ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Melepaskan Kemelekatan

BERITA JABAR NEWS (BJN) ─  Rubrik OPINI, Kamis (28/11/2024) ─ Artikel bertajuk “Melepasakan Kemelekatan” ini adalah karya tulis Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

“Setiap kita adalah Ibrahim dan Ismail-nya adalah apa yang kita akui sebagai milik kita berupa harta, jabatan, gelar, keluarga serta hal lainnya”.

Quote ini memiliki makna yang mendalam dan bersifat reflektif, merenungkan apa yang kita anggap sebagai hal paling penting dalam hidup kita, mempertanyakan apakah kemelekatan pada hal-hal tersebut menghalangi kita untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang lebih luhur, seperti ketaatan kepada Allah SWT atau keberanian untuk melepaskan demi sesuatu yang lebih baik.

Reporter BJN, Febri Satria Yazid
Febri Satria Yazid, penulis – (Sumber: BJN)

Memastikan bahwa nilai-nilai luhur atau pengetahuan yang kita miliki tidak hanya menjadi teori, tetapi juga menjadi panduan hidup yang nyata. Hal ini penting dalam membangun integritas, karakter, dan ketulusan seseorang dalam menjalani kehidupan.

Pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu tentang keikhlasan, ketaatan, dan pengorbanan. Bukan hanya menerima informasi atau cerita, tetapi mengolahnya secara mendalam dalam pikiran dan hati. Menjadikan cerita atau pengalaman tersebut cermin untuk melihat diri sendiri lebih jelas. Melakukan evaluasi diri agar dapat mengambil hikmah dan mengubah hidup menjadi lebih bermakna, mengajak kita untuk merenungkan hubungan antara diri kita dengan hal-hal yang kita anggap sebagai “milik” atau bagian penting dari hidup kita.

Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail dalam tradisi Islam adalah salah satu cerita yang sarat akan pesan pengorbanan, ketundukan, dan keimanan. Ketika Ibrahim diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengorbankan putranya Ismail, ujian ini bukan hanya tentang kepatuhan, tetapi juga tentang kemampuan Ibrahim untuk melepaskan kemelekatan terhadap sesuatu yang paling berharga baginya.

Pada akhirnya, pengorbanan Ismail tidak benar-benar terjadi, melainkan digantikan oleh seekor domba sebagai simbol bahwa ketaatan Ibrahim telah teruji dan berhasil dilewati dengan menaklukkan keinginan dan melepaskan diri dari kemelekatan pada putranya Ismail yang kehadirannya telah ditunggu bertahun-tahun lamanya.

Kita adalah “Ibrahim” karena hidup kita sering kali diwarnai oleh berbagai hal yang kita anggap sebagai milik kita, baik itu benda materi seperti harta dan kekayaan, atau hal-hal non-materi seperti status, jabatan, gelar, anak, istri/suami atau hubungan kita dengan sesama. Hal-hal ini, seperti Ismail bagi Ibrahim, sering menjadi pusat perhatian, dan sumber kebanggaan. Bahkan, sumber identitas .

Namun, dalam perspektif spiritual, semua yang kita miliki sejatinya adalah titipan yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali oleh sang Pencipta. Ujian terbesar adalah sejauh mana kita siap “mengorbankan” hal-hal tersebut demi kepatuhan kepada Allah SWT  atau demi nilai-nilai yang lebih tinggi, seperti keadilan, cinta, dan kebenaran. Kita diajarkan untuk tidak terlalu terikat pada apa yang kita anggap milik kita. Melepaskan bukan berarti tidak menghargai, melainkan menyadari bahwa semuanya bersifat sementara.

Kisah ini mengajarkan bahwa kepatuhan pada kehendak Tuhan lebih penting daripada keterikatan pada hal-hal duniawi. Seperti Ibrahim, kita juga dihadapkan pada pilihan untuk “mengorbankan” hal-hal yang kita cintai demi sesuatu yang lebih besar, seperti membantu sesama, menjalankan amanah, atau menjaga keimanan.

jamuan makan
Ilustrasi: Seorang pengusaha besar sedang menjamu koleganya di sebuah restoran mewah – (Sumber: Arie/BJN)

Apakah kita mampu melepaskan apa yang kita anggap milik kita jika Allah SWT menghendaki? Bagaimana kita memastikan bahwa harta, jabatan, atau gelar tidak menjadi penghalang bagi kita untuk mendekat kepada Allah  dan menjalankan nilai-nilai kebenaran? Dengan menyadari hal ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijak, menghargai setiap titipan. Namun, tetap siap untuk melepaskannya dengan ikhlas jika memang itu yang terbaik.

“Jika kau menginginkan kesenangan, sepenuhnya lepaskan semua kemelekatan. Dengan melepaskan semua kemelekatan, kesenangan paling sempurna ditemukan. Selama kau mengikuti kemelekatan, kepuasan tidak akan pernah ditemukan. Siapa pun menjauhi kemelekatan, dengan kebijaksanaan mencapai kepuasan”. (Dhamma Buddha).

Semua orang pasti pernah merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya, baik itu materi maupun non materi. Dengan menghindari kemelekatan akan membuka pintu komunikasi yang tulus dengan orang lain.

Memang tidak mudah untuk melepaskan kemelekatan secara spontan. Kemelekatan membuat seseorang selalu mengejar hal-hal yang diinginkannya tanpa akhir. Ketika sudah mendapatkan sesuatu, sering kali timbul rasa ingin memiliki lebih sehingga kebahagiaan yang dirasakan menjadi sementara dan cepat memudar.

Hal tersebut berlaku baik untuk hal-hal materi maupun untuk hal-hal non-materi seperti perhatian, penghargaan, atau hubungan emosional. Keinginan untuk selalu memiliki atau mempertahankan sesuatu juga menimbulkan rasa takut kehilangannya. Ketakutan ini menciptakan tekanan yang berlebihan dan sering kali berujung pada konflik dengan diri sendiri maupun orang lain.

Kemelekatan merupakan suatu sikap di mana seseorang memberikan penilaian yang berlebihan terhadap suatu objek, orang, atau situasi sehingga menjadi terikat padanya secara emosional atau psikologis. Dalam pandangan ini, kemelekatan dianggap sebagai salah satu sumber ketidakpuasan dan penderitaan manusia, sebagaimana yang diungkapkan dalam ajaran Dhamma Buddha, kebahagiaan sejati dapat ditemukan ketika seseorang mampu melepaskan kemelekatan tersebut. Ajaran ini menegaskan bahwa selama manusia tetap terikat pada keinginan dan kemelekatan, kepuasan sejati tidak akan pernah dicapai.

Dengan melepaskan kemelekatan, seseorang dapat membuka pintu komunikasi yang lebih tulus dengan orang lain. Ketulusan ini lahir karena cinta dan perhatian tidak lagi didasarkan pada kepemilikan atau harapan-harapan tertentu. Cinta yang bebas dari kemelekatan adalah cinta yang murni dan tanpa syarat, yang membawa kedamaian bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Melepaskan kemelekatan juga memungkinkan seseorang untuk menerima kenyataan apa adanya. Sikap ini melatih kebijaksanaan dan membuat individu mampu melihat keindahan dalam hal-hal sederhana, tanpa harus tergantung pada sesuatu yang dianggap lebih besar atau lebih baik.

Melepaskan kemelekatan membutuhkan latihan mental dan emosional yang konsisten. Sadari hal-hal yang membuat kita terikat secara berlebihan, baik itu barang, orang, atau harapan. Melalui meditasi, seseorang dapat melatih diri untuk melihat bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari luar, melainkan dari kedamaian batin, belajar untuk menikmati sesuatu tanpa harus merasa memilikinya.

Kemelekatan adalah akar dari banyak ketidakpuasan dalam hidup. Melepaskan kemelekatan tidak berarti tidak peduli atau menjadi acuh tak acuh, melainkan menerima kehidupan dengan penuh cinta dan kebijaksanaan tanpa bergantung pada hal-hal eksternal.

Dengan latihan dan kesadaran yang terus-menerus, seseorang dapat mencapai kebahagiaan sejati yang tidak bergantung pada apa pun di luar dirinya. Merilis kemelekatan adalah proses melatih diri untuk tidak terlalu terikat pada hal-hal yang kita anggap penting. Proses ini bukan berarti mengabaikan atau tidak peduli, tetapi lebih kepada membangun sikap tidak bergantung dan menerima kenyataan apa adanya. Sadari kemelekatan yang ada, merefleksi diri, mengapa merasa sulit melepaskannya, apakah itu karena rasa aman, ego, atau ketakutan kehilangan?

Dengan kesadaran penuh, kita akan mulai melihat pola pikir dan perasaan yang mengikat diri pada hal tersebut. Latih diri untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana, seperti kesehatan, keluarga, atau keindahan alam. Melakukan meditasi dan kontemplasi, duduk dalam keheningan dan perhatikan pikiran yang muncul tentang keterikatan tanpa menghakimi. Berlatih memberi dengan tulus, tanpa mengharapkan imbalan, dapat membantu mengurangi rasa kepemilikan yang berlebihan.

Dalam banyak tradisi spiritual, melepaskan kemelekatan adalah jalan menuju kebebasan batin dan kebahagiaan sejati. Sering kali kemelekatan muncul dari keinginan untuk dihargai, diakui, atau dipuji. Latih diri untuk tidak mendasarkan kebahagiaan pada penilaian orang lain atau pencapaian tertentu.

Melepaskan kemelekatan membutuhkan latihan, kesadaran, dan kesabaran. Namun, dengan melakukannya, kita akan merasakan kebebasan batin dan kedamaian yang lebih besar. Melepaskan kemelekatan bukan berarti kehilangan, tetapi membebaskan diri dari beban yang tidak perlu dan menemukan kebahagiaan sejati di dalam diri. (Febri S.Y.).

***

Judul: Melepaskan Kemelekatan
Penulis: Febri Satria Yazid, pemerhati sosial.
Editor: JHK

Catatan:

Tulisan berjudul “Melepaskan Kemelekatan” ini  bisa juga Anda baca di blog pribadi penulisnya Febrisatriayazid.blogspot.comdan atas seizin penulis diterbitkan kembali di BERITA JABAR NEWS (BJN).

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *