Berita Jabar NewsBJNCerpen

Portal di Mulut Gang, Que Sera Sera

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra, Selasa (17/06/2025) – Cerita pendek (cerpen) berjudul Portal di Mulut Gang, Que Sera Sera ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko,  seorang penulis dan pengarang, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.

Ditengah-tengah ronda di malam yang dingin, hanya Dimas dan Heru yang melepas jaketnya. Dua orang ini sepertinya merasa tubuhnya mulai terasa gerah setelah beberapa lama tarik otot saling adu isi kepala. Adu omongnya bukan hanya membuatnya gerah, beberapa gelas minuman kopi di depan mereka juga habis tandas.

Tiga orang rekannya, Karmo dan dua yang lain masih berjaket. Mereka berlima berada dalam satu regu ronda malam yang ditunaikan sepekan sekali.

Sambil duduk melantai di balai-balai Pos Kamling, Dimas dan Heru masih beradu argumen. Sementara yang tiga hanya bisa diam ketika topiknya tidak menarik, tetapi acap kali juga nimbrung saat topiknya menarik dan sedang ramai dibicarakan orang.

Hebatnya, segala hal bisa menjadi topik untuk diperdebatkan oleh Dimas dan Heru. Dari soal sepakbola, BBM, pajak hingga korupsi. Tidak jarang, Pos Kamling yang lazimnya dipakai ngobrol ngalor-ngidul sambil minum kopi berganti rupa menjadi panggung debat, layaknya dua calon Presiden berdebat di TV.

Topiknya kadang remeh tetapi menjadi hangat karena Heru dan Dimas pandai mengolah kata dan jarang mau saling mengalah. Tidak jarang adu mulut berujung pertengkaran dan saling marah lalu tidak bertegur sapa beberapa hari.

Ketika mereka berdua bertengkar, Karmo, yang tertua diantara berlima, tidak bisa menahan diri, bertanya: “Untuk apa sih kamu berdua tarik urat kenceng-kenceng sampai bertengkar? Anggota DPR bukan, anggota partai juga bukan, dibayar pun tidak…”

“Ha..ha..ha, hitung-hitung asah otak dan mulut, siapa tahu besok ditawari jadi jurkam, juru kampanye Kang,”, kata Dimas.

Karmo menambahkan, “Boleh juga tuh mimpimu, gayamu ngomong sudah persis politisi di TV.”

“Terima kasih Kang. Doakan saja,” sahut Heru.

Karmo lalu menyambung, “Hanya sayangnya, kalau ngomongin keadaan negara bisa setinggi pohon kelapa, tapi saatnya diajak keliling patroli kampung, pada tidur.”

Teman lain menimpali, “Memang begitulah kelakuan politisi Kang Karmo, kalau enggak tidur ya ngomong doang.”

Karmo tersenyum pahit. Sebagai yang tertua, Karmo juga sering menjadi pemadam emosi. Seperti malam itu saat Heru dan Dimas sudah habis dua gelas kopi, tapi belum berhenti berbantahan. Meski malam semakin larut, dua orang itu malah bicara semakin keras dan cenderung kasar. Mereka lupa diri. Lupa kalau mereka sedang ronda malam. Lupa kalau mereka sedang ada di tengah-tengah pemukiman.

Ketika mereka berdua suaranya semakin meninggi dan kawan lain khawatir mengganggu tetangga sekitar Pos, Karmo mengingatkan, “Agak pelan sedikit dong ngomongnya, suara sumbang kalian tuh mengganggu tetangga yang sudah pada tidur.”

“Kalian jangan hanya ingin didengar, sesekali dengarkan juga omongan orang,” sambung Karmo.

Kali ini Heru dan Dimas nurut dan langsung menurunkan suaranya, lalu hampir bersamaan menyahut, “Oh iya, siaap, maaf Kang….”

Mereka berdua berhenti berdebat. Berlima duduk diam di lantai Pos Kamling asyik dengan lamunannya masing-masing. Suasana pun berubah menjadi lengang dan senyap. Andai saat itu ada cicak jatuh, suaranya pasti mengagetkan.

Hanya ada suara desis mulut Karmo menghisap dan menghembuskan asap rokok kreteknya. Passss…, pussss…, passs…, pusss, asap rokoknya terbang ke mana-mana.

Dari kejauhan terdengar suara kucing-kucing jantan mengeong keras berebut betina.  Kucing jantan asyik bercakar-cakaran sementera tikus leluasa berseliweran di depan hidung mereka.

Dari atas pohon sawo juga terdengar cuitan dan kepak sayap burung hantu menunggu mangsa. Sementara suara serangga tenggoret mengerik nyaring.

Suasana yang terasa benar-benar senyap tanpa debat Dimas dan Heru hanya bertahan beberapa waktu saja. Kesenyapan pecah ketika salah satu dari lima orang peronda tiba-tiba bersuara membuyarkan suasana sepi.

“Nah, Coba rasakan, sunyi-senyap begini kan enak. Kalau ada suara maling pasti kita dengar.”

“Lalu kita kejar ya,” sahut Dimas menambah pecah suasana malam.

“Ha .. ha…ha, paling juga enggak terkejar. Dimas, badanmu tuh gemuk-gempal begitu, mana bisa lari cepat,” kata Heru agak sinis.

Dimas meskipun memang gemuk dan gempal tidak terima disebut tidak bisa lari cepat, lalu membalas, “Hehe, walau gemuk, aku berani adu lari sama kamu Heru, badanmu memang kurus kayak lidi, tapi belum tentu menang.”

Entah kerasukan setan dari mana, Dimas dan Heru kembali beradu mulut. Mereka berdua memang tidak pernah kekurangan bahan untuk diadu di mulut, apalagi soal gemuk dan kurus, soal internasional pun bisa jadi bahan omongan, seperti perang tarif  antara Amerika Serikat dengan Negara-negara mitra dagangnya.

Tentang perang tarif ini mereka memiliki satu harapan, Indonesia mampu mengambil keuntungan yang bisa membuka peluang usaha baru dan mengurangi pengangguran. Hebat, pikiran dan pandangan mereka menjangkau dunia.

“Hwaaaa, sekarang kamu ngomongnya bukan setinggi pohon kelapa, tapi setinggi langit,” ejek Karmo

“Emangnya enggak boleh ngomong negara luar? Kita kan hidup di dunia yang semakin terbuka tak berbatas,” kata Heru menyahut.

“Kamu tuh ngomongin dunia tak berbatas lalu membahas Amerika Serikat, kayak Menteri Luar Negeri saja,” sambung Karmo.

“Biar gak kudet Kang,” kata Dimas enteng.

“Apa itu kudet?” Tanya Karmo.

Dimas menjawab sambil ketawa, “Ha…ha…ha, kudet itu…kurang up-date, ketinggalan zaman Kang.”

“Halaaah kudat-kudet, lagian ngapain ngomongin jauh-jauh sampai ke Amerika. Tuh lihat portal di ujung gang, bertahun-tahun tidak ada yang berani bongkar,” kata Karmo.

Semua menjadi diam. Semua tahu, banyak orang yang bersuara ingin portal segera dibongkar, tapi tidak sedikit juga yang tanpa suara ingin tetap mempertahankan portal, termasuk Ketua RT.

“Tahu enggak sih, kalian anak muda, akibat yang ditimbulkan oleh sebatang besi melintang di mulut gang?” Sambung Karmo sambil menyapukan pandangan mata ke semua rekan rondanya.

“Haiii…, tahu enggak?” Karmo mengulang pertanyaannya.

Teman-temannya masih diam. Akhirnya pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Karmo dengan nada kesal atas sikap diam teman-temannya.

“Banyak warga di sini kehilangan sumber pangan!”

Portal terbuat dari pipa besi berdiamater 15 cm itu memang sangat ampuh menghalangi kendaraan besar keluar-masuk gang. Truk dan mobil niaga tidak berani menabraknya.

Portal di mulut gang itu dibangun untuk mencegah penyebaran virus mematikan. Saat itu di mana-mana dipasang portal dan polisi tidur. Namun, ketika negara sudah dinyatakan aman dari virus dan banyak portal dibongkar, portal di mulut gang itu tetap kokoh terpasang hingga hari ini.

Pak RT bersikukuh bahwa portal diperlukan demi menjaga supaya jalan sepanjang gang tetap mulus dan keamanan lebih terjamin. Warga umumnya tidak paham mengapa kepala wilayah tingkat terbawah ini seperti tidak mau tahu dengan akibat yang ditimbulkan portal.

“Kendaraan truk memang tidak bisa masuk, tetapi kendaraan kecil juga kerepotan. Terlalu sempit. Berapa banyak mobil-mobil yang tergores,” kata Karmo.

“Tapi nyatanya kan warga RT kita ini tidak ada yang termakan virus itu Kang,” kata Dimas, lalu disambung, “Syukuri saja Kang.”

“Loh Dimas, aku bukan kurang bersyukur. Kamu tahu enggak, itu tempat-tempat usaha di sepanjang gang pada sepi dan ada yang pindah tempat, semua itu gara-gara portal!” Kata Karmo berapi-api.

Masih dengan berapi-api, Karmo menyambung, “Tanya tetanggamu tuh, istrinya tadinya bisa dapat upah dari bersih-bersih kantor di sebelah sana  itu, kini nganggur.”

“Pada paham enggak sih kalian!” Kata Karmo dengan mulut bergetar.

“Sabar Kang, sabaaar,” sela Heru.

“Enak saja kamu ngomong sabar, sabar, sabar,” sahut Karmo dengan nada tinggi, “Aku sendiri sekarang harus ngasih makan anak istri, siang malam peras keringat.”

Karmo pantas naik darah karena pekerjaannya sebagai tenaga keamanan kantor di gang itu hilang Karena usahanya tutup.

“Ya sudah Kang, harus gimana lagi, pak RT maunya begitu,” sahut Dimas.

Sikap menyerah yang terbaca dari suara Dimas semakin membuat darah Karmo mendidih. Lalu setengah teriak ngomong ke Dimas dan Heru.

“Kok nyerah begitu sih! Kamu berdua kan jago ngomong, jago berdebat, coba datangi pak RT, pakai mulut dan otakmu minta portal dibongkar!” kata Karmo masih emosional ke teman-teman rondanya.

Dimas dan Heru saling berpandangan. Heru paham air muka Karmo menandakan hatinya sedang gundah, lalu dicobanya untuk mendinginkan suasana.

“Minum air hangat dulu Kang, biar enggak resah,” ujar Heru.

Usaha Heru berhasil. Karmo berterima kasih dan merespon dengan canda lepasnya.

“Ha..ha..ha, minum air kayak petinju bayaran aja,” kata Karmo.

Dengan kompak mereka bersama-sama meminumnya.

“Tosss,…..hidup portal., ha…ha…ha,” mereka teriak bersama.

Tidak lama kemudian, rasa capek dan kantuk mulai datang. Semua kembali diam. Keheningan hadir lagi. Menjelang dini hari satu persatu berkemas untuk pulang ke rumah masing-masing.

Di luar sana, kampung mulai menggeliat memperlihatkan tanda kehidupan. Warga terlihat mulai berseliweran berangkat mengais rezeki.

Sebelum pulang, Dimas dan Heru berjanji ke Karmo akan secepatnya menemui pak RT.

“Okey, ditunggu ceritanya ya,” ujar Karmo.

Di persimpangan mereka berpisah menuju rumah masing-masing.

***

Paginya, tidak menunggu sampai siang, Dimas dan Heru sudah bertamu ke rumah pak RT. Tuan rumah yang sudah berpakaian rapi menerima mereka berdua dengan baik. Obrolan dimulai dengan basa-basi sambil minum teh panas.

Bosan dengan basa-basi, Heru langsung menyampaikan maksud kedatangannya bersama Dimas. Panjang lebar, bergantian mereka menyampaikan bahwa sudah saatnya membongkar portal. Bahkan, sebenarnya sudah terlambat karena hampir semua portal di tetangga-tetangga gang sudah raib tak bersisa.

Dimas menambahkan dengan penuh perasaan bahwa sudah banyak korban akibat portal, dari mobil tergores hingga truk gagal kirim barang. Tidak sedikit tempat usaha terpaksa pindah karena sulit kirim produk dan terima kiriman bahan baku.

Berdua mereka juga menyampaikan, “Pak RT pasti sudah tahu, banyak warga di sini dan di RT sebelah kehilangan mata pencaharian.”

Banyak hal lain mereka sampaikan sesuai hasil obrolan di Pos Kamling semalam.

Pak RT dengan tenang dan penuh perhatian mendengarkan Heru dan Dimas. Lelaki berwajah tirus itu juga serius dan sesekali menulis sesuatu di buku kecilnya.

Kemudian dengan suara datar pak RT menanggapi, “Bapak-bapak, portal itu amanah yang saya pikul sebagai ketua RT. Itu dibangun untuk melindungi warga dari wabah penyakit mematikan.”

“Oh kami semua tahu itu pak,” kata Heru.

Pak RT tampak tidak suka omongannya dipotong, “Sebentar saya selesaikan, jangan dipotong dulu, tadi pun saya tidak main potong.”

“Okey, silahkan dilanjut, tapi tidak usah bertele-tele,” kata Heru ketus.

Kemudian pak RT menyampaikan bahwa sudah banyak warga menyampakan hal yang sama, tapi jawaban yang diberikannya juga sama, bahwa portal itu amanah warga dan dia tidak mau membongkarnya sebelum amanah itu dicabut.

Menurut pikirannya, portal banyak manfaatnya untuk keamanan wilayah yang di pangkunya. Kalau soal pekerjaan dan tempat usaha, banyak pilihan tempat lain yang bisa menjadi gantinya.

“Saya sih memilih keamanan itu nomor satu, aman dari penyebaran penyakit dan aman dari kejahatan,” tambah pak RT.

“Wah saya tidak paham Pak RT, warga juga perlu makan,” kata Heru.

“Selain makan, warga juga perlu bebas bergerak kemanapun mereka suka…, kami ini bukan tahanan pak, kami ini warga bebas,” sela Dimas.

Pak RT kemudian menanggapi, “Gak apa-apa kalau enggak paham, tetapi portal itu tidak akan saya bongkar.”

Heru kesal dengan sikap keras kepala pak RT, lalu menohoknya dengan pertanyaan, “Emang pak RT dapat uang berapa?”

Pak RT masih bisa sabar dan menjawab, “Pak Heru, uang apa, dari siapa dan berapa banyak? Tidak ada sepeser pun saya terima uang.”

Lalu pak RT berpesan untuk jangan mudah membuat berita bohong. Sudah banyak berita bohong yang beredar di sekitar kita tidak usah ditambah.

Lalu dengan muka masam, Dimas dan Heru berpamitan.

Sebelum dua tamu ini melangkah keluar halaman, Pak RT berpesan, “Portal itu harga mati buat saya. Kalau mau membongkar, silahkan ganti saya dulu. Saya yakin di sini banyak yang bisa menjadi Ketua RT,” lalu sambungnya, “Pekerjaan dan nafkah bisa dicari di dekat sini atau di negeri jauh sana, tetapi kalau ada wabah mematikan mau apa? Portal bisa menjadi monumen supaya kita selalu waspada menjaga kesehatan dan kebersihan.”

Tak peduli, Heru dan Dimas langsung melangkahkan kaki pulang. Mereka agak masgul kesukaannya berdebat tidak ada artinya ketika berhadapan dengan pak RT.

Pak RT paham situasi, dipanggilnya Dimas dan Heru, “Sebentar ke sini.”

Dimas dan Heru berhenti melangkah dan Pak RT yang melangkah mendekat, lalu ngomong, “Coba nanti tanya ke Kang Karmo, berapa uang dia dapatkan kalau portal dibongkar.”

Dua lelaki sebaya ini kembali beradu pandangan mata, lalu tanpa berkata-kata membalikkan badan meneruskan langkah pulang.

Sambil melangkah pelan, hati mereka berdua berkecamuk banyak pertanyaan. Ada apa dengan portal itu? Ada uangnya kah? Dari mana uangnya? Kok kayak barang tambang saja?

Dimas memecah langkah sepi dengan gumaman, “Que sera sera, portal”

Heru menimpali, “Apa itu?”

“Heru, maaf, kita berdua ini bukan siapa-siapa, tidak juga mendapatkan apa-apa, tapi kita dimaki Kang Karmo dan didepak Pak RT hanya karena soal portal, padahal kita gak ada urusan. Maka apa yang akan terjadi, terjadilah. Itu arti que sera sera.”

“Oh okey, makasih kang,” jawab Heru.

Setelah itu di mana dan kapan pun mereka bertemu, tidak terdengar lagi Heru dan Dimas berdebat.

***

Judul: Portal di Mulut Gang, Que Sera Sera
Pengarang: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: Jumari Haryadi

Tentang Pengarang:

Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di Fakultas Kehutanan (E16) IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.

Sarkoro Doso Budiatmoko
Pengarang/Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko – (Sumber: koleksi pribadi)

Kesukaannya membaca tidak terbatas, dari buku tebal hingga sekedar bungkus kacang.Kesukaan membaca ini diimbangi dengan kegemaran menulis.Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.

Sebagian dari tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Sedangkan sebagian cerpennya telah dibukukan dengan judul: Dunia Tak Seindah Rembulan” yang juga diterbitkan oleh SIP Publishing, 2024.

Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.

Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto.Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *