ArtikelBerita Jabar NewsSastra

Memoar Perjalananku ke Blora

BERITA JABAR NEWS (BJN)Kolom OPINI – Artikel Memoar Perjalananku ke Blora karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku. Kini ia  tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Saya masih ingat dengan jelas saat duduk di jok depan mobil elf yang perlahan meninggalkan tempat tinggal saya. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ada rasa penasaran, cemas, dan harapan yang mengiringi setiap putaran roda.

Si Akang Tukang Pulsa, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, ikut mengantar saya hingga ke mobil. Bahkan, ia mewanti-wanti kernet agar memastikan saya turun di terminal Blora. Setelah mengucapkan terima kasih dan perpisahan yang tulus, mobil elf pun mulai meluncur perlahan.

Tugu Adipura Blora
Ilustrasi: Tugu Adipura Kabupaten Blora – (Sumber: id.wikipedia.com)

Perjalanan ini adalah yang pertama bagi saya ke Blora. Dalam benak saya, masih terngiang-ngiang kata-kata si Akang Tukang Pulsa yang mengatakan bahwa perjalanan ke Blora sangat jauh. Ternyata, ia benar.

Seiring dengan jarak yang kami tempuh, pemandangan mulai berubah. Sawah-sawah yang dulu hijau sekarang tampak kering kerontang. Musim kemarau memang sedang mencapai puncaknya. Di kejauhan, pohon-pohon jati yang menjulang tinggi menjadi penanda bahwa kami mulai memasuki kawasan hutan yang sunyi.

Rasanya perjalanan ini seperti membawa saya ke masa lalu, ke dalam kisah-kisah yang pernah saya baca. Saya teringat pada buku Pramoedya Ananta Toer, “Bukan Pasar Malam”.

Kisah itu ditulis beberapa puluh tahun silam. Namun, pemandangan yang saya lihat dari balik jendela elf ini masih relevan. Bukit-bukit Blora yang gundul, jalan yang tidak beraspal dan berdebu, semua seakan menghidupkan kembali cerita dalam buku itu. Waktu seolah berhenti di Blora, membiarkan alam dan manusianya tetap berada dalam kisah-kisah lama.

Setiap goncangan di jalan yang tidak rata, setiap debu yang beterbangan, mengingatkan saya pada betapa beratnya perjuangan hidup di sini. Pohon-pohon jati yang kuat dan kokoh seolah menjadi simbol dari ketangguhan warga Blora. Mereka hidup di tengah kondisi yang tidak mudah. Namun, tetap bertahan dan berusaha.

Ketika kami mulai mendekati Blora, perasaan nostalgia semakin kuat. Saya membayangkan Pramoedya muda yang berjalan di jalan-jalan ini, merasakan debu yang sama, melihat pemandangan yang sama. Meski banyak yang berubah seiring berjalannya waktu, esensi dari Blora yang ia gambarkan tetap terasa. Ada keheningan yang mendalam, sebuah ketenangan yang membawa kita merenung tentang hidup dan perjuangan.

Didin Tulus
Didin Kamayana Tulus, Penggiat Buku tinggal di Kota Cimahi – (Sumber: Didin KT/BJN)

Akhirnya, kami tiba di terminal Blora. Saya turun dari mobil elf dengan perasaan campur aduk. Ada rasa lega karena telah sampai, tetapi juga ada rasa kagum dan hormat terhadap tempat ini. Saya berterima kasih dalam hati kepada si Akang Tukang Pulsa yang telah membantu saya memulai perjalanan ini. Tanpa bantuannya, mungkin perjalanan ini tidak akan semulus ini.

Blora, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, telah meninggalkan kesan yang mendalam dalam diri saya. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan jiwa. Saya belajar tentang ketangguhan, tentang bagaimana manusia dan alam bisa bertahan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun.

Kisah Pramoedya di “Bukan Pasar Malam” kini bukan lagi sekadar cerita dalam buku. Ia telah menjadi nyata, terjalin dalam setiap debu yang beterbangan dalam setiap jalan yang tidak beraspal, dalam setiap pohon jati yang menjulang tinggi.

Blora, dengan segala kesederhanaannya, telah mengajarkan saya banyak hal. Oleh karena itu, saya akan selalu mengingat perjalanan ini sebagai salah satu pengalaman yang paling berharga dalam hidup saya. (Didin K.T.).

***

Judul: Memoar Perjalananku ke Blora
Penulis: Didin Kamayana Tulus, Penggiat Buku tinggal di Kota Cimahi.
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *