ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Harga Beras Semakin Melangit, Menyejahterakan Petani atau Oligarki?

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kamis (03/10/2024) – Artikel berjudul “Harga Beras Semakin Melangit, Menyejahterakan Petani atau Oligarki?” ini merupakan karya original dari Yulianti yang akrab disapa Yuli dan aktif dalam dalam Komunitas Menulis “Ibu-Ibu Penggiat Majelis Ta’lim”.

Bank Dunia menyatakan bahwa harga beras di Indonesia lebih mahal 20 persen dari harga beras di pasar global. Bahkan, saat ini harga beras di Indonesia merupakan harga tertinggi di kawasan ASEAN (Kompas.com). Meski demikian, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk mengatakan bahwa tingginya harga beras lokal tak sebanding dengan pendapatan petani lokal.

Rata-rata pendapatan petani kecil kurang dari 1 dollar AS atau Rp 15.199 per hari. Jika kita hitung per tahun maka hanya akan mencapai 341 dollar AS atau Rp 5,2 juta saja. Lebih lanjut, tingginya harga beras dalam negeri ini memiliki dampak serius bagi masyarakat. Tercatat saat ini hanya ada 31 persen penduduk Indonesia yang mampu mendapatkan makanan sehat karena sulitnya membeli makanan bergizi, seperti daging, telur, ikan dan sayuran.

Panen
Ilustrasi: Beberapa petani sedang melakukan panen di sawah mereka – (Sumber: (Arie/BJN)

Tentu saja kondisi tersebut merupakan suatu yang miris karena mengingat Indonesia mempunyai lahan pertanian yang luas dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Namun, faktanya justru harga beras di Indonesia paling tinggi se ASEAN. Kesejahteraan petani pun jauh dari kata layak karena bisa dilihat dari pendapatan pertahunnya sangat kecil.

Satu pertanyaan menggelitik, bagaimana bisa di Indonesia harga beras bisa sangat tinggi dibanding dengan negara lain? Jawabnya, karena biaya produksi yang mahal. Sektor pertanian mulai dari hulu sampai hilir sudah dikuasai para oligarki, sementara negara tidak memberikan bantuan kepada petani. Bahkan, petani diharuskan mandiri terlebih bagi petani bermodal kecil.

Selain itu, saat ini negara sedang melakukan pembatasan impor beras yang menyebabkan  ketersediaan beras juga lebih sedikit dan memicu harga beras menjadi mahal, apalagi adanya ritel-ritel para oligarki yang menguasai bisnis beras yang dapat memainkan harga di pasaran. Hal tersebut bisa menjadi peluang dibukanya keran impor beras yang akan semakin menguntungkan oligarki dan menyengsarakan petani.

Semua kebijakan pemerintah cenderung menguntungkan para pemilik modal tanpa mempertimbangkan nasib para petani. Begitulah sistem kapitalisme yang berlaku hampir di setiap sektor di negeri ini. Negara berperan sebagai fasilitator dan regulator saja yang condong kepada oligarki, bukan kepada rakyat.

Negeri yang mempunyai lahan pertanian yang luas, seharusnya bisa menjamin kebutuhan masyarakat, khususnya ketersediaan beras. Mirisnya dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme, negara tidak mempunyai langkah strategis dalam menyelesaikan masalah ini. Negara malah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta atau para oligarki untuk menguasai berbagai sektor pertanian. Negara abai dalam tugasnya untuk mengurusi dan menyejahterakan rakyatnya.

Berbeda halnya jika negara berdasarkan Islam. Dalam sistem Islam hal-hal yang menyangkut kebutuhan dasar rakyat harus diurus sepenuhnya oleh negara. Beras merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat sehingga pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta.

Dalam politik Islam, negara diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Negara akan berupaya untuk mewujudkan ketahanan pangan dengan melakukan pengelolaan pangan secara mandiri sehingga harga bahan pokok bisa terjangkau oleh masyarakat.

Negara akan menyediakan lahan untuk pertanian, pupuk yang terjangkau, dan pengadaan alat-alat pendukung yang canggih. Negara akan mengembangan bibit unggul dan meningkatkan kemampuan petani sehingga menjadi petani ahli.

Negara pun akan membangun sarana dan prasarana yang mendukung sektor pertanian, seperti membangun jalan sampai ke pedesaan, transportasi yang memadai, pasar yang sehat, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut akan memudahkan petani mendistribusikan hasil pertaniannya kepada konsumen. Karena pengelolaannya dilakukan oleh negara maka kemungkinan kecurangan yang sering terjadi dalam perdagangan akan bisa diminimalisirkan.

Mekanisme seperti itu akan menjamin harga beras dipasaran dapat terjangkau, dan pemerataan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat bisa terwujud, termasuk petani. Negara pun akan terbebas dari impor beras karena bisa mencapai swasembada pangan. Tentu saja itu semua bisa terwujud bila sistem Islam diterapkan di negeri ini. Wallohu ‘alam bisshowab. (Yulianti).

***

Judul: Harga Beras Semakin Melangit, Menyejahterakan Petani atau Oligarki?
Penulis: Yulianti
Editor: JHK

Sekilas tentang penulis

Yulianti
Yulianti, penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Yulianti atau akrab disapa Yuli ini lahir di Bandung pada 18 Juli 1983. Menulis opini sudah menjadi hobinya beberapa tahun belakang ini. Sejak covid-19 merebak, menulis menjadi salah satu aktivitas keseharian yang menyenangkannya.

Menulis opini dengan perspektif Islam dilakukan Yuli karena ia merasa prihatin terhadap fakta-fakta tentang realitas kehidupan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hal itulah yang telah  menggerakkannya untuk menyuarakan isi hati dan pemikirannya melalui tulisan.

Seiring berjalannya waktu, wanita yang tergabung dalam Komunitas Menulis “Ibu-Ibu Penggiat Majelis Ta’lim” ini sudah menghasilkan beberapa tulisan opini yang berhasil dimuat di beberapa media. Simak kegiatan sehari-hari Yuli dalam akun Instagram @lipearly.

***

Spread the love

One thought on “Harga Beras Semakin Melangit, Menyejahterakan Petani atau Oligarki?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *