ArtikelBerita Jabar NewsBJNKomunitasOpiniSosial

Senja yang Tak Pernah Padam, Tetap Menyala

BERITA JABAR NEWS (BJN) Kolom OPINI, Sabtu (27/09/2025) – Artikel berjudul “Senja yang Tak Pernah Padam, Tetap Menyala” karya Dr. Eki Baihaki, M.Si., seorang Dosen Komunikasi Politik Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung dan Inisiator Sekolah Lansia Cendekia Cimahi.

Senja kehidupan sejatinya bukan penutup, melainkan cahaya temaram yang tetap menghangatkan. Usia hanyalah angka, sementara jiwa tetaplah sumber semangat yang akan tetap menyala.

Ucapan  Djamari Chaniago saat diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) pada 17 September 2025 lalu,  “Umur saya  77 tahun dan saya ingin menggunakan sisa umur yang Allah titipkan untuk mengabdi kepada bangsa dan negara.”

Dr. Eki Baihaki, M.Si.,
Dr. Eki Baihaki, M.Si., Penulis – (Sumber: Arie/BJN)

Mengulang amanat Presiden Prabowo Subianto, sebuah pesan sederhana, tetapi sarat makna yang menyatakan bahwa pengabdian tidak mengenal batas usia.

Ceu Popong ─ tokoh perempuan Jawa Barat ─ dengan senyum khasnya menuturkan, “Jangan panggil saya nenek atau ibu, cukup sebut Ceu Popong. Usia saya baru 87 tahun.”

Pesan tersebut memberi semangat untuk berkarya. Di balik ucapan Ceu Popong, tersimpan hikmah: kemuliaan bukan terletak pada bilangan umur, melainkan pada kebermanfaatan yang ditorehkan.

Sejarah telah mencatat pemimpin besar dunia kerap tetap tegak di usia senja. Saat ini Presiden-presiden negara besar, seperti Amerika, Turki, dan India hingga Indonesia, telah melewati usia 70 tahun. Mahathir Mohamad menembus usia 100 tahun dan tetap hadir menyumbangkan pikirannya. Usia tidak memenjarakan, justru menghadirkan kedewasaan dan kebijaksanaan.

Buya Syafii Maarif hingga ahir hayatnya pada usia 87 tetap menulis untuk menasihati bangsa. Begitu pula Prof. Emil Salim, saat ini usianya telah mencapai 95 tahun. Namun, ia tidak lelah menyuarakan kepedulian lingkungan. Begitu pula dengan seniman WS Rendra, hingga napasnya terakhir, terus menyalakan api sastra. Dari mereka kita belajar, usia lanjut justru memperkaya makna karya dan ketulusan.

Buya Syafii Maarif, Tokoh Muhammadiyah - (Sumber: Arie/BJN)
Buya Syafii Maarif, Tokoh Muhammadiyah – (Sumber: Arie/BJN)

Nelson Mandela menutup hidupnya pada usia 95 tahun, meninggalkan jejak kebaikan yang dikenang dunia. Ia mengajarkan bahwa keberanian diri, pengampunan, dan keteguhan hati dapat mengalahkan kebencian dan penindasan yang terstruktur di Afrika Selatan.

Pesan inspiratif Nelson Mandela,  “Yang terpenting dalam hidup bukanlah sekadar fakta bahwa kita telah hidup. Melainkan, seberapa besar perbedaan yang telah kita buat bagi kehidupan orang lain yang menentukan makna hidup yang kita jalani.”

Mahatma Gandhi pernah berkata, “Hidup yang tidak digunakan untuk melayani sesama, adalah hidup yang sia-sia.”

Pada usia senja, kita justru menemukan bahwa kebahagiaan sejati tidak lagi diukur oleh seberapa banyak yang kita kumpulkan, melainkan seberapa dalam arti yang kita tinggalkan yang membuat orang lain bergembira.

Al-Qur’an mengingatkan dalam surah An-Nahl ayat 97, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Rasulullah SAW pun bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (H.R. Ahmad).

Inilah pesan langit bahwa semakin panjang usia, semakin luas pula ladang amal yang bisa ditabur, bukan sekadar hitungan panjang waktu tanpa manfaat.

Dalam konteks inilah, urgensi Sekolah Lansia di Kampung Cendekia inisiatif dan program kolaboratif bersama yang insyaallah akan dimulai pada Oktober 2025 menemukan pijakannya. Lansia tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sumber hikmah dan energi sosial yang akan memperkokoh jiwa bangsa.

Sekolah Lansia diinisiasi bukan sekadar ruang belajar, melainkan wahana kebersamaan: tempat memperdalam spiritualitas, menjaga kesehatan jiwa dan raga, mempererat silaturahmi, sekaligus menyalurkan pengalaman hidup kepada generasi selanjutnya yang dijalani dengan kebahagiaan lahir batin.

Usia senja bukanlah akhir perjalanan, melainkan puncak kebijaksanaan. Rambut memutih dan langkah melambat hanyalah tanda waktu, bukan alasan untuk berhenti menyala. Seperti matahari yang tetap indah menjelang tenggelam, jiwa manusia di penghujung usia justru bisa memancarkan cahaya paling hangat: cahaya pengabdian, cinta, ketulusan, dan kebijaksanaan yang menuntun generasi berikutnya.

Pada akhirnya, sesuatu yang abadi bukan umur dalam bilangan tahun, melainkan jejak kebaikan yang ditinggalkan ketika kita masih hidup. Dengan cara itu, usia senja tetap usia  yang bahagia dan berdampak positif, di mana hidup tak sekadar dihitung, melainkan dirasakan, disyukuri, dinikmati, dan diwariskan sebagai cahaya yang tetap menyala. Itulah makna hidup yang sebenarnya.

***

Judul: Senja yang Tak Pernah Padam, Tetap Menyala
Penulis: Dr. Eki Baihaki, M.Si., Dosen Pascasarjana UNPAS, Inisiator Sekolah Lansia Cendekia Cimahi
Editor: Jumari Haryadi

Catatan:

Tulisan ini pernah dimuat di media online Kampungcendikia.id dan atas izin penulisnya diterbitkan kembali di media online BERITA JABAR NEWS. Sumber asli tulisan ini bisa dilihat di sini: Kampung Cendekia Cimahi.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *