Cerpen “Mak Ipah dan Para Lelaki Tua”
Berita Jabar News (BJN) – Kolom Sastra, Kamis (22/08/2024) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Mak Ipah dan Para Lelaki Tua” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Pagi subuh itu, belum lagi aku duduk di bangku warung Mak Ipah, Pak Tarmo datang mendekat dengan tergopoh-gopoh. Dia lalu memberitahu sekaligus bertanya.
“Sudah tahu belum Pak? Pak Billy, teman ngobrol kita di sini kemarin pagi, tadi malam meninggal dunia,” kata Pak Tarmo dengan napas agak ngos-ngosan.
Aku kaget. Kemarin pagi kami bertiga memang ngobrol hangat tentang kegemaran Pak Billy yang baru. Dia keliatan sehat dan segar. Lebih kaget lagi melihat Pak Tarmo yang bicara terengah-engah. Lalu kucoba untuk menenangkannya.
“Tenang Pak Tarmo, minum air hangat dulu,” jawabku sambil memberi isyarat ke Mak Ipah.
Mak Ipah cekatan, hanya dalam beberapa saat secangkir minuman hangat sudah tersaji. Tanpa menunggu disilahkan, Pak Tarmo menyeruput beberapa teguk. Lalu dihelanya napas dalam-dalam.
“Terima kasih Pak, terima kasih Mak Ipah,” kata Pak Tarmo.
“Silahkan Pak Tarmo, ceritanya diteruskan,” kataku.
Lalu lelaki berumur itu meneruskan berita duka dengan runtut dan dalam nada sedih.
“Sore hari kemarin Pak Billy kepada istrinya mengeluh sesak napas dan sakit di dada bagian kiri,” kata Pak Tarmo sambil memegang dada dan memperagakan susahnya orang yang sedang sesak napas.
Pak Tarmo melanjutkan ceritanya dengan penuh penghayatan. Istri Pak Billy, katanya panik karena selama ini sehat-sehat saja. Malah sudah empat pekan dia senang suaminya banyak di rumah, bercanda dan bercengkerama.
“Loh, kok sore itu tiba-tiba mengeluh sakit,” sambung Pak Tarmo.
Istri pak Billy telah berusaha berbuat sebisanya. Dibalurnya dada dan punggung suaminya dengan minyak angin dan dibuatkan minuman hangat, tetapi Pak Billy tampak makin menderita. Wanita ini tidak tega menyaksikan suaminya kesakitan, lantas dengan bantuan tetangganya dibawanya ke Rumah Sakit. Namun umur ada di tangan Tuhan. Hanya beberapa jam dirawat, lelaki murah senyum itu tidak tertolong dan dinyatakan meninggal dunia.
Ceritanya belum selesai, kawanku ini meneruskan lagi. Istri Pak Billy sedih sekali, menangis tanpa henti. Tidak ada tempat berbagi, anak satu-satunya ada di luar negeri. Dia tidak menduga akan ditinggal suami semendadak itu. Tidak ada firasat apapun. Suaminya juga tidak memiliki riwayat sakit yang serius.
Belakangan dokter menyatakan Pak Billy meninggal akibat serangan jantung. Penyakit yang sering menjadi kambing hitam ketika ada orang wafat mendadak.
***
Cerita Pak Tarmo yang emosional penuh penghayatan membuatku terdiam. Kami berdua terpekur dan merenung. Benar, tidak pernah ada yang tahu tentang ajal seseorang, kapan, di mana dan dengan cara apa. Semua itu rahasia Tuhan.
“Minumnya tambah Pak?” Tanya Mak Ipah memecah kesunyian.
“Iya Mak, yang hangat ya,” jawabku agak loyo.
Bagaimana tidak loyo. Pak Billy orangnya hangat dan baru sekitar sebulan yang lalu di warung ini, cerita kebiasaannya jalan kaki dua jam setiap pagi. Itu sudah berjalan beberapa tahun dan katanya hal itulah yang membuatnya selalu sehat dan jarang sakit.
Aku yang tidak suka olahraga berpikir bahwa waktu dua jam itu terlalu berharga kalau hanya dipakai untuk jalan kaki menyusuri jalan. Dalam hati, kayak orang kurang kerjaan saja. Oleh karena itu aku berkomentar, “Wah Pak Billy, maaf niih, kenapa tidak digunakan untuk bercengkerama dengan keluarga saja?”
Pak Tarmo menatapku, lalu menyela, “Iya juga sih, tapi tubuh kita juga perlu olah raga kan?”
“Benar, tapi dua jam itu lama loh. Mengapa tidak olahraga saja di rumah atau pekarangan rumah, sambil tetap bisa ngobrol sama istri, kan bisa menambah kemesraan,” sambungku.
Pak Billy menyahut bahwa dengan olahraga pagi dia berharap tetap sehat dan panjang umur.
Lalu aku mencandai, “Pak Billy setiap pagi menyisihkan waktu dua jam tetapi berharap panjang umur. Umur kan kita tidak tahu pasti. Kenapa membuang waktu yang sudah ada di tangan dan berharap yang tidak pasti?”
“Iya juga ya Pak,” kata nPak Billy, lalu lanjutnya, “Kenapa dua jam itu enggak saya pakai untuk bercengkerama dengan istri dan kawan-kawan ya? Hati tentu bahagia. Rasa bahagia membuat sehat juga kan?”
“Asal tetap berolahraga, di mana saja, bagus itu Pak,” kata Pak Tarmo, nada bicaranya mendorong agar Pak Billy tetap meneruskan kesukaannya jalan cepat pagi hari.
Mak Ipah ikut-ikutan ngomong, “Yang penting mah merasa bahagia Pak.”
Setelah obrolan sebulan lalu itu, kata Mak Ipah, Pak Billy kalau pagi sering mampir ke warungnya, minum teh hangat. Rupanya olahraganya sudah ganti dengan jalan-jalan ke warung. Ditambahkan Mak Ipah, setiap selesai ngobrol di warung, wajahnya tampak segar.
“Dia orang baik Pak, selalu membayar lebih dan tidak mau menerima receh kembalian,” kata Mak Ipah.
Pak Tarmo menimpali, “Betul, dia memang orang baik, baik sekali.”
Meninggalnya Pak Billy ternyata membuat Pak Tarmo terpukul. Itu tampak sedih sambil menatapku tajam, berkata, “Pak, jangan-jangan gara-gara kita Pak Billy meninggal. Kalau dia meneruskan kegemarannya jalan pagi-pagi, mungkin dia sekarang masih bernapas.”
Rupanya rasa bersalah itulah yang membuatnya tadi tergopoh-gopoh dan terengah-engah menemuiku.
“Ikhlaskan saja Pak Tarmo. Mungkin itu yang disebut takdir,” kataku, Pak Tarmo mengangguk lemah, lalu aku tambahkan, “Gak usah merasa bersalah pak, umur mah urusan Tuhan.”
Pak Tarmo masih terpekur. Untung, tidak berapa lama kemudian beberapa kawan datang dan bertanya mengapa Pak Tarmo tidak secerah biasanya. Setelah tahu ceritanya mereka mencoba menghibur.
Suasana pelahan berubah, saling canda dan tertawa bersama. Dalam sekejap kami, para lelaki tua, kembali ceria, seperti biasanya
***
Kami para lelaki tua, tanpa janjian, biasa ketemu pagi hari di warung ini sekadar ngobrol berbagi cerita dan minum teh, kopi atau minuman uwuh. Ada juga pisang rebus, ketela rebus, serabi, dan jika mau, ada menu sarapan pagi.
Mak Ipah sangat sabar meladeni bermacam permintaan kami orang berumur. Ada saja maunya, ada yang minta tanpa gula, pakai sedikit gula, minuman panas, minuman hangat, minuman dengan gula dipisah, kopi pahit dan banyak lagi. Malah lama-lama dia paham selera kami masing-masing.
Mak Ipah juga menyediakan meja dan bangku panjang khusus untuk kami. Jumlahnya tidak tentu, ada yang datang dan ada yang pergi.
Suatu pagi datang seorang lelaki berumur tujuhpuluhan, berwajah ndeso, tetapi berpenampilan perlente. Bajunya rapi licin, rambutnya lurus disisir rapi sempong ke kiri, harum parfumnya semerbak wangi bunga kenanga. Dia tidak berkumis dan senyumnya irit.
Bagi kami, siapapun dia, seperti apa pun penampilannya, kami sambut dia dengan hangat. Namun, bapak perlente ini istimewa. Awalnya ngobrol santai dan santun, beberapa hari kemudian, setiap mampir ceritanya tinggi, katanya sering ke luar negeri, katanya mobilnya Mercy dan katanya anak-anaknya berhasil.
Aku dan teman-teman kurang suka omongannya. Oleh karena itu setiap dia datang dan berceloteh macam-macam, tidak terlalu kami didengar. Biarlah cerita tingginya dia nikmati sendiri. Masing-masing orang memiliki ukuran keberhasilannya sendiri, pun punya cara sendiri dalam menikmati kebahagian.
Entah merasa tidak didengar atau karena sebab lain, lelaki perlente itu lama tidak pernah mampir ke warung lagi. Ada tanya di hati kami, kemana dia?
Kata Mak Ipah, dia sakit parah diserang darah tinggi dan mati beberapa hari kemudian. Meski kami tidak terlalu menyukainya, tapi tetap ada muncul rasa sedih di hati, apalagi ditinggal mati, hanya tidak terlihat beberapa hari saja cukup memuat kami merasa kehilangan.
Seperti ketika ada seorang lelaki tua, kurus, dan berbaju lusuh yang datang ke warung. Semula dia minta izin hanya numpang duduk. Dia benar-benar hanya duduk, tidak pesan minuman dan tidak pula beli makanan. Penampilannya memelas mengundang rasa kasihan. Kami bergantian membelikannya minuman dan makanan sekadarnya. Dia tidak menolak dan tampak menikmati dengan lahap.
Lelaki itu diam belaka. Kami pun tidak terlalu mengusik, apalagi dia juga tidak bertingkah aneh.Tidak ada yang terlalu istimewa, biasa-biasa saja. Namun, ketika orang ini tidak terlihat lagi, terasa ada yang hilang di hati.
Ternyata sebelum pergi lelaki lusuh itu berpamitan ke Mak Ipah, dia akan meneruskan perjalanan ke lain kota. Pak tua itu datang dari kota di timur berkeliling ke kota-kota lain menggunakan kendaraan umum yang murah.
Menurut Mak Ipah, istri dan anak-anak bapak tua dan lusuh itu tidak mau menerimanya lagi. Semua akibat polah kurang-ajarnya sendiri. Dia orang yang tamak dan lupa diri.
Kedudukannya yang terhormat, hartanya yang gemerlap dan keluarganya yang tampak bahagia tidak membuatnya puas. Sifat serakahnya muncul, makan duit rakyat, berfoya-foya, dan main wanita. Akibatnya sungguh berat, dijalaninya hukuman badan, hukuman sosial, dan hukuman ditinggal keluarga.
Menurut Mak Ipah, dia kini berjalan tanpa arah dan tujuan. Kadang numpang tidur di warung, terminal, masjid, musala, SPBU atau emperan toko.Dia tidak punya pilihan lain.
Banyak hal dan banyak peristiwa mampir ke warung Mak Ipah. Kami, para lelaki tua belajar banyak. Belajar menemukan kebahagiaan dari kebersamaan, keguyuban, kerukunan, keindahan, dan kesederhanaan. Belajar menemukan kemewahan dari sesuatu yang tampak remeh.
Satu di antara kami ada pak Sugeng. Lelaki tua ini hidup sendiri setelah ditinggal mati istrinya beberapa tahun silam. Meski segalanya dia punya, tetapi apalah artinya kalau tidak ada tempat berbagi. Kesendirian membuatnya merasa betapa mewahnya sebuah pertemanan.
Kesendirian juga membuat Pak Sugeng takut mati membusuk. Ketakutannya memuncak jikamalam ada suara burung hantu di atas langit rumahnya. Ketakutannya amat menyiksa ketika mendengar pengumuman berita duka dari TOA musala dekat rumahnya.
Rasa takutnya menggiring Pak Sugeng wanti-wanti ke kami para lelaki tua, jendela kamar tidurnya tidak pernah dia kunci. Kalau lama dia tidak muncul, jendela silahkan dibuka saja, siapa tahu sudah tidak bernyawa.
Rupanya ketakutan juga dirasakan yang lain yang hidup sendiri, jadilah kami ramai-ramai saling percaya saling menitipkan jiwa. Ternyata, kumpulan para lelaki tua bisa bersatu dan guyub karena sama-sama takut mati tanpa diketahui, seolah hanya kematian yang akan memisahkan mereka.
***
Tidak ada yang abadi. Suatu pagi, aku dan beberapa teman tidak bisa masuk warung. Pintu papan triplek di sisi kanan dan kiri terkunci rapat. Tidak ada pesan atau tulisan. Mak Ipah biasanya kalau mau tutup pamit dulu, kali ini tidak.
Kami lalu menunggu di emperan. Siapa tahu si pemilik warung datang. Macam-macam tingkah selama menunggu, Pak Tarmo jalan mondar-mandir, Pak Bob menghisap rokok, Pak Pram baca koran dan Pak Luki bengong melamun.
Tidak lama berselang, dari jauh muncul Pak Sugeng berjalan sambil cengengesan mengetawakan kami yang sedang bingung. Kemudian sembari melangkah mendekat dia ngomong dengan nada menang, “Apa saya bilang, kita sudah tua, kalau ngobrol itu yang enak dan menghibur saja. Gak usah macam-macam.”
Aku sama sekali tidak nyambung dengan yang diomongkan Pak Sugeng, “Ada apa ini?”
“Jadi begini Bapak-Bapak, ” dengan nada serius Pak Sugeng menyampaikan panjang lebar sebab musabab warung tutup pintu. Seperti biasa, tangannya tidak bisa diam dan mimik mukanya memperjelas isi omongannya.
Lalu dengan raut wajah serius, Pak Sugeng menyimpulkan omongannya sendiri, “Intinya, Mak Ipah tidak mau buka warung lagi, kecuali Bapak-Bapak berhenti bicara dan bertengkar soal politik.”
Pak Bob, terperanjat dan, “Hah, emang dia tahu politik? Jangan-jangan dikira polybag he … he … he…”
“Atau dikira poliklinik…ha … ha … ha,” saut Pak Luki.
Pak Bob mematikan rokoknya lalu menyahut, “Emang keberatannya di mana Pak Sugeng? Kita ngomongin harga sembako, biaya sekolah, harga BBM, dan listrik yang naik terus.”
Lantas ditimpali oleh Pak Luki, “Oh, lalu apa masalahnya? Kita ngomongin nasib kita-kita juga kok.”
“Sebentar, jangan ngelantur,” Pak Sugeng mencoba menengahi, “Menurut Mak Ipah, kalau pada ngomongin politik, itu buntutnya pada bertengkar.”
“Oh itu, ya sudah, ngomongin yang lain saja,” kataku.
Pak Pram memjawab, “Masih banyak topik lain kok, bisa tentang jangkrik, tentang kodok, tentang tongkol, atau yang lain…he …he …he…”
Pak Sugeng menyahut, “Lagi nih, kata Mak Ipah sih, Bapak-Babak tuh ngomongnya ramai, bertengkarnya seru, ngakaknya keras, tapi dagangannya tidak di beli.”
“Ha … ha … ha … kalau itu sih karena kami sedang enggak gablek duit Pak,” kata kami para lelaki tua hampir bersamaan.
“Kalau itu bukan soal politik, tapi soal ekonomi,” kataku, disambut tawa ngakak teman-teman, para lelaki tua.
Tanpa diduga, dari jauh muncul Mak Ipah membawa kunci dan makanan. Di depan para lelaki tua Mak Ipah ngomong, “Maaf Bapak-Bapak, warung saya buka lagi. Ternyata nakalnya Bapak-Bapak kalah oleh rasa kangen saya.” (Sarkoro D.B.)
Purwokerto, 19 Agutus 2024.
***
Judul: Mak Ipah dan Para Lelaki Tua
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.
Pengalamannya menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang” lalu “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.
Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.
***