Selamatkan Rakyat dan Alam dari Kiamat Ekologis di Tatar Pasundan!
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI, Rabu (23/04/2025) – Tulisan berjudul “Selamatkan Rakyat dan Alam dari Kiamat Ekologis di Tatar Pasundan!” ini merupakan sebuat siaran pers yang dikeluarkan oleh “Koalisi Gerak SaBumi” (Gerakan Rakyat Selamatkan Bumi).
Ruang hidup dan kehidupan rakyat Jawa Barat dibayangi maraknya kerusakan ekosistem, buah dari dari ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Ritme pembangunan dirancang menembus realisasi investasi terbesar di Indonesia. Nilainya fantastis, pada tahun 2024 di kuartal I mencapai 251,1 triliun, dan 63,7 triliun di kuartal II.
Gencarnya pembangunan ini memang sisi lain mencerahkan perekonomian, pendapatan, hingga serapan tenaga kerja. Namun, jika dibelah, persoalannya menjadi batang-batang kecil yang sanggup menyapu persoalan lain, berujung pada hancurnya daya dukung dan daya tampung lingkungan. Misalnya realisasi kawasan Puncak Bogor-Cianjur sebagai nuansa etis bagi para turis lokal.
Awal tahun publik dihebohkan pelanggaran yang dilakukan Hibisch Fantasy sebab mengubah fungsi kawasan puncak. Pemerintah bersih-bersih, membongkar bangunan[1]bangunan lainnya. Walaupun pembersihan tidak terlepas dari politik pembalasan antara aktor-aktor politik. Publik fokus menyalahkan BUMD yang memegang presentasi tertinggi di Hibisch. Tutup mata dilakukan, padahal banyak bangunan yang tidak sesuai peruntukkan lahan, utamanya di kawasan Puncak Bogor-Cianjur.

Hal serupa terjadi di Kawasan Bandung Utara (KBU). Eiger seolah dua kali kena getah, boikot merajalela. Pada 2013 data terakhir WALHI Jawa Barat, ada sekitar 3000 bangunan komersil di KBU, 30% di antaranya bermasalah. Pemerintah kehilangan taji melakukan audit lingkungan di Kawasan Bandung Utara dan tanpa disadari perubahan itu berdonasi pada bencana banjir di bawahnya. Jika dirangkai satu-persatu, regulasi Perda 2016 tentang KBU berupaya mempertahankan kawasan tersebut sebagai resapan air.
Bandung Utara bukan golongan pertama. Lain halnya dengan kondisi wilayah lain. Pemerintah melalui Perum Perhutani mencoba mengelola hutan dengan ruang partisipasi masyarakat, tetapi ia hilang dalam jalurnya.
Perhutani melalui skema-skema KHDPK dan lainnya mencoba mengambil alih kawasan, mengubahnya sesuai kepentingan bisnis. Hanya tersisa 21% kawasan hutan dalam luasan provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu tak heran, bencana yang katanya “hidrometeorologi” memuncak kurun waktu terakhir.

Persoalan hutan juga merajalela akibat PTPN yang malah menjadi sarang mafia tanah. PTPN memberikan tanah yang menjadi ladang penghasilan warga. Warga Tani Cemerlang (Sumedang), Warga Iwul (Bogor), adalah satu di antara kecil konflik yang ada di Jawa Barat.
Reforma Agraria masih jauh dari apa yang dicita-citakan. Kemudian turunnya status Cagar Alam dan konservasi banyak dilakukan di bawah BKSDA. Bahkan izin kegiatan di tangan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) marak diberikan. Dalam dekstruktivitas tersebut juga dilakukan di kawasan-kawasan karst yang terlindung di Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Klapanunggal habis dibongkar oleh penambang, pendapatan daerah terolah dengan eksploitasi alam. Di kawasan karst lain pun serupa. Karst berfungsi sebagai penyedia air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Demikian fungsinya erat dengan DAS hingga Mikro Das, sayang kondisinya kritis. Perubahan anomali daerah sempadan sungai menjadi perumahan, pabrik, hingga menyebabkan bencana besar di JaBoDeTaBek lalu.
Kondisi yang demikian genting ditutup ruang partisipasinya oleh Pemerintah. Dalam UU Cipta Kerja merubah ruang partisipatif bagi warga terdampak akibat sebuah pembangunan. Demokrasi bubuk, pun jika demokrasi tetap ada batas ruang partisipasi masyarakat hanyalah omong kosong. Ia hanya terjadi dalam bingkai-bingkai seremonial, tak yakin betul didengarkan saran dan masukan masyarakat, hingga pejuang lingkungan.
Anehnya Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi malah mendorong Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan TNI AD. Fatal! militer hanya menggunakan paradigma gerilya perang, asal selesai “bapak aing” senang. Ruang ini memberikan keleluasan prajurit mengurusi proyek infrastruktur provinsi dan nasional (Revisi UU TNI).
Label Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tidak bisa “diganggu” nampaknya diperkuat dengan moncong senjata, padahal proyek tersebut menjerumuskan warga ke dalam kondisi lingkungan pelik. Contohnya PLTU Indramayu, Cirebon, hingga Pelabuhan Ratu yakni kembar penyumbang emisi bagi perubahan iklim.
Prajurit juga mengurusi polemik sampah di kota-kota besar seperti Bandung, pragmatis sekali caranya yakni dibakar. Padahal dengan cara tersebut bisa menimbulkan penyakit seperti gangguan pernapasan, infeksi paru-paru, dan akibat zat kimia lainnya. Tak heran pemerintah sulit mengurusi overload-nya TPA Sarimukti setelah tahun lalu terbakar. Dilupakan, tetapi tidak hilang dalam benak pemerintah. Juga perlu mengurusi kawasan pesisir Jawa Barat yang kritis. Wilayah-wilayah Eretan Kulon dan sebagainya tertutup oleh banjir rob.
Gencarnya situs tambang ilegal yang ditutup bukan menandakan pemerintah provinsi tegas saat ini. Telah tampak pembiaran bertahun-tahun, pemukulnya hanya video viral. Jika saja pemerintah mau tegas maka seharusnya mengevaluasi seluruh KSO tambang di Jawa Barat. Tata ruang berantakan, ini membuktikan kelalaian dilakukan oleh jajaran birokrasi.

Pada waktu yang bersamaan, wilayah-wilayah yang masuk dalam kategori rawan bencana pun, pemerintah tetap mengalokasikan untuk kegiatan ekstraktif. Kondisi ini menunjukkan lemahnya tata kelola dalam penyusunan tata ruang dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai dasar dalam menentukan arah pengelolaan ruang.
Bersih-bersih bukan sekedar intrik politik pergantian pemain, konten viral bukan sekadar menarik atensi publik, bongkar-membongkar dan drama menangis bukan menandakan Tatar Pasundan memiliki pemimpin sesungguhnya.
Sangat percuma jika tak becus sepenuhnya dilakukan. Publik perlu melihat, pemimpin yang berani tidak menjamin lingkungan bersih. Bersih dari permainan kepentingan dan kekalahan dalam mencoba mengakomodir suara masyarakat. Maka Tatar Pasundan juga perlu diatur dan diawasi oleh masyarakat Jawa Barat, sebagai bagian dari demokrasi sesungguhnya.
***
Judul: Selamatkan Rakyat dan Alam dari Kiamat Ekologis di Tatar Pasundan!
Sumber: Siaran Pers Koalisi Gerak SaBumi (Gerakan Rakyat Selamatkan Bumi)
Editor: Jumari Haryadi