belum datang-datang lagi. Nasir melanjutkan minum kopi yang sudah tidak sepanas tadi, tapi masih terasa sedap. Sebelum sampai pada endapan terdasar, penggemar kopi ini masih akan terusmenyeruput.

Lalu setengah kaget Nasir menengok ke arah pintu karena terdengar lagi suara ketukan lemah-lembut nyaris tak terdengar. Suara ketukan yang pelan adalah isyarat bahwa kedatangannya tidak terlalu penting. Kalau dibukakan pintu syukur, sebaliknya kalau tidak dibuka, ya ketuk lagi dan lagi.

Nasir masih diam. Meski sudah mulai tidak nyaman, tapi dia belum berniat membukakan pintu. Dia merasa tidak semua yang masuk ke pekarangan rumah perlu ditemui. Kadang dia biarkan sampai akhirnya pergi sendiri, apalagi kalau yang datang petugas pencatat meteran air. Petugas ini setidaknya sekali dalam sebulan datang masuk halaman rumah tanpa “kulonuwun”. Setelah melihat meteran air, lalu pergi begitu saja. Datang dan pergi tanpa kata, tanpa suara.

Sebenarnya Nasir tidak suka dengan cara petugas ini masuk rumahnya. Oleh karena itu ketika suatu hari ketemu si Petugas Pengukur banyaknya pemakaian air, Nasir ngomong, “Kenapa gak pernah permisi Mas? Main selonong saja, bikin keki.”

Petugas dengan tenang menjawab, “Maaf Pak, kalau saya harus ketuk pintu dulu, lalu menunggu tuan rumah keluar baru bisa melihat angkanya, terus berapa meteran yang bisa saya cek dalam sehari?”

Nasir agak kaget mendengar jawaban si Petugas Pengukur tersebut, apalagi setelah ditambahkan seakan minta dimengerti bahwa dia harus berjalan kaki memeriksa meteran air satu persatu hampir di semua rumah di sepanjang gang tempat tinggal Nasir. Lalu disampaikan pula beban kerjanya yang katanya berat.

“Ah, itu urusanmu, sudah jadi tugas dan tanggungjawabmu,” kata Nasir terus terang.

Dari omongannya, rupanya Nasir bukanlah orang pertama yang bertanya. Si Petugas Pengukur tampak sudah siap jawaban dan tidak terlihat kaget, biasa saja. Dia malah seperti bisa membaca isi kepala Nasir.

“Jangan khawatir Pak, saya membawa surat tugas dari Kantor,” kata si Petugas Pengukur tersebut dengan mimik agak menjengkelkan.

Namun, isi kepala Nasir bukan hanya soal surat tugas, ada juga soal etika dan sopan santun. Bahkan, soal hukum.

“Ya bagus jika bawa surat tugas, tapi itu tidak berarti Anda boleh keluar masuk pekarangan orang seenaknya. Ini soal sopan santun dan menghargai yang punya rumah,” jawab Nasir denagn nada sinis.

“Ooh kalau begitu, karena kurang sopan dan kurang menghargai, saya minta maaf,” kata si Petugas Pengukur itu dengan nada kurang ikhlas.

Nasir menjadi kesel mendengar jawaban ini, “Anda terdengar sinis dan tidak ikhlas. Mungkin Anda perlu tahu juga bahwa melanggar properti orang itu pun melanggar hukum.”

Percakapan mereka berdua tidak berhenti di situ, tapi berlanjut dengan suara semakin keras dan nada tinggi. Beberapa orang mendekat ingin tahu, termasuk mereka yang biasa diperiksa meteran airnya. Mereka nimbrung dan berpihak pada Nasir.

Percakapan dua orang hampir berubah menjadi pertengkaran sebelum akhirnya Ketua RT datang. Pemimpin warga itu menengahi kerumunan dan meminta penjelasan Nasir, warga, dan si Petugas Pengukur. Pada akhirnya Pak RT yang bijak meminta si Petugas Pengukur untuk “kulonuwun” setiap kali akan memeriksa meteran air.

Kerumunan lalu bubar, sementara si Petugas kembali jalan kaki menelusuri gang, masuk ke halaman rumah warga satu persatu dengan terlebih dulu “kulonuwun”. Sebulan setelah itu, petuas pemeriksa meteran air sudah berganti. Entah apa yang terjadi dengan petugas yang lama.

Nasir kembali dari kenangannya bersama si Petugas Pengukur meteran air, lalu pelan-pelan meneguk kopi yang mulai dingin. Biasanya sebelum benar-benar dingin kopi sudah habis tandas diminum. Pagi ini agaknya akan berbeda. Baru setengah jalan cangkir diangkat mendekati mulut, terdengar lagi ketukan di pintu. Suaranya kini agak nyaring dan terasa sangat mengganggu.

Nasir kini merasa benar-benar terganggu. Sekuat apapun orang, ketika diganggu terus menerus, akhirnya rapuh dan runtuh juga. Begitu pula rupanya Nasir. Dia tidak tahan dengan ketukan pintu yang terdengar lagi, lagi, dan lagi. Darahnya seperti dipompa lebih kencang dan naik ke kepala.

Nasir berusaha untuk tetap tenang. Usaha yang tidak mudah. Lelaki ini benar-benar berusaha mengendalikan perasaan ketika terdengar lagi ketukan di pintu. Ingin rasanya dia lempar cangkir kopi di tangannya, tapi takut cangkir pecah. Ingin rasanya membanting pintu, tapi takut rusak. Terpikir juga untuk membuka pintu dan bentak keras-keras si pengetuk.

Begitu repot Nasir berusaha menahan diri. Akhirnya dia memutuskan membiarkan pintu diketuk dan akan membukanya nanti agak siang saja.

Tiba-tiba Nasir terhenyak. Jantungnya berdetak keras. Aliran darahnya terasa hangat menggelontor seluruh tubuh, hati gelisah, dan pikiran pusing.

Nasir baru ingat, jangan-jangan itu Rahma yang datang dan malu-malu mengetuk pintu. Rahma adalah wanita cantik mempesona. Resam tubuhnya sempurna. Senyumnya sangat menarik dan bisa menghentikan odong-odong yang sedang lewat. Tatapan matanya sangat teduh, mampu mendinginkan hati yang sedang panas membara.

Wanita inilah yang beberapa lama ini merasuk ke dunia khayalnya. Nasir sudah sekian lama meyakinkan dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti Rahma akan datang ke rumahnya.

Nasir baru ketemu wanita cantik itu sekali beberapa waktu lalu di sebuah hajatan nikah. Mereka hanya saling tatap tidak lebih dari tiga puluh sembilan detik. Namun, tatapan yang hanya beberapa detik itu mampu mengembalikan perasaan Nasir untuk kembali terpesona  pada seorang wanita.

Nasir yang sekian tahun tidak mau tertipu pesona wanita, kini tidak mampu menolak kodrat, dia terpesona pada kecantikan Rahma. Setelah sekejap saling tatap, wajah dan bayangan Rahma memenuhi isi kepala Nasir. Bayangan itu hanya hilang saat dia tidur dan minum kopi panas.

Aaah, seandainya benar wanita itu yang datang, kata hati Nasir. Namun, pikirannya itu dibantahnya sendiri.

Tidak mungkin, dia wanita salihah, tak mungkin dia mendatangi laki-laki, batin Nasir berbicara, kemudian tambah kata hatinya, kata pujangga, kalau wanita sudah menyukai seseorang dia akan berbuat apa saja. Bahkan lebih nekad dari preman. Apa mungkin Rahma menyukai aku?

Nasir benar-benar terombang-ambing antara berharap yang mengetuk pintu benar-benar Rahma dan tidak siap kecewa kalau ternyata itu bukan siapa-siapa.

Ah…, siapa tahu itu benar Rahma yang datang, kata hati Nasir.

Lalu sambil membawa cangkir yang tinggal satu teguk lagi, Nasir melangkah pelan mendekat ke pintu dan membukanya pelan-pelan.

“Haaah, kamu ya Onah? Niiih makan…!”

Lantas dengan amarah yang amat parah, Nasir melempar cangkir kopinya tepat hampir mengenai tengkuk kucing tetangganya itu dan dibantingnya pintu hingga daun pintunya tidak bisa ditutup lagi dengan sempurna.

Si pengetuk pintu adalah Onah, kucing tetangga yang sering makan di depan pintu dan be’ol di halaman rumah. Kucing yang pernah Nasir ajari bagaimana caranya mengetuk pintu itu, kini berbalik ngerjain dirinya.

Nasir kecewa bukan main. Tertegun beberapa saat dan menyesali nasibnya. Tak lama kemudian, dia bergegas masuk kamar tidur dan melempar tubuhnya ke kasur. Ditariknya sarung lalu tidur lagi. Hanya dalam lima menit bujang tua itu pun sudah ngorok.

Entah berapa lama tertidur, perlahan terdengar lagu “Bi Sahara” yang dinyanyikan Abeer Nehme menembus sela-sela jendela kamar dan dengan lembut menyentuh gendang telinga kanannya: “…..Laa …. bis huwi mannuw mitlun killun…”

Nasir seketika terbangun, menyambar handuk dan lari ke kamar mandi. Hari itu Senin, dia harus bekerja pagi-pagi. Rahma telah membuatnya lupa banyak hal, termasuk lupa bahwa hari ini adalah Senin. (Sarkoro Doso Budiatmoko)

***

Judul: Cerpen “Pesona Rahma”
Pengarang: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: Jumari Haryadi

Tentang Pengarang:

Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di Fakultas Kehutanan (E16) IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.

Sarkoro Doso Budiatmoko
Pengarang/Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko – (Sumber: koleksi pribadi)

Kesukaannya membaca tidak terbatas, dari buku tebal hingga sekedar bungkus kacang.Kesukaan membaca ini diimbangi dengan kegemaran menulis.Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.

Sebagian dari tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Sedangkan sebagian cerpennya telah dibukukan dengan judul: Dunia Tak Seindah Rembulan” yang juga diterbitkan oleh SIP Publishing, 2024.

Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.

Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto.Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *