Refleksi 80 Tahun Indonesia: Menata Ulang Cinta pada Negeri
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom Artikel/Opini, Senin (18/08/2025) – Artikel berjudul “Refleksi 80 Tahun Indonesia: Menata Ulang Cinta pada Negeri” ini merupakan buah karya Nurul Hikmah, seorang penulis asal Tasikmalaya, Jawa Barat yang kini berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Siber Muhammadiyah, Yogyakarta.
Di sekolah, sejak dari tingkat dasar kita diajarkan untuk bela negara. Bahkan, beberapa universitas memiliki program wajib bela negara bagi mahasiswanya. Setiap hari senin upacara dilaksanakan dan kita semua mengangkat tangan hormat pada bendera yang berkibar di bawah langit biru.
Setiap 17 Agustus setiap tahun orang-orang berbondong-bondong arak-arakan berkumpul di lapangan, baik rakyat biasa maupun aparatur negara untuk merayakan hari kemerdekaan. Lagu kebangsaan Indonesia Raya, lagu kemerdekaan 17 Agustus, dan lagu nasional lainnya menggema dari Sabang sampai Merauke.

Cinta yang Dihadirkan, Bukan Dituntut
Sudah 80 tahun berlalu sejak para pejuang republik ini merebut kemerdekaan dari penjajah. Namun, setelah waktu yang panjang tersebut, Indonesia masih saja terseok-seok meniti jalan antara cita dan realita.
Negara ini berjanji untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Negara idealnya hadir sebagai rumah besar yang memberikan perlindungan, keadilan dan kesejahteraan. Namun, seringnya justru sebaliknya, hukum bekerja sebagai wajah ganda dan menjadi cermin pengkhianatan fungsi negara.
Data Transparency International menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 37/100 pada 2024. Meskipun naik tiga poin dari 2023, tetapi data ini tetap menandakan betapa parahnya korupsi merusak sendi kehidupan publik. Angka itu bukan sekadar statistik—ia tercermin dalam pelayanan publik yang berbelit, pungutan liar, dan anggaran yang bocor sebelum menyentuh rakyat kecil.
Wajah negara ini tercermin dari sikap dan ucapan aparatur negara. Apakah selaras seirama dengan amanah yang diberikan pada mereka untuk menjalankan konstitusi sesuai dengan cita-cita Indonesia. Namun, apakah aparatur negara sudah mereflesikan diri sebagai perwakilan negara sementara negara menuntut rakyat untuk tetap mencintai sementara negara tidak hadir untuk rakyat?
Setiap waktu kita terus disuguhi perilaku aparatur negara yang semakin menyesakkan dada, kebijakan yang menyulitkan rakyat kecil, kenaikan pajak yang tidak masuk akal, pelayanan yang sulit, dan korupsi yang semakin vulgar.

Tanpa dimintapun rakyat akan mencurahkan rasa cintanya pada negeri ini dengan apa yang mereka mampu. Jika perayaan 17 Agustus setiap tahun masih menjadi bukti cinta meski sifatnya seremoni maka kita saksikan cinta itu menggema di setiap penjuru negeri.
Realitanya, rakyat tetap taat membayar pajak meski kasus korupsi pejabat terus memenuhi berita layar kaca. Rakyat tetap membeli BBM dengan subsidi yang dipangkas, tetap menaati aturan hukum yang dibuat pemerintah meskipun terasa sesak dan rasa cinta yang tidak luntur meski lelah dengan perilaku para aparatur negara.
Cinta memang tidak cukup hanya dengan simbolik dan seremoni cinta adalah hukum timbal balik berdasarkan tanggung jawab. Cinta pada negeri harus dihadirkan melalui keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan.
Jika negara hanya menuntut cinta rakyat tanpa memberikan timbal balik maka layaknya hubungan manusia ini adalah relasi yang toxic dan akan selalu ada yang tersakiti. Sementara dibutuhkan cinta yang sehat untuk mewujudkan cita Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang 1945.
Cinta pada Negara butuh Integritas
Mencintai negara tidak sama dengan mencintai penguasa. Mencintai negara bukan berarti menutup mata terhadap keadilan. Sayangnya tak jarang respon yang diberikan aparatur negara terhadap suara rakyat bernada sinisme dan jauh dari substansi.
Tagline #kaburajadulu sebagai ungkapan rasa letih atas cinta yang terkhianati. Namun, justru respon yang diberikan terasa menutup ruang dialog untuk instropeksi dan tidak menangkap urgensitas. Bahkan, pengibarkan bendera One Piece sebagai simbol kekecewaan, protes terhadap cinta rakyat yang terkhianati. Sementara orang yang tidak punya waktu untuk mendengarkan rakyatnya maka sesungguhnya dia tidak punya waktu untuk menjadi pemimpin.
Cinta pada negara tidak berhenti pada jargon patriotisme yang kosong sementara realita menunjukan jurang yang semakin dalam antara idealisme konstitusi dan realitas birokrasi. Integritas adalah keselarasan antara kata dan tindakan. Bila rakyat diminta taat hukum maka negara harus memberikan teladan untuk hadir secara nyata dan aparatur negara bertindak sebagai pengayom, bukan penguasa yang semena-mena.
Tanpa integritas, cinta pada negara hanya akan menjadi beban sepihak. Seruan-seruan nasionalisme hanya menjadi ruang hampa dan melahirkan sinisme. Bahkan, bisa saja rakyat bertanya negara ini sebenarnya hadir untuk siapa dan itu bukan hanya sekedar pertanyaan, tetapi keraguan dan ketidakpercayaan.
Franz Magnis Suseno menegaskan, “Hukum justru menjamin kebebasan setiap orang dan kelompok untuk mengurus diri sendiri lepas dari paksaan pihak-pihak yang tidak berhak.Hukum bukan sekadar membatasi, tetapi memastikan keadilan, kebebasan, dan perlakuan yang setara bagi semua.”
Negara yang Layak Dicintai
Cinta negara bukan sekedar simbolis, tetapi tindakan nyata yang dibangun berdasarkan hukum, etika, dan moral. Cinta adalah komitmen dan komitmen akan tumbuh jika hadir rasa saling percaya.
Jika aparatur negara tidak mampu membangun rasa percaya rakyat yang dibuktikan dengan kehadiran negara yang bermartabat maka cinta itu akan rusak dengan sendirinya. Bukan tidak mencintai, tetapi cinta rakyat pada negara diuji karena negara tidak selalu hadir.
Sejak awal berdiri para founding father negeri ini menitipkan cita-cita luhur yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia dan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Namun, selama delapan dekade berlalu rakyat masih tertatih belajar mencintai negeri dengan tulus.
Integritas dalam membangun hubungan cinta negara bukan sekedar tawar menawar. Karena cinta bukan hanya retorika maka ia harus dirawat dan dihadirkan. Tugas besar Indonesia ke depan bukan lagi menuntut rakyat mencintai, melainkan menjadikan negeri ini benar-benar layak dicintai dan aparatur negara bertanggung jawab sebagai pengayom. Dengan begitu Indonesia bisa menjadi rumah yang layak dicintai. (Nurul Hikmah).
***
Judul: Refleksi 80 Tahun Indonesia: Menata Ulang Cinta pada Negeri
Penulis: Nurul Hikmah
Editor: JHK