Hilangnya Lahan Pertanian di Jabar: Terkikis di Negeri Agraris
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI, Selasa (22/04/2025) ─ Artikel berjudul “Hilangnya Lahan Pertanian di Jabar: Terkikis di Negeri Agraris” ini ditulis oleh Ina Agustiani, S.Pd. yang sehari-hari bekerja sebagai aktivis pendidikan dan pegiat literasi.
Kita hidup di negeri dimana hamparan padi terlentang dari ujung barat ke ujung utara, sepanjang mata memandang, kotak demi kotak dilalui sawah-sawah. Kini pesawahan tempat berlangsungnya sumber kehidupan perlahan menghilang. Entah apa jadinya jika tahun berganti tahun, masa depan negeri ini akan seperti apa.
***
Pemkot Bandung mencatatkan setidaknya ada penurunan lahan pesawahan setiap tahun dan makin tajam hingga menyentuh 50 hektare lahan pertanian dalam dua tahun dan mayoritas merupakan sawah yang hilang. Menurut Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, terdapat sekitar 1.074 hektare lahan yang masih beroperasi digunakan untuk pertanian, 702 hektare adalah sawah dan sisanya tegalan.

Penyebab berpindahnya lahan berubah fungsi menjadi komplek perumahan bersubsidi dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Farhan pun mengkhawatirkan hal ini. Oleh karena itu, langkah preventifnya meningkatkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) termasuk Lahan Sawah Dilindungi (LSD), ini harus dituangkan dalam rencana Tata Ruang Dan Tata Wilayah (RTRW) demi menyelamatkan 274 hektare tetap menjadi areal pesawahan. Bahkan, meminta masyarakat agar tetap mempertahankan area sawah, bukan jadi bangunan rumah.
Pada kesempatan yang lain, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jabar, Herman Suryatman menerangkan bahwa selain alih fungsi lahan pertanian, juga menghadapi tantangan serius terkait kesejahteraan petani dengan kelompok masyarakat lainnya diluar pertanian. Pinjol dengan bunga mencekik memberatkan hidup petani maupun buruh tani di mana Jabar total penggunanya dengan beban utang Rp16,5 triliun.
Faktanya petani menggunakan pinjol terutama sebelum masa panen untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kemudian subsidi pupuk yang sulit birokrasinya, tidak di-support oleh pihak terkait, di masa depan generasi muda sudah tidak menginginkan profesi petani untuk jadi mata pencaharian karena tidak menjanjikan kesejahteraan hidup. Selain anomali cuaca berperan yang mengancam produktivitas padi sehingga masalah ini harus dipecahkan bersama-sama.
Pembangunan Ala Kapitalistik
Undang-Undang No.41/2019 adalah payung hukum mengenai perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang berguna menjaga luas lahan pertanian, nyatanya kalah dengan laju industrialisasi bercorak kapitalistik yang membuat pejabat terkait dengan mudah memberikan izin alih fungsi lahan secara besar-besaran.
Hal tersebut menunjukkan tak adanya rasa kepedulian dan keberpihakan untuk sektor pertanian, padahal terwujudnya ketahanan dan kemandirian pangan hal yang mutlak ibarat pintu gerbang kedaulatan negara. Analoginya, jika sebuah negara secara militer mendapat serangan dari luar, suatu negara akan mudah melewatinya karena stok makanan dalam negeri cukup. Jika terus bergantung pada impor, bisa goyah. Bahkan, menghancurkan ekonomi negara.

Tak ada riayah negara karena sistem saat ini hanya menguntungkan segelintir pihak yang mencoba mengamankan harta dan kekuasaannya, kebutuhan rakyat tidak jadi prioritas utama. Pemerintah mengambil jalan kilat dengan impor ditengah perbaikan manajemen produksi dan anggaran untuk petani.
Sangat memprihatinkan negeri agraris ini, tapi untuk bahan pangan pokok harus impor. Data BPS tertulis volume impor kedelai paling tinggi pada 2021 di angka 2,49 juta ton (US$1,48 miliar), beras impor mencapai 407,74 ribu ton (US$183,8 juta). Belum lagi impor lainnya yang sebenarnya mudah jika dibuat sendiri di dalam negeri seperti kedelai, kacang tanah, jagung, dan lainnya. Sungguh ini kondisi yang buruk di mata internasional.
Kembali ke nasib petani yang tak dapat dukungan. Bahkan, anggaran subsidi pun dikurangi, dikutip dari CNBC Indonesia sejak 2015 anggaran Kementrian Pertanian (Kementan) sebesar Rp32,72 triliun menurun pada 2022 hanya tersisa Rp14,45 triliun. Untuk pupuk pun dikurangi dari 2019 sebesar Rp34 triliun, pada 2022 turun ke Rp25 miliar. Dengan begitu pintu kesejahteraan untuk petani jauh dari harapan.
Islam Menjaga Kedaulatan Pangan dan Lahan
Islam dengan menggunakan hukum syariah melakukan mekanisme penguasaan tanah. Negara mengakui kepemilikan individu, tanah bisa dikuasai melalui warisan, hadiah dan aktivitas penjualan. Perluasan lahan pertanian dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama mekanisme penguasaan tanah yang harus dikelola dengan hati-hati karena akan memengaruhi produksi.
Kedua dengan menghidupkan tanah mati (hiya’ul mawat) yang tidak dimiliki oleh seorang pun dan tak nampak bekas kegiatan di tempat itu (tak ada pagar, tanaman yang terlihat). Jika dihidupkan oleh seseorang maka ia pemiliknya. Dari Aisyah ra., “Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah yang bukan menjadi hak orang lain maka ialah yang lebih berhak atas tanah itu.” (H.R. Bukhari).
Maintenance agar lebih efektif diraih dengan cara pengelolaan lahan pertanian. Orang yang memiliki tanah diwajibkan mengelolanya secara maksimal dan akan diberi modal oleh negara dalam pengelolaannya. Dengan cara ini kepemilikan dibatasi bagi seseorang yang sanggup dan mampu mengelolanya.
Jika tanah mati selama tiga tahun maka negara akan mengambil untuk digarap oleh yang mampu. Kemudian tidak boleh menyewakan tanah pertanian. Seseorang yang mampu menggarap harus punya lahan, jika tidak mampu maka tidak boleh menguasai lahan tanah tersebut. Yang ada hanya kebolehan pemilik lahan dapat mempekerjakan orang lain.
Terkait penelitian/riset akan dibuka seluas-luasnya untuk pengembangan ilmu pengetahuan untuk keefektifan aktifitas penunjang seperti teknik pertanian baru, alat-alat bantu yang canggih, sarana dan prasarana penunjang seperti ketersediaan bendungan, saluran irigasi, benih, pupuk, apa pun itu yang akan mempermudah pembangunan.
Anggaran besar sudah disiapkan melalui pos pemasukan negara melalui baitulmal. Dalam Kitab Muqaddimah ad-Dustûr pasal 149 dijelaskan terkait sumber-sumber pemasukan tetap untuk Baitulmal, “Pasal 149: Sumber pemasukan tetap Baitulmal adalah fai‘, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz, dan zakat. Harta-harta ini diambil secara tetap, apakah ada keperluan atau tidak sama saja.” Pos-pos pemasukan tersebut, selain harta zakat, bisa digunakan sebagai anggaran pertanian.
Dengan mekanisme nyaris sempurna, sistem Islam mampu mewujudkan ketahanan pangan secara mandiri, lahan pertanian terjaga sesuai fungsinya, petani bahagia dengan kesejahteraan yang sesuai dengan ekspektasi. Jika ada yang pelanggaran hukuman syariat berat pertanggungjawabannya karena berhubungan dengan hari akhir. Impian panen hingga 100 persen bukan impian lagi dengan strategi Islam. Wallahu A’lam (Ina Agustiani).
***
Judul: Hilangnya Lahan Pertanian di Jabar: Terkikis di Negeri Agraris
Penulis: Ina Agustiani, S.Pd.
Editor: JHK
Sekilas Penulis
Ina Agustiani, S.Pd. adalah seorang penulis wanita yang aktif sebagai pendidik dan pegiat literasi di Jawa Barat. Beberapa tulisannya pernah dimuat di media massa online, di antaranya tulisan berjudul “Putus Sekolah Putus Harapan: Jabar Tertinggi” yang dimuat di media online inijabar.com pada Rabu, 11 Oktober 2023.
Tulisan Ina Agustiani, S.Pd. lainnya berjudul “Derita Keluarga dan Pendidikan di Masa Pandemi” yang terbit di media online radarindonesianews.com pada 29 Desember 2020. Tulisan ini dibuat saat wabah Pandemi Covid-19 sedang melanda Indonesia. Kemudian tulisan berjudul “Merdeka Belajar, Tapi Tak Merdeka Kritik” yang terbit pada 10 November 2020 di media yang sama.
Kemudian tulisan tentang pendidikan berjudul “Saat Kisruh Zonasi Masih Mendominasi” terbit di Suara Muslimah Jabar pada 29 Juli 2023 dan tulisan berjudul “Sawang Sinawang Turunnya Kemiskinan di Jawa Barat” yang terbit di media online terasjabar.co pada 2 Agustus 2023.