Bertemu Sahabat Lama: Memoar Silaturahmi yang Menghangatkan Jiwa
Berita Jabar News (BJN), Rubrik OPINI/ARTIKEL/FEATURE, Rabu (09/04/2025) – Artikel berjudul “Bertemu Sahabat Lama: Memoar Silaturahmi yang Menghangatkan Jiwa“ merupakan karya Jumari Haryadi, seorang penulis, jurnalis, dan pendiri Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Indonesia.
Ada waktu-waktu dalam hidup di mana jarum jam seakan melambat, memberi ruang bagi hati untuk bernostalgia, seperti peristiwa yang terjadi pada Rabu, 2 April 2025 kemarin. Sebenarnya, hari itu tidak jauh berbeda dengan ahri-hari yang lain, tetapi menjadi terasa luar biasa karena di sanalah kami—para sahabat lama dari Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Informatika, Angkatan 1985—bertemu kembali dalam nuansa silaturahmi dan halal bihalal yang begitu hangat dan penuh cinta. Kami bukan lagi anak muda dengan rambut hitam legam dan semangat membara, tapi di balik uban dan kerutan, semangat itu nyatanya masih hidup dan berkobar.
Pagi itu, Bandung menyuguhkan udara yang sejuk, seperti menyambut perjalanan kami dengan kelembutan khas dataran tinggi. Saya berangkat bersama empat sahabat: Ace Latama, pria asal Luwuk, Sulawesi Tengah; Imas Komariah yang lembut dan bersahaja; Nina Rostiana, wanita asli Sunda dengan teman kami asal Pekanbaru, Muhamad Richas dan; Riyanto Dwi Purnomo, pria asal Cilacap yang lama bekerja di Qatar, Timur Tengah. Kami melaju dengan Toyota Fortuner milik Riyanto, membelah jalanan menuju Kampung Sekejengkol, Desa Cileunyi Wetan—rumah sahabat satu almamater kami: Satria Wijaya.

Perjalanan ditempuh dengan canda dan tawa. Mobil tak hanya membawa tubuh kami, tetapi juga penuh dengan gelombang cerita, candaan khas anak teknik zaman dulu. Bahkan, sesekali kami menceritakan tentang kekonyolan ketika kami masih menjadi mahasiswa.
Sekitar pukul 12.30 WIB siang, kami sampai di rumah Satria ─ Sebuah rumah bercat putih dengan desain minimalis dengan halaman yang tak terlalu luas. Di samping rumahnya masih ada lahan kosong yang dipenuhi tumbuhan hijau berhawa sejuk, seolah ikut menyambut kedatangan kami.

Sahabat kami, Satria menyambut kedatangan kami dengan ramah. Senyum yang yang lebar masih sama seperti yang saya ingat puluhan tahun lalu. Wajahnya mungkin sedikit berubah, terlihat semakin tua karena faktor usia. Beberapa bagian rambutnya sudah banyak yang berwarna putih, tak berbeda dengan kami.
Dulu ketika masih zaman kuliah, tubuh Satria kurus, tapi kini terlihat lebih berisi dan atletis. Sambutannya yang hangat, membuat dia seperti layaknya saudara sendiri yang sudah lama tak bersua. Pelukan kami seperti menyatukan kembali puzzle kehidupan yang sempat terpencar oleh waktu dan jarak.
Di ruang tengah yang tak begitu luas, tetapi terkesan elegan karena desain interiornya yang artistik, kami semua duduk di lantai beralaskan karpet. Kami duduk bersama dengan posisi setengah lingkaran. Tak ada formalitas, tak ada basa-basi. Cerita pun mengalir seperti sungai kecil yang riuh oleh batu-batu kenangan.

Ada canda yang membuat perut kami terguncang. Betapa tidak, begitu banyak kenangan indah yang terpendam dan hendak diungkap. Semua menari-nari di kepala kami untuk segera diungkapkan. Terkadang kami hening sejenak saat membicarakan teman-teman yang telah lebih dulu pergi meninggalkan dunia ini.
“Ternyata usia bukan hanya membawa pengalaman, tapi juga perpisahan,” ujar Imas lirih saat mengenang beberapa teman yang telah pergi selamanya meninggalkan dunia ini.
Istri Satria kemudian menghidangkan makanan istimewa: nasi liwet lengkap dengan ayam goreng yang harum, sambal merah yang menyala, lalab segar, ikan asin kering yang gurih, tempe goreng, dan beberapa lauk lain yang membuat kami tergoda sebelum mencicipinya. Kami pun makan bersama dengan lahapnya. Dalam momen itu, saya benar-benar menyadari bahwa tak ada jamuan semewah makan bersama teman-teman lama dengan hati yang terbuka.
“Silaturahmi itu ibarat mengisi kembali baterai jiwa,” ucap Nina sambil menyendok nasi liwet.
Memang begitulah adanya. Bertemu kembali setelah sekian lama seakan mengisi ulang energi yang selama ini habis untuk rutinitas, pekerjaan, dan urusan hidup lainnya. Kini batin kami merasa ringan, bebas, dan seolah-olah kembali ke usia dua puluhan.
Dalam diam saya berpikir, banyak yang tak menyadari betapa silaturahmi memiliki efek terapeutik yang nyata. Penelitian dalam ilmu psikologi sosial menunjukkan bahwa interaksi langsung dengan sahabat lama bisa meningkatkan hormon oksitosin—hormon yang memicu perasaan bahagia dan rasa aman.
Silaturahmi juga terbukti mampu menurunkan kadar kortisol, hormon stres yang biasanya tinggi dalam kehidupan urban dan modern. Di luar itu semua, pertemuan semacam ini menjadi ruang aktualisasi dan validasi diri: kita merasa dilihat, diterima, dan diingat.
Media sosial mungkin bisa menjaga kita tetap ‘terhubung’, tapi tak ada yang bisa menggantikan pelukan nyata, tatapan mata langsung, atau suara tawa yang menggema dari mulut teman-teman yang pernah satu kelas atau satu angkatan, bertugas dalam kelompok skripsi, atau pernah sama-sama menjadi pengurus dalam organisasi kemahasiswaan di kampus.
Setelah perut kenyang dan hati hangat, sekitar pukul 14.30 WIB kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah tempat yang menjadi destinasi pelengkap hari itu: kawasan wisata alam Batu Kuda. Letaknya di kaki Gunung Manglayang, tak jauh dari rumah Satria, hanya sekitar sepuluh menit berkendaraan.


Batu Kuda telah lama dikenal sebagai tempat rekreasi yang menyuguhkan nuansa alam yang masih perawan. Pepohonan pinus menjulang tinggi, kabut tipis terkadang hadir menyapa para pengunjung saat cuaca dingin menerpa. Udara khas pegunungan yang bersih menyapu wajah kami dengan lembut.
Kami menyusuri area pohon pinus yang menyebar di area wisata alam Batu Kuda tersebut. Beberapa pengunjung lain terlihat melakukan hal yang sama. Beberapa di antara mereka ada yang berkemah di sela-sela pohon pinus yang tertata rapi dan bersih.


Kami pun mencoba jalur Tangga 1000 di bawah panduan Satria yang sudah terbiasa menyelusuri daerah tersebut. Kami berjalan perlahan melintasi hutan kecil, melewati kebun kopi, rerimbunan pohon bambu, dan beberapa pohon liar yang tumbuh secara alami.


Dalam langkah kami, terasa ada lelah di kaki ketika kami menapaki jalur menanjak ke arah punggung bukit kecil. Namun, rasa lelah itu seakan terganti oleh kepuasan yang seakan sulit dijelaskan dengan untaian kata-kata. Kami seolah sedang menapaki ulang jalur hidup kami sendiri—naik turun, berbatu, tetapi selalu ada sahabat yang menyapa di ujung tanjakan.

Selama dalam perjalanan, kami mengambil banyak foto bersama. Bukan sekadar untuk kenangan, tetapi juga sebagai bukti kecil kepada dunia bahwa kami masih ada, masih bersama, dan masih punya cerita untuk dibagikan.
Dalam satu momen, kami duduk di sebuah batang pohon tumbang sambil menikmati pemandangan lembah yang luas di bawah. Tak ada yang berkata-kata. Hanya suara angin, desah napas, dan detak hati yang bersyukur.

Sebelum pulang, kami mampir di sebuah warung kecil di tepi jalur masuk kawasan wisata. Warung itu sederhana, tempat para pedagang kecil menjajakan makanan dan minuman. Kami pun menepi dan duduk di sana sambil melepas lelah.
Pisang goreng dan bala-bala yang digoreng dadakan menemani perbincangan terakhir kami hari itu. Sementara para pria memesan kopi khas Batu Kuda, Kopi Gunung Manglayang yang dikenal sebagai salah satu kopi terbaik di dunia.

Sambil menyeruput kopi, kami membahas masa lalu. Perbincangan ini seakan tak ada habis-habisnya. Terkadang kami membahas kelakuan buruk kami saat masih kuliah maupun setelah bekerja. Kami saling melempar kisah yang dulu bikin kesal, tetapi sekarang justru jadi bahan tertawaan.

Sebelum berpisah, kami saling berjabat tangan dan tak lupa saling berjanji akan terus menjaga silaturahmi ini. Kami tahu, pertemuan hari itu bukan akhir dari cerita, melainkan babak baru dari persahabatan yang sudah melewati puluhan musim.
Saya pulang dengan hati yang lapang, penuh oleh rasa syukur. Di tengah dunia yang makin bising, pertemuan seperti ini menjadi ruang sunyi yang menenangkan. Pertemuan ini mengingatkan saya bahwa kita tak pernah benar-benar sendiri, bahwa di luar sana selalu ada tangan-tangan yang siap menyambut, mata-mata yang mengenali, dan hati-hati yang tak pernah lupa.

Di antara sekian banyak kebahagiaan dunia, bertemu kembali dengan sahabat lama adalah salah satu anugerah yang paling tulus. Silaturahmi bukan hanya memperpanjang umur dan membuka pintu rezeki, seperti yang diajarkan agama, tetapi juga memperpanjang ingatan akan siapa diri kita sebenarnya.
Dalam kenangan hari itu, saya menemukan diri saya kembali, bukan sebagai orang tua yang kelelahan, tetapi sebagai sahabat dan manusia yang masih punya semangat untuk tertawa dan bermimpi.
***
Judul: Bertemu Sahabat Lama: Memoar Silaturahmi yang Menghangatkan Jiwa
Jurnalis: Jumari Haryadi
Editor: JHK