ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Siapa Yang Harus Berubah: Rakyat Atau Pemimpin?

BERITA JABAR (BJN), Kolom OPINI, Selasa (27/05/2025) – Tulisan berjudul “Siapa Yang Harus Berubah: Rakyat Atau Pemimpin?” ini merupakan karya Mariska Lubis, seorang penulis berpengalaman yang pernah bekerja di berbagai  majalah nasional, di antaranya Femina Grup.

Rakyat tidak pernah berhenti mengkritik, mengecam, melakukan banyak aksi dengan keinginan untuk memiliki pemimpin yang sesuai dengan harapan. Diam dianggap tidak melakukan apapun, banyak berkoar juga tidak ada perubahan, tidak ditanggapi. Bahkan, tidak memberikan banyak arti positif bagi negeri dan rakyat sendiri.

Banyak juga rakyat yang banyak bicara pada akhirnya hanya untuk mendapatkan “negosiasi” kepentingan pribadi dan kelompok semata saja. Tetap atas nama hak rakyat, rakyat kecil, demokrasi, dan keadilan. Ujungnya saja yang tidak sesuai dengan “perjuangan”. Yang tetap salah, pemimpin lagi dan pemimpin lagi. Pokoknya rakyat selalu benar, deh!

Mariska Lubis, Penulis - (Sumber: Instagram)
Mariska Lubis, Penulis – (Sumber: Instagram)

Contoh yang paling nyata adalah soal sampah dan kebersihan. Kalau banjir maka pihak yang selalu disalahkan selalu pemerintah, meski memang pemerintah banyak melakukan kesalahan seperti soal tata ruang dan pengelolaan sampah.

Seharusnya rakyat juga harus berani mengakui bila masih jorok dan senang buang sampah sembarangan. Belum lagi tidak adanya serapan air di rumah, semua dibeton dan disemen, saluran air ditutup dan tidak mau dibersihkan. Ini jelas nyata di depan mata setiap hari. Namun, mengapa tetap hanya pemerintah yang salah?

Korupsi? Wah, kalau urusan korupsi bukan hanya pemerintah saja, kan? Kebetulan saja para pejabat di pemerintahan bisa korupsi dalam jumlah besar dan ketahuan. Memangnya rakyat sendiri tidak banyak yang melakukan korupsi? Uang bantuan sosial saja bisa “ditilap”. Orang yang mampu mengaku miskin agar bisa mendapatkan bantuan. Belum lagi yang asyik terus judi online dan berhutang di pinjol. Mau diberantas pun jadi sulit karena banyak masyarakat sendiri yang tidak mampu melepaskan diri.

Konyolnya lagi, sudah banyak yang sadar bahwa semua itu bisa terjadi karena kualitas pendidikan yang kurang. Bahkan, terus merosot. Sementara sekolah dan pendidikan tinggi semakin banyak dan jumlah orang yang bersekolah juga semakin banyak, tetapi mengapa semakin tidak terdidik?

Ya, bisa jadi sistem pendidikannya yang salah. Plus saat ini dunia pendidikan sudah menjadi sebuah industri demi meraup keuntungan, bukan lagi murni pengabdian bagi masa depan. Di sisi lain, sadarkah bahwa pendidikan utama itu justru harus dibangun dari rumah dan lingkungan?

Sekolah meminta anak untuk membaca, disiplin, dan rajin belajar. Di rumah, orang tua memberi contoh malas membaca, malas berpikir, dan tidak disiplin. Mereka hanya menuntut dan memaksa anak untuk menjadi penurut dan patuh saja, atau mencari yang mudah dan gampang.

Anak dipaksa belajar tanpa pernah diajarkan bagaimana cara belajar. Anak diwajibkan berpikir tanpa diajarkan bagaimana proses dalam berpikir. Anak diminta menyelesaikan masalah, tapi tidak diajarkan bagaimana mencari akar masalah. Apa benar bila hanya pemerintah yang salah jika demikian?

Herannya, begitu ada orang dari pemerintah yang mencoba membenahi dengan “jalan berbeda”, justru banyak yang menghujat. Bahkan, menuduh “dangkal” dalam pemikiran. Anak-anak nakal dan bermasalah yang kebanyakan dimulai dari rumah dan lingkungan, dicoba dibenahi lewat barak militer, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi atau KDM yang justru banyak menuai protes.

Masalah hak anak dijadikan alasan, sementara kewajiban anak tidak dibahas secara serius. Jadi membingungkan, ketika ada banyak masalah tawuran, narkoba, anak-anak malas dan selalu main game, tidak tahu adab dan aturan, pemerintah disalahkan. Giliran pemerintah membenahi, diprotes dan dikritik juga. Sementara solusi untuk membenahi dengan cara yang dianggap baik dan benar, tidak ada juga yang mampu menerapkan. Nanti alasannya, tidak ada dana, tidak ada kapasitas, dan tidak ada kemampuan pula.

Trauma dengan pencitraan? Kenapa bisa ada kesempatan untuk siapa pun melakukan pencitraan? Untuk mendapatkan citra orang baik dan cantik pun bisa dilakukan oleh siapa saja. Banyak aplikasi yang bisa membantu.

Jika memang pencitraan itu dilakukan untuk kebaikan dan manfaatnya terasa, tanpa harus ada yang dirugikan, seperti tidak menggunakan uang rakyat, apa yang salah? Sebaliknya, kalau ada orang yang tertipu oleh wajah cantik palsu, apakah hanya penipunya yang salah?

Ada pepatah mengatakan bahwa bila kita menunjuk jari, jangan lupakan empat jari lain yang menghadap ke diri kita sendiri. Ditambah lagi ada ajaran bahwa pemimpin adalah cermin dari rakyatnya sendiri.

Dua kalimat di atas bisa diabaikan bagi mereka yang hanya berkutat soal hak dan menuntut hak, meminta dimengerti, tetapi tidak mau mengerti. Banyak wawasan dan wacana, tapi tidak mampu melaksanakan. Sementara bagi yang memang berpikir modern, dalam arti mampu berpikir ke depan, kalimat di atas mampu menampar diri untuk melakukan introspeksi.

Pemerintah banyak salah. Namun, apakah diri kita juga selalu benar? Mengkritik mudah, dikritik marah. Menyalahkan gampang, memperbaiki diri sendiri sungguh tidak mudah.

Jika memang ingin ada perubahan di negeri ini, alangkah indahnya bila rakyat sendiri mau memperbaiki diri menjadi lebih baik. Tidak perlu lagi ada dusta, manipulasi, dan segala trik yang menipu rakyat, bila rakyat sendiri sudah berani mencerdaskan diri tanpa harus berharap dan mengandalkan siapa pun kecuali diri sendiri dan Yang Maha Kuasa, bila meyakininya. Berharap pada pemerintah dan orang lain tidak ada guna, semua perubahan akan terjadi dimulai dari diri sendiri dulu. Ya, semua rakyat, tanpa kecuali.

Lakukan saja yang terbaik yang mampu dilakukan dan upayakan berhenti melakukan hal buruk. Jangan buang sampah sembarangan, mulai baca buku dan belajar berpikir kritis dengan cerdas, belajar disiplin, berkata dan berbuat baik. Kecil tetapi efeknya besar ke depan.

Mengkritik tanpa mau mengubah diri sendiri, tidak akan pernah ada gunanya! (Mariska Lubis).

***

Judul: Siapa Yang Harus Berubah: Rakyat Atau Pemimpin?
Kontributor: Mariska Lubis
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang penulis

Mariska Lubis adalah salah seorang tokoh literasi nasional yang sangat berpengalaman. Wanita kelahiran Bandung, 6 Agustus 1974 ini pernah bersekolah di TK-SDK Yahya, lalu meneruskan di SMPN 5 Bandung. Ketika kelas 3 SMP, ia pindah sekolah di SMPN 3 Manggarai, Jakarta dan lanjut ke SMAN 8 Jakarta.

Wanita yang pernah dijuluki blogger seks terpopuler oleh Grasindo (PT Gramedia Widiasarana Indonesia) ini melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Trisakti pada 1992 dengan mengambil Jurusan Ekonomi dan lulus pada 1996. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Sydney, Australia dengan mengambil Jurusan International Studies dengan topik utamanya Politik Asia Tenggara.

Selain menulis dan membaca, Mariska memiliki  hobi melukis, travel, dan fotografi. Ia pernah menerbitkan lima buah buku yaitu buku berjudul “Wahai Pemimpin Bangsa! Belajar Dari Seks, Dong!”, “Ayahku Inspirasiku”, “Seni, Politik, & Perjuangan”, “Gelegar Suara Kalbu”, dan “Mewarnai Gambar Puisi Mariska”.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *