Cerpen “Wanita Misterius dengan Empat Nama”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Wanita Misterius dengan Empat Nama” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Azan Isya sudah lewat setengah jam yang lalu. Darman dan adiknya, Barto bersiap di depan pintu untuk menyambut tamu-tamu tahlilan. Ada dua puluhan orang yang biasa datang membaca ayat-ayat suci dan doa-doa untuk almarhum ayah yang biasa mereka panggil Abah.
Kakak beradik yang masih membujang ini menghitung, malam Jumat ini jatuh malam keenam mereka ditinggal Abah untuk selamanya. Rasa duka ditinggal sosok Abah sudah tidak sedalam malam-malam sebelumnya. Simpati dari teman, kerabat, tetangga, dan kedatangan rombongan pengajian cukup menguatkan dan membesarkan hati mereka.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, malam ini angin bertiup terasa lebih dingin, semribit (Red: Bahasa Jawa yanga artinya “angin yang berhembus semilir”), tajam menembus kulit. Pada hari-hari dingin seperti ini orang-orang di kampung menghangatkan tubuhnya dengan berkerudung sarung. Demikian pun tamu-tamu yang datang, banyak dari mereka tubuhnya berbalut sarung. Memang bukan pemandangan yang sedap, tetapi demikianlah keadaannya. Orang butuh kehangatan.
Meski demikian, malam itu tahlilan berlangsung hidmat dan khusyuk. Memang ada juga satu-dua orang yang kepalanya manggut-manggut menahan rasa kantuk. Maklum kebanyakan dari mereka sudah capek bekerja keras mencari nafkah sepanjang siang.
Sebagai obat lelah dan kantuk serta tanda terima kasih, untuk para tamu telah disiapkan satu kantong kresek berwarna hitam berisi nasi dan angpau. Bingkisan itu diberikan satu-satu saat nanti mereka pamit pulang.
Malam itu, sebelum tahlilan diakhiri, Darman memberanikan diri untuk bicara, “Bapak-bapak kami mohon maaf sekali, mestinya besok masih sekali lagi kita bersama-sama lakukan pengajian, tetapi karena kami berdua kebetulan mendapat giliran tugas malam maka pengajiannya malam ini adalah pengajian terakhir. Sekali lagi maaf.”
Barto kemudian menyambung, “Kami menyampaikan terima kasih tak terhingga atas kesediaan Pak Kayim dan bapak-bapak sekalian ikut pengajian ini dan mohon maaf atas segala kekurangannya.”
Para tamu mengangguk-angguk takzim dan kemudian pamit pulang membawa bungkusan kresek warna hitam. Sambil berjalan berbaris keluar rumah, satu-satu saling bersalaman dan saling mengucap terima kasih.
***
Kini, rumah itu kembali senyap, hanya tinggal mereka berdua saja. Darman membanting pantatnya duduk di kursi sambil membuang nafas keras-keras.
“Hufff…, akhirnya berakhir juga. Walapun tidak genap tujuh malam. Semoga Tuhan Yang Maha Pemaaf mengampuni kita dan Abah ya To,” ujar Darman pada adiknya.
“Iya Kang, aamiin. Ngomong-ngomong banyak juga uang belanjanya ya Kang, bisa-bisa sebulan gak makan niih,” sahut Barto.
Darman menimpali, “Ahhh kamu To, gak boleh mengeluh gitu. Ikhlaskan saja, semua kan demi Abah.”
“Okay Kang, maaf,” jawab Barto.
Sesaat kemudian sepi lagi. Mereka berdua saling berdiam diri. Kampung itu pun sepi, nyaris sunyi-senyap. Hanya ada suara jeritan kumbang malam. Suaranya mendenging memekakkan telinga sambung menyambung membelah malam.
Dalam kesenyapan, tiba-tiba Barto memecah kesunyian, “Eh Kang, masih ingat wanita yang ketemu di pemakaman? Katanya mau ke rumah membawa titipan Emak. Kok gak datang-datang juga ya?”
“Kamu nunggu-nunggu ya? Emang dia itu siapa To? Dia siapa? Dari mana? Tinggal di mana? Statusnya apa? Kita tuh serba gak tahu, ngapain ditunggu. Namanya pun aku lupa,” sahut Darman.
Barto menimpali, “Ya, aku memang nunggu Kang, siapa tahu bener dia mau ke sini membawa titipan Emak, kan lumayan,” dia tersenyum kecil, lalu lanjutnya, “Wajah dan namanya aku masih ingat Kang.”
“Jangan-jangan kamu naksir dia, To,” sahut Darman.
“He .. he, aku gak tahu, tapi memang cantik dan menarik kan Kang?” balas Darto.
“Ha …ha …ha, Kamu tuh sapi juga dibilang cantik dan menarik,” canda Darman sambil ketawa.
Mereka pun ketawa bareng sambil bersama-sama terus merapikan kembali tempat tahlilan, menggulung tikar, mencuci gelas, dan piring kotor. Juga melanjutkan minum kopi panas yang perlahan-lahan mulai mendingin.
Beberapa hari sepeninggal Abah mereka harus mulai mengurus sendiri semua hal dari kebersihan rumah dan pekarangan, memasak makan pagi, air, serta listrik dan urusan bertetangga. Untungnya semua itu bukanlah sesuatu yang baru. Mereka sudah dilatih Abah sedari kecil setelah ditinggal Emak pergi menjadi TKW.
Sambil ngobrol, entah berapa buah gorengan dan teguk kopi sudah melewati kerongkongan Barto, hingga diingatkan oleh kakaknya untuk jangan terlalu banyak.
“Jangan banyak minum kopi, ntar susah tidur,” saran Darman.
“Iya Kang, tapi kayaknya tanpa kopi pun aku malam ini akan sulit tidur,” sahut Barto.
“Ha …ha …ha, mikirin wanita itu lagi ya?” canda Darman.
“Iya betul Kang. Siapa sih sebenarnya dia? Maksudku namanya saja ada empat,” ujar Barto.
Darman berusaha menenangkan adiknya.
“Gak usah terlalu dipikir. Satu nama saja sudah repot, eh dia punya empat. Masih ingat siapa saja To nama-namanya?”
“Dia sih nyuruh kita memanggilnya Monica Kang. Nama lainnya ada Bella, Suzana, dan Badriyah.”
“Hebat kamu To, hafal semua namanya.”
Malam semakin larut, tetapi mereka ngobrolnya malah semakin hangat. Darman menambahkan gelasnya dengan air panas dari termos. Sesendok gula juga lalu ikut ditambahkannya.
Sambil menyeruput minuman panasnya, Darman melanjutkan, “Aku cuma ingat Badriyah, nama yang akrab di kuping kita. Kalau tiga nama yang lain susah diingat, kayaknya itu bau-bau keju ya?”
“Kalau dia jadi ke rumah, kita tanya KTP-nya saja Kang. Jangan-jangan namanya nambah lagi, Jamingah, Sumini atau Warsitem,” ujar Barto sambil tertawa lebar.
Kakaknya pun ikut tertawa ngakak. Belum selesai ngakak, Darman memotong, “Loh To, Kamu nyebut-nyebut nama Warsitem. Itu kan wanita kurang waras yang tinggal di RT sebelah. Awas, hati-hati, entar dia mendatangimu.”
Barto seketika terkesiap.
“Eh iya Kang. Yang tinggal di RT 03 itu kan? Tapi jangan-jangan wanita misterius itu juga seperti Warsitem, ODGJ gitu? Wah, gawat juga Kang.”
“Apa itu ODGJ To?” Tanya Darman.
Barto ketawa lagi.
“ODGJ tuh Orang Dengan Gangguan Jiwa Kang. Makanya baca koran, jangan baca WA melulu,” canda Barto.
Darman tersenyum kecut, lantas ngomong, “Tapi dugaanmu bahwa wanita yang minta dipanggil Monica itu ODGJ, sepertinya benar juga To.”
Kemudian Darman bercerita tentang Warsitem yang pernah menjadi TKW dan dipulangkan ke Tanah Air karena menderita gangguan mental akibat perundungan parah di tempat kerjanya. Kebetulan adik Warsitem itu teman bermain caturnya.
Suara Darman terdengar serius, “Begini To, adik Warsitem pernah cerita, sepulang kakaknya dari TKW, dia menjadi orang berkepribadian ganda. Kepribadiannya berubah-ubah tanpa disadari. Kadang menjadi majikan, saat lain menjadi supir, lalu berubah menjadi aparat. Di lain waktu menjadi bintang film. Suka-suka dia saja.“
Darman melanjutkan, “Penampilannya, kata adiknya nih, biasa saja malah sering berpakaian rapi dan berdandan To. Maksudku gak kayak orang gila yang amburadul itu.“
“Emang gak dibawa ke dokter Kang,” Tanya Barto.
“Sudah To, tapi mungkin traumanya terlalu berat, jadi tidak banyak kemajuan. Kata dokter, berkepribadian ganda itu juga sebuah cara si penderita melindungi diri dari ingatan dan rasa sakitnya. Gak tahulah aku To,” sahut Darman.
“Menyedihkan sekali Kang. Maksud hati mencari nafkah, pulang membawa banyak uang, eh…malah membawa derita,” kata Barto.
“Iya bener banget To, gak beda jauh dengan kita kan? Kita juga gak tahu nasib Emak sekarang kayak apa. Apakah Emak masih hidup atau ada di mana? Memang paraaah,” kata Darman dengan suara geram, entah geram kepada siapa.
“Iya Kang,…paaraaah! Harusnya, siapapun mesti stop bermimpi menjadi TKW,” kata Barto tidak kurang kesalnya, juga entah kesal kepada siapa.
“Setuju To, orang harusnya merasa lebih terhormat bekerja sebagai apapun di rumah sendiri, di tanah sendiri kan?” Sahut Darman.
“Huf,” Barto menghembus nafas keras-keras sambil menyorongkan piring berisi beberapa lembar mendoan ke kakaknya dan menyilakannya menyantap.
***
Malam benar-benar sudah larut. Tidak ada lagi suara keteplak sandal di jalan. Bahkan, Darman sudah menguap lebar, mulai ngantuk. Melihat Darman menguap, Barto memintanya jangan tidur dulu.
“Jangan tidur dulu Kang, nanti kalau Wanita Misterius itu datang bawa uang, kamu gak dikasih gimana?”
Darman pun merespon setengah bercanda, “He …he …he, malam-malam begini masak sih dia datang? Tapi kalau dia datang bawa uang, tolong bangunin aku ya To.”
Adiknya agak sewot menjawab, “Ah, kamu mah mau enaknya sendiri aja.”
Barto lalu memperbaiki posisi duduknya dengan menggeser meja tamunya mendekat supaya kakinya bisa ditumpangkan di atas meja. Sementara kakaknya masuk ke kamar tanpa menutup pintu.
Darman bersiap-siap naik pembaringan. Dilepasnya kopiah dan baju koko, lalu duduk di atas kasur. Belum lagi pantatnya menyentuh kasur, didengarnya suara ketuk-ketuk pintu depan.
Barto juga mendengar suara yang sama. Suara ketuk-ketuk pintu dengan ketukan yang halus disusul suara salam. Suaranya juga halus seperti keluar dari mulut perempuan. Sambil sedikit was-was, Barto membiarkannya hingga tiga kali ucapan salam.
Banyak orang merasa takut mendengar suara perempuan di tengah malam, apalagi malam Jumat dingin begini. Kepala Barto dipenuhi kata tanya, jangan-jangan?. Namun akhirnya dengan gagah Barto menjawab salam sambil berjalan ke pintu.
“Waalaikumsalam, tunggu sebentar,” jawab Barto sambil bersiap membukakan pintu.
Ketika pintu terbuka dan dilihatnya seorang wanita, Barto terkejut bukan kepalang hingga badannya mundur dua langkah dan disebutnya nama Allah keras-keras. Terkejut dan takut membuat mukanya memerah. Tamu tidak diundang ini membuat jantungnya berdegup amat keras. Barto berusaha mengendalikan emosinya.
Barto memandang tamunya tajam-tajam. Hasilnya menjadikannya tambah terkejut. Kerudung dan pakaian yang dipakainya sama dengan pakaian wanita yang hadir di pemakaman Abah enam hari yang lalu. Hanya ada tambahan slayer berwarna merah mengalungi lehernya.
Setelah merasa diri agak tenang, si tamu dipersilahkannya masuk dan duduk.
Darman tanpa dipanggil sudah keluar kamar tidur dan melangkah ke ruang tamu. Dia langsung mengenali tamunya. Dengan pembawaannya yang tenang, ditemuinya si tamu.
“Waalaikumsalam. Oooh, Ibu yang ketemu di pemakaman Abah itu kan? Yang janji akan ke rumah besok harinya kan?” Sapa Darman ramah.
“Benar sekali. Syukur Anda berdua tidak lupa dengan saya,” kata si Tamu itu dengan sopan sambil tersenyum kecil.
Tamu tersebut ternyata Wanita yang punya empat nama dan minta dipanggil Monica, wanita yang berjanji akan menyampaikan titipan dari Emak.
Sesudah berbasa-basi pertamuan, si Wanita kemudian dengan suara direndahkan memohon maaf telah mengingkari janji datang esok hari setelah pemakaman Abah. Berbagai alasan dia kemukakan, tetapi tidak begitu dipedulikan Darman. Dia lalu juga mohon maaf atas kelancangannya datang ke rumah tengah malam tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Barto kemudian menyambar agak ketus, “Iyaaa, iyaa, terus Ibu ini mau apa datang tengah malam seperti ini?”
Darman melihat ke Barto sambil memberi isyarat dengan telapak tangannya meminta agar dia bersabar dan tenang dulu, seolah dengan tangannya dia bilang, To, ayo kita beri kesempatan dan biarkan si Tamu menyelesaikan omongannya.
“Okay, minta waktunya sebentar untuk menyampaikan maksud kedatangan saya ini,” balas Wanita Misterius itu dengan sopan.
Lalu lanjutnya, “Maaf, sebenarnya saya sudah beberapa waktu ada di teras rumah ini, setelah tamu pengajian bubar. Niatnya mau langsung masuk, tetapi saya putuskan untuk berdiri menunggu di belakang pintu dulu setelah sempat mendengar nama saya jadi bahan omongan Anda berdua.”
“Terus terang, tadi saya nguping. Maaf,” kata si Wanita ini.
Dalam omongannya yang nyerocos dan susah dihentikan, persis seperti KRL Jakarta-Bogor, si Wanita ini menyampaikan bahwa dia bukan ODGJ seperti yang mereka obrolkan. Paling tidak dia bukan pasien RSJ.
Si Wanita juga berkata bahwa sebenarnya di sekitar kita banyak orang yang tidak menyadari dirinya mengalami gangguan jiwa atau mental. Banyak yang tidak menyadari karena memang tidak mudah untuk mengetahui gejalanya. Dengan serius dan suara penuh, si Wanita minta Darman dan Barto tidak usah khawatir tentang kesehatan mentalnya. Diperlihatkan jati-dirinya yang tertulis di KTP.
Di dalam KTP ternyata namanya memang terdiri dari empat nama, yaitu: Suzana Bella Monica Badriyah. Dia juga mempersilahkan kalau Darman mau memanggilnya dengan nama Badriyah.
“Okay Bu Monic, eh Bu Badriyah,” sahut Darman menimpali.
Badriyah lalu juga meminta mereka berdua untuk tidak khawatir tentang titipan Emaknya. Nanti sebelum pulang akan disampaikan.
Di tengah bicaranya yang panjang lebar, Darman juga sempat menyela ngomong, “Boleh tahu kabar Em…”
Belum selesai perkataan Darman, Badriyah memotongnya dengan sigap, “Saya tahu apa yang akan ditanyakan, tetapi saya sudah berjanji ke Emak untuk tidak menyampaikan kabar dan keberadaanya sekarang. Maaf.”
Badriyah melihat dua pria itu kecewa.
“Gak usah galau, pada saatnya nanti juga akan saya sampaikan,” lanjut Badriyah.
Darman dan Barto tentu saja kecewa. Bagaimanapun mereka berdua merasa memiliki ibu yang telah mengandung dan melahirkan mereka ke dunia. Alangkah indahnya seandainya masih bisa ketemu dan berkumpul dengan emaknya.
Badriyah pun membaca gelagat itu. Cepat-cepat dia alihkan perhatian dua laki-laki itu ke pembicaraan yang lain. Melankolisme, romantisme, dan keinginan tahu tentang emak bisa merepotkannya. Menurut Badriyah belum saatnya membuka tabir tentang emak.
Sebelum pamit karena malam pun semakin larut, Badriyah meminta nomor rekening Bank dari Darman dan Barto. Setelah diberitahu, dengan lincah Ibu kenes ini memainkan jarinya di atas handphone.
Beberapa menit kemudian Badriyah menyampaikan bahwa titipan dari emak sudah dikirim dan mempersilahkan mereka berdua memeriksa rekeningnya besok.
Suzana Bella Monica Badriyah lalu berpamitan sambil berpesan, “Titipan dari Emak sudah saya sampaikan, jumlahnya cukup besar, bisa untuk bekal menikah. Karena malam sudah semakin larut, saya pamit. Ini nomor hape saya.”
Badriyah pun keluar rumah, jalan menyelusuri gang depan rumah dan kemudian hilang seperti ditelan gelapnya malam.
Lagi-lagi, Darman dan Barto ditinggal dalam bengong.
Purwokerto, 21 September 2023.
Sarkoro Doso Budiatmoko.
***
Judul: Wanita Misterius dengan Empat Nama
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.
Pengalamannya menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang” lalu “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.
Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.
***
Pingback: Hore, Emak Pulang – Pratama Media News
Pingback: Kota Cimahi Terpilih sebagai Lokasi Syuting Film “Guruku Cantik Sekali” Garapan Sutradara Tedy Rimba -