Merayakan Tahun Baru Masehi Menurut Ulama
BERITA JABAR NEWS (BJN), Senin (30/12/2024) – Artikel berjudul “Merayakan Tahun Baru Masehi Menurut Ulama” ini merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang merupakan seorang tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang psikotropika.
Pengertian tahun baru selalu disambut dengan suka cita dan dengan penuh harapan untuk tahun yang lebih baik. Islam selalu mengajarkan tetap bersikap optimis menghadapi segala hal, termasuk menghadapi pergantian tahun.
Ketika hidup di tengah masyarakat dengan agama, budaya serta tradisi yang beragam maka banyak ulama yang berfatwa bahwa hukum merayakan tahun baru Masehi dan mengucapkan selamat adalah mubah, meskipun banyak ulama yang memilki perbedaan pandangan dalam ihwal hukum merayakan tahun baru Masehi.
Beberapa literatur menjelaskan jika ulama tidak melarang, selama tidak di isi dengan kemaskiatan seperti tindakan huru-hara, judi, mabuk-mabukan, balap liar, pacaran, dan banyak hal lainnya yang menjurus kepada kemaksiatan.
Dalam kehidupan sosial, merupakan hal penting untuk menjaga kesatuan, dan persatuan, serta kebersamaan dan alasan tersebut menjadi acuan hukum, bukan dari sudut pandang akidah, seperti yang dijelaskan Guru Besar Al-Azhar Asy-Syarif, serta Mufti Agung Mesir Syekh Athiyyah Shaqr (wafat 2006 M) dalam kompilasi fatwa ulama Al-Azhar dikutip dari NU online.
وَقَيْصَرُ رُوْسِيَا “الإِسْكَنْدَرُ الثَّالِثُ” كَلَّفَ الصَّائِغَ “كَارِلْ فَابْرَج” بِصَنَاعَةِ بَيْضَةٍ لِزَوْجَتِهِ 1884 م، اسْتَمَرَّ فِي صُنْعِهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ كَانَتْ مَحِلَّاةً بِالْعَقِيْقِ وَالْيَاقُوْتِ، وَبَيَاضُهَا مِنَ الْفِضَّةِ وَصِفَارُهَا مِنَ الذَّهَبِ، وَفِى كُلِّ عَامٍ يَهْدِيْهَا مِثْلَهَا حَتَّى أَبْطَلَتْهَا الثَّوْرَةُ الشُّيُوْعِيَّةُ 1917 م. وَبَعْدُ، فَهَذَا هُوَ عِيْدُ شَمِّ النَّسِيْمِ الَّذِي كَانَ قَوْمِيًّا ثُمَّ صَارَ دِيْنِيًّا فَمَا حُكْمُ احْتِفَالِ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ التَّمَتُّعَ بِمُبَاهِجِ الْحَيَاةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَتَنَزُّهٍ أَمْرٌ مُبَاحٌ مَا دَامَ فِى الْإِطَارِ الْمَشْرُوْعِ الَّذِي لَا تُرْتَكَبُ فِيْهِ مَعْصِيَّةٌ وَلَا تُنْتَهَكُ حُرْمَةٌ وَلَا يَنْبَعِثُ مِنْ عَقِيْدَةٍ فَاسِدَةٍ
Artinya, “Kaisar Rusia, Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas ‘Karl Fabraj’ guna membuat topi baja untuk istrinya pada 1884 M. Proses pembuatannya berlangsung selama enam bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas. Di setiap tahunnya ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada 1917 M. Mulanya acara ini merupakan suatu perayaan ‘Sham Ennesim’ (Festival nasional Mesir yang menandai dimulainya musim semi) yang merupakan tradisi lokal Mesir, lantas berubah menjadi tradisi keagamaan. Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim?”.
Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum, dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan dan bukan berangkat dari akidah yang rusak.” (Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).
Hal yang sama disampaikan ulama pakar hadis terkemuka asal Haramain, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki (wafat 2004 M) dalam kitabnya menegaskan:
“Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan isra mi’raj, malam nishfu sya’ban, tahun baru Hijriyah, nuzulul qur’an dan peringatan Perang Badar. Menurut pandanganku, peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian daripada tradisi yang tidak terdapat korelasinya dengan agama sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan. Kendati demikian, juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan.” (Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahihah, [Surabaya: As-Shafwah Al-Malikiyyah], halaman 337-338). Lalu bagaimana dengan pendapat ulama dalam negeri?”
K.H. Yahya Zainul Ma’arif, ulama yang akrab di panggil dengan Buya Yahya, beliau menyampaikan pandangannya terhadap hukum merayakan Tahun Baru Masehi.
Pengasuh pondok Pesantren Al-Bahjah mengatakan masalah bukan di tahun masehinya, melainkan kebiasaan atau budaya pada pergantian malam tahun baru.
Buya Yahya tidak mempermasalahkan penggunaan hari dan tanggal di kalender Masehi. Namun, yang wajib dihindari ialah budaya orang kafir, sebab di Indonesia kaum musliminnya mayoritas. Pada saat orang-orang Nasrani berada di Gereja untuk melaksanakan ibadah Tahun Baru, lalu apa yang dilakukan anak-anak kaum muslimin? Hura-hura, mengikuti budaya kafir?
Buya Yahya pun menyinggung mengenai umat muslim yang merayakan tahun baru Masehi, lalu melupakan tahun baru Hijriyah. (Neneng Salbiah).
***
Judul: “Merayakan Tahun Baru Masehi Menurut Ulama”
Penulis: Neneng Salbiah
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platfoam. Ia biasa menggunakan nama “Violet Senja” sebagai nama pena dalam setiap karya fiksinya.
Ibu dari satu orang putri dan satu orang putra ini juga merupakan seorang tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang sikotropika. Ia berkeinginan untuk terus menulis sampai usia senja, seperti motto hidupnya “Hidup hanya sekali dan jangan biarkan menua tanpa arti”.
***