Cerpen “Cermin dan Cahaya”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom SASTRA, Sabtu (19/04/2025) – Cerpen berjudul “Cermin dan Cahaya” ini merupakan karya original dari Febri Satria Yazid yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial. Penulis yang berasal dari Sumatra Barat ini merupakan anggota Kompeni (Komunitas Penulis Cimahi) dan kini menetap di Kota Cimahi.
Abbas ingin percaya bahwa cinta Tiara padanya adalah nyala yang tumbuh dari ketulusan, bukan bayangan luka yang belum tuntas. Bahwa dalam setiap tatapan mata Tiara, dirinya bukan sekadar pelarian, melainkan pelabuhan yang dipilih dengan hati yang utuh. Ia berharap saat Tiara menggenggam tangannya, itu bukan karena ingin membuktikan bahwa ia mampu bahagia setelah dilukai, melainkan karena ia sungguh menemukan bahagia bersamanya.
“Jangan jadikan aku cermin dari bayangan yang ingin kau kalahkan,” ucap Abbas membuka pembicaraan di tengah kebisuan malam setelah anak-anak lelap di peraduan, lirih namun menggetarkan, “Biarkan aku menjadi cahaya yang menerangi jalan kita, tanpa bayangan masa lalu yang terus mengintai.”

Pernyataan Abbas terucap sebagai buntut dari kejadian hari ini, hari yang semestinya mereka sambut dengan suka cita setelah berhasil melaksanakan ibadah puasa Ramadan, sebagai hari kemenangan. Lebaran kali ini bukan hanya hari kemenangan secara spiritual, tapi juga menjadi lembar baru bagi Tiara. Sejak akhir 2024 lalu, ia telah menikah lagi dengan Abbas, lelaki yang dipertemukan Allah karena frekuensi jiwa yang selaras dan kesamaan dalam banyak hal.
Kejadian berawal ketika menjemput anak-anak di titik temu yang sudah disepakati. Menjelang Maghrib Tiara dan Abbas meluncur ke sana, setelah sejak pagi selepas Salat Idul Fitri 1446 H, Tiara mengizinkan anak-anaknya dijemput oleh Tommy, mantan suaminya untuk dibawa ke rumah orang tua Tommy, tempat keluarga besar mereka berkumpul setiap tahun, bersilaturahmi dan saling memaafkan. Tahun ini menjadi momen pertama anak-anak hadir lengkap setelah empat tahun perceraian, termasuk si bungsu yang lahir beberapa bulan sebelum perpisahan dan belum pernah menginjakkan kaki di rumah keluarga ayahnya.
Mobil mereka melaju menuju rumah kakak Tiara untuk melanjutkan safari Syawal, dalam suasana tawa dan canda bersama anak-anak yang gembira ria. Tiara begitu antusias bertanya pada anak-anak tentang pengalaman mereka di rumah keluarga Tommy. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu terdengar “ganjil” di telinga Abbas. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai. Bagi Abbas, pertanyaan itu seharusnya tak lagi perlu muncul jika benar Tiara telah sungguh-sungguh “move on” dari masa lalunya.
Keganjilan yang Abbas rasakan itu dia ungkapkan kepada Tiara, menjelang mereka beristirahat malam ini. Abbas menyampaikan ketidaksukaannya terhadap cara Tiara mengorek cerita kepada anak-anak, seolah mencari tahu sesuatu yang belum selesai dari masa lalu.
Percakapan malam itu memanas perlahan berubah menjadi bara. Di bawah temaram lampu gantung ruang makan, Abbas menatap Tiara dengan sorot mata yang tak biasa, bukan marah, tapi luka yang belum sempat sembuh. Ia menahan kalimatnya sejenak, mencoba agar nada suaranya tetap tenang, meski hatinya sedang bergemuruh.
“Aku tidak menyukai caramu bertanya pada anak-anak,” ucap Abbas akhirnya, pelan namun tegas, “Bukan karena kamu salah bertanya, tapi karena kamu bertanya dengan hati yang belum selesai berdamai.”
Tiara diam. Matanya membalas tatapan Abbas, tapi bibirnya enggan menjawab. Ia tahu, suaminya tidak sedang menyerangnya. Abbas sedang melindungi sesuatu yang rapuh, bukan dirinya, bukan masa lalu mereka, tapi masa depan rumah tangga yang baru mereka bangun bersama.
“Bagi aku,” lanjut Abbas, suaranya kini lebih lembut, “Cinta tidak boleh berdiri di atas reruntuhan dendam. Ia harus tumbuh di tanah yang bersih, di hati yang telah lapang menerima bahwa masa lalu bukan untuk dikorek, tapi untuk dimaafkan. Kita membangun rumah ini, Tiara, bukan untuk membuktikan siapa yang paling benar, tapi untuk saling menyembuhkan.”
Tiara menarik napas dalam. Kata-kata itu masuk ke dalam relung hatinya, seperti angin malam yang pelan-pelan mendinginkan bara emosi yang sempat membuncah. Ia tahu maksud Abbas bukan melarangnya bicara, tapi mengingatkannya untuk lebih bijak dalam menggali cerita yang belum tentu perlu diungkap.
Dalam diam yang kembali merundung ruang itu, hanya detak jam dan desir angin di balik jendela yang terdengar. Tapi di antara dua hati yang perlahan belajar memahami, malam itu menjadi saksi bahwa cinta sejati bukan tentang menggali masa lalu, melainkan membangun hari ini dengan rasa cukup dan harap yang baru. Bagi Abbas, cinta tidak boleh dibangun di atas puing dendam atau rasa ingin membuktikan.
Tiara pernah jatuh. Bukan sekadar jatuh, tapi hancur perlahan dalam diam. Ia merajut senyum dari puing kepercayaan yang dulu dipecahkan oleh orang yang ia kira akan menjaga selamanya dan ketika semua orang berkata bahwa waktu menyembuhkan, Tiara tahu waktu hanya membuat luka itu pandai menyamar.
Tiara adalah perempuan yang tangguh. Ia baru saja bangkit dari hubungan yang toksik. Belum sepenuhnya sembuh, tapi sudah mulai berjalan dengan kepala tegak. Abbas hadir bagai matahari yang hangat setelah badai. Ia tidak membawa janji, tidak menawarkan pelarian. Ia datang seperti pagi yang lembut, tidak meminta matahari bersinar lebih terang, cukup menjadi terang yang menenangkan. Abbas tidak banyak bertanya. Ia hanya hadir dan terkadang, kehadiran yang diam lebih menyembuhkan daripada seribu kata nasihat.
Namun dalam genggaman tangan itu, hati Tiara masih bergetar. Bukan karena takut pada Abbas, tetapi pada dirinya sendiri. Apakah ini cinta? Ataukah bentuk lain dari pelarian terhadap masa lalu yang menolak pergi?
Tiara mulai menyadari bahwa ia masih dihantui bayang-bayang lama. Ia takut, bahwa cintanya hanyalah pembuktian bahwa ia bisa bahagia tanpa orang yang dulu menyakitinya. Abbas tahu, tetapi ia tidak memaksa Tiara untuk sembuh. Ia hanya ingin menjadi tempat yang aman, bukan panggung pembuktian.
“Aku mencintaimu, Tiara…” ucap Abbas lirih, “Tapi aku ingin tahu, apakah cintamu padaku lahir dari kebebasan, atau dari luka yang belum sembuh?”
Tiara terdiam. Menatap Abbas seolah menatap dirinya sendiri dalam cermin. Di sana, ia melihat bayangan masa lalu yang kadang membuat Abbas tampak seperti refleksi dari cinta yang pernah ia impikan, tetapi tak pernah ia dapatkan.
“Aku tak ingin menjadi cermin, Tiara,” lanjut Abbas, “Aku ingin menjadi cahaya. Tapi cahayaku tak akan bisa menembus jika kamu terus menoleh ke belakang.”
Malam itu, Tiara menangis, Tapi bukan karena luka. Ia menangis karena sadar, selama ini ia menggenggam tangan Abbas dengan harapan balas dendam terhadap masa lalu. Ia mencintai, tapi belum merdeka. Ia dekat, tapi belum bebas.
Hari-hari setelahnya, Tiara memilih diam. Bukan untuk menjauh, tetapi untuk menata hati. Ia berjalan sendiri dalam kesunyian. Bukan untuk meninggalkan Abbas, tapi untuk kembali menemukan dirinya sendiri.
Setelah suasana batin Tiara terlihat nyaman, beberapa hari kemudian, Abbas kembali menyampaikan isi hatinya. Bahwa ia tidak ingin menjadi alat bukti. Ia ingin dicintai bukan karena Tiara ingin menang dari masa lalu, tapi karena ia sungguh mencintai Abbas dengan hati yang benar-benar merdeka.
Kata-kata Abbas meresap dalam jiwa Tiara. Ia menangis lagi, tapi kali ini bukan karena luka, melainkan karena kesadaran bahwa ia ingin tumbuh, bukan sekadar bertahan.
“Aku memilihmu, Abbas. Bukan untuk membuktikan bahwa aku bisa bahagia setelah dilukai, tetapi karena bersamamulah aku menemukan makna bahagia yang sejati. Bukan dari dendam, tapi dari kepercayaan yang baru,” ujar Tiara.
Abbas tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Tiara lebih erat. Tak ada janji-janji manis. Tak ada deklarasi yang megah. Hanya dua hati yang memilih berjalan bersama dengan langkah perlahan, tapi jujur.
Tiara menatap Abbas dan untuk pertama kalinya, tanpa bayang-bayang masa lalu, ia berkata, “Terima kasih telah menjadi cahaya, bukan cermin.”
Mereka pun melangkah bersama, dalam terang cinta yang merdeka, bebas dari hantu masa lalu, menuju masa depan yang jujur dan penuh cahaya. Di antara mereka, tak ada lagi cermin. Hanya ada cahaya. (F.S.Y./BJN).
***
Judul: Cerpen “Cerpen dan Cahaya”
Penulis: Febri Satria Yazid, pemerhati sosial.
Editor: Jumari Haryadi