Pariwisata, Batik, dan Identitas Budaya Lokal
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI, Rabu (02/10/2024) – Artikel berjudul “Pariwisata, Batik, dan Identitas Budaya Lokal” ini merupakan tulisan Titing Kartika, S.Pd., M.M., M.B.A.Tourism, seorang dosen STIEPAR YAPARI Bandung yang saat ini sedang menyelesaikan studi program Doktor Manajemen Konsentrasi Pemasaran Kajian Pariwisata di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penulis aktif menulis di media massa, baik lokal maupun nasional bertemakan pendidikan, pariwisata, sosial, dan budaya.
Keindahan dan keberagaman batik Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Batik kini terus berkembang baik motif maupun desainnya. Sebagai simbol budaya lokal Indonesia yang kuat, kini batik sudah mendapatkan rekognisi secara internasional dengan masuknya ke dalam daftar Perwakilan Warisan Budaya Tak Benda oleh United Nations of Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tahun 2009.
Hal tersebut tentu menjadi catatan sejarah penting bagi sejarah batik di Indonesia. Hari batik nasional diputuskan ketika batik diakui dalam sidang ke-4 komite antar-pemerintah tentang Warisan Budaya Tak-Benda yang diselenggarakan UNESCO di Abu Dhabi. Dalam agenda tersebut, UNESCO mengakui tak hanya batik namun wayang, keris, noken, dan tari saman sebagai warisan budaya tak benda.
Fenomena yang paling menarik saat ini, pemakai batik tak hanya dari kalangan orang tua saja. Namun, telah dipakai oleh berbagai kalangan termasuk anak muda. Begitu juga dengan nilai fungsional batik, jika dulu batik hanya dipakai untuk menghadiri undangan kini batik dapat dipakai dalam berbagai kegiatan.
Tentu saja, hal ini dapat menepis keraguan di tengah derasnya pengaruh budaya asing di era modern, batik tetap hadir merepresentasikan nilai kelokalan Indonesia di berbagai forum, baik nasional maupun internasional. Bahkan, saat ini pemakaian batik sudah menjadi kebijakan di instansi pemerintah, perguruan tinggi, maupun sekolah sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya lokal.
Bangga Berbatik di Forum Internasional
Ada satu kebanggaan ketika penulis menghadiri sebuah konferensi Internasional Pariwisata di Sarawak bersama tim pada Agustus 2024 lalu. Kami hadir dan mempresentasikan hasil penelitian dengan memakai pakaian batik. Tidak menyangka beberapa delegasi negara lain bertanya tentang keunikan motif batik yang kami kenakan. Kami sampaikan juga bahwa saat ini motif batik terus berkembang termasuk dalam proses pembuatannya.
Merujuk berbagai literatur mengenai proses pembuatan batik, selain ditulis dengan canting, batik saat ini juga menggunakan proses teknik printing dan cap. Hal ini seiring dengan permintaan pasar yang tinggi sehingga dapat menghasilkan batik dalam jumlah yang masal. Namun demikian, proses batik tulis dengan memakan waktu yang cukup lama tersebut memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses printing dan cap.
Di Indonesia, pada umumnya setiap daerah memiliki ciri khas motif batik. Namun, ada beberapa jenis batik yang cukup terkenal, di antaranya Batik Mega Mendung Cirebon, Batik Tujuh Rupa Pekalongan, Batik Parangkusumo, Batik Sekar Jagad Solo Yogyakarta, Batik Tambal Yogyakarta, Batik Lasem Rembang, Batik Singa Barong Cirebon, Batik Jlamprang, Batik Terang Bulan, Batik Cap Kombinasi Tulis, Batik Tiga Negeri Pekalongan, Batik Sogan Pekalongan, dan lain sebagainya.
Tantangan
Di balik gaung semangat berbatik di berbagai kalangan, terdapat tantangan dalam upaya pengembangan batik di Indonesia. Berdasarkan data dari APPBI (Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia), pada 2020 lalu jumlah pengerajin batik mencapai 151.565 orang. Namun, saat ini hanya tinggal 37.914 pengrajin saja yang masih berproduksi.
Dari sisi pelaku bisnis batik, diketahui bahwa pengrajin terutama batik tulis masih didominasi oleh orang tua. Sebagian anak muda menganggap proses pembuatan batik yang rumit sehingga berdampak pada minat sebagai pengrajin. Edukasi batik pun kian tertantang karena tidak hanya dari sisi pemakai namun juga dari sisi pengrajin atau produksi
Pariwisata dan Batik
Dalam perspektif pariwisata, kehadiran batik di berbagai daerah di Indonesia menjadi aspek kemenarikan tersendiri. Bukan hanya sekedar motif, warna atau desain. Namun, cerita di balik batik menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Di beberapa daerah penghasil batik, konsep wisata edukasi terkait batik diminati banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Pengunjung disediakan untuk mengikuti workshop batik yang dapat menciptakan pengalaman. Dari sisi lain, batik juga dapat memperkuat pemberdayaan ekonomi lokal sehingga akan berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat.
Salah satu hal yang tercantum dalam Outlook Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia 2024/2025 adalah mengenai Local is the New Luxury. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi perubahan paradigma terkait dengan nilai kemewahan dalam beriwisata yakni dengan lebih menghargai nilai lokal, keaslian dan keberlanjutan.
Batik dalam hal ini telah mampu memvisualkan nilai lokal Indonesia yang kuat dan diminati oleh semua kalangan. Hal lain yang menarik dari batik adalah karena mengandung sejarah, filosofi, dan nilai-nilai yang berakar dalam masyarakat sehingga tidak hanya dipandang sebagai selembar kain semata.
Sementara itu, melalui pariwisata, batik juga dapat menjadi media promosi budaya. Misalnya batik dapat menjadi suvenir khas Indonesia yang tidak hanya dalam bentuk pakaian. Namun, dalam berbagai ragam bentuk seperti dompet, gantungan kunci, aksesoris rambut, sepatu, dan tas. Bahkan, pendukung fashion lainnya.
Begitu juga dalam festival budaya, batik dapat menjadi elemen penting dalam memperkuat identitas dari lokal menuju global. Dengan diperingatinya hari batik yang jatuh hari ini, 2 Oktober 2024, diharapkan akan menambah kesadaran dan kebanggaan untuk memakai batik Indonesia. Mari bangga berbatik Indonesia. (Titing Kartika).
***
Data Penulis
Penulis adalah Dosen STIEPAR YAPARI. Saat ini sedang menyelesaikan studi program Doktor Manajemen Konsentrasi Pemasaran kajian pariwisata di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penulis aktif menulis di media massa, baik lokal maupun nasional bertemakan pendidikan, pariwisata, sosial, dan budaya.
Penulis adalah alumni dari Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ia pernah mendapatkan Program Beasiswa Unggulan (PBU) Kemendikbud Program Dual Master Degree di Universitas Sahid Jakarta studi Magister Manajemen Pariwisata dan di Universiti Utara Malaysia (UUM) program Master of Business Administration (MBA) in Tourism and Hospitality Management (2007-2009).
Selain mengajar dan meneliti, penulis aktif di berbagai kegiatan kepenulisan dan asosiasi baik nasional maupun internasional. Berbagai penghargaan nasional dan internasional telah diraih diantaranya menjadi dosen terproduktif menulis di media massa (2016), meraih the third outstanding paper Asia Tourism Forum (2016), Best Paper Presenter pada 4th International Seminar on Tourism (2020) dan meraih “Writer of the Month” dalam rangka mempromosikan wisata lokal di Indonesia dengan judul “ Simfoni Alam di Pasar Wisata Legokawi Cimahi”
***
Judul: Pariwisata, Batik, dan Identitas Budaya Lokal
Penulis: Titing Kartika
Editor: JHK