ArtikelBerita Jabar NewsBJNEkonomiOpini

Pajak Era Ekonomi Digital: Perspektif Regulasi dan Keadilan

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom Artikel/Opini, Minggu (31/08/2025) – Artikel berjudul “Pajak  Era Ekonomi Digital: Perspektif Regulasi dan Keadilan” ini merupakan buah karya Nurul Hikmah, seorang penulis asal Tasikmalaya, Jawa Barat yang kini berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Siber Muhammadiyah, Yogyakarta.

Pada era modern, pajak merupakan denyut nadi pembangunan sebuah negara. Begitu Ibnu Khaldun (1332-1406) mengungkapkan dalam kitabnya yang berjudul “Mukadimah” ─ Kitab yang membahas sejarah, sosiologi, dan peradaban.

Ibnu Khaldun memang tidak memberikan definisi secara eksplisit. Namun, konsepnya masih sangat relevan dengan apa yang dialami oleh negara-negara modern, termasuk Indonesia. Al-Jibayah yang di-notice oleh Ibnu Khaldun adalah konsep mengenai kewajiban yang ditetapkan oleh negara pada individu tanpa mendapat imbalan langsung dari negara.

Nurul Hikmah
Nurul Hikmah, Penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Sebuah negara berkewajiban memberikan pelayanan, menghadirkan keadilan, dan menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya, baik dalam bentuk jaminan sosial dan kesehatan, pembangunan infrastruktur maupun subsidi pendidikan. Untuk bisa mewujudkan hal tersebut negara Indonesia memberlakukan pungutan wajib bagi rakyat tanpa imbalan secara langsung dalam bentuk pajak.

Instrumen Kemaslahatan

Tujuh puluh sampai delapan puluh persen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia ditopang dari penerimaan pajak yang ditarik dari masyarakat. Pajak dibebankan dalam berbagai macam bentuk, seperti: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPBM) dan Bea Materai.

Kewajiban pajak didasari oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 dan telah mengalami beberapa kali perubahan. Dalam artian, pajak menjadi sumber utama pendapatan negara.

Logikanya, jika pajak berjalan dengan lancar maka program pelayanan pemerintah pun mestinya berjalan lancar. Namun, jika pembayaran pajak mengalami kemacetan maka negara akan mengalami kemandegan, sebab idealnya input pajak berbanding lurus dengan output program negara.

Pajak negara
Ilustrasi: Pajak negara – (Sumber: Arie/BJN)

Bagi negara yang menggantungkan pendapatan utama dari pajak maka pajak menjadi instrumen yang sangat penting bagi berlangsungnya penyelenggaraan negara meskipun bersifat memaksa.

Ibnu Khladun memberikan gambaran bahwa pajak yang rendah akan mendorong masyarakat untuk mengembangkan sektor bisnis, sedangkan beban pajak yang tinggi bisa menyebabkan resistensi dalam membayar pajak dan berefek pada penurunan produksi dan mandegnya kegiatan ekonomi.

Ibnu Khaldun menekankan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan dengan mengurangi sebanyak mungkin beban pajak, dilakukan secara adil dan proporsional dan tidak berlebihan untuk menjaga agar kegiatan ekonomi yang menguntungkan terus berlangsung secara berkesinambungan.

Bagi individu, membayar pajak seperti melihat sebagian penghasilannya hilang tanpa kompensasi yang jelas dan pasti. Dalam psikologi keuangan, manusia merasakan sakit lebih dalam ketika kehilangan dan merasakan kesenangan ketika mendapatkan.

Jika pajak yang tinggi saja sudah begitu memberikan beban, apalagi jika keadilan dan layanan publik yang diterima masyarakat tidak sesuai dengan beban pajak yang harus dikeluarkan. Sementara kesejahteraan nasional sangat dipengaruhi oleh pajak yang diterapkan secara adil dengan manajemen yang efektif dan hasil yang positif.

Kesejahteraan dan kemakmuran dari pajak mesti dirasakan oleh rakyat dan negara. Pemerintah sudah seharusnya fokus pada kebijakan yang mampu meningkatkan kegiatan usaha. Jika kegiatan usaha tetap berjalan dengan baik dan beban pajak diatur secara proporsional, serta manfaatnya dirasakan secara nyata dan adil untuk kesejahteraan maka tanpa dipaksapun kesadaran membayar pajak itu akan tumbuh karena terbangun hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Pajak pada Era Digital

Era digital bukan hanya merubah pola perilaku masyarakat tetapi juga merubah wajah perekonomian baik lokal maupun global. Transaksi tidak lagi hanya bersifat fisik melainkan merambah ke ruang maya.

Bagi Indonesia yang mengandalkan pemasukan negara dari pajak keadaan ini bisa menjadi dua mata pisau; di satu sisi menjadi peluang, tetapi di sisi lain menjadi bumerang. Peluang bertambahnya pintu pemasukan pajak sangat terbuka karena di Indonesia tumbuh lebih dari 3.000 startup dan menjadikan negara ini sebagai negara startup terbesar di Asia Tenggara. Namun hal ini akan menjadi boomerang bilamana tidak ditopang dengan regulasi berkeadilan, jaminan kesejahteraan sosial, transparansi publik dan kepercayaan dari masyarakat.

Hari ini pun pemerintah telah melakukan langkah-langkah ke arah digitalisasi tersebut. Berbagai peraturan transaksi digital yang berkaitan dengan pajak telah diwacanakan. Bahkan, sudah dimulai seperti e-invoicing, e-filling.

Seharusnya  pemerintah tidak hanya melihat ini sebagai peluang, tetapi mengenyampingkan unsur-unsur yang memperkuat jembatan antara pemerintah-pajak-masyarakat. Pajak tidak akan bisa diperluas tanpa regulasi yang jelas dan trust dari masyarakat. Pajak diberlakukan untuk menciptakan keseimbangan, mendukung kemakmuran jangka panjang dan stabilitas sosial.

Jika kepercayaan publik terhadap pemerintah rendah maka hal ini bukan hanya akan menyebabkan resistensi, tetapi juga chaos karena masyarakat tidak merasakan manfaat dari pajak yang dikeluarkan dan tidak ada transparansi penggunaan pajak.

Tantangan lainnya adalah regulasi lintas negara. Tanpa perjanjian pajak internasional yang kuat, Indonesia hanya akan menjadi pasar empuk tanpa bisa menarik keuntungan dari pajak.

Di tengah arus digitalisasi yang deras, negara mesti hadir bukan hanya sebagai pemungut pajak tetapi sebagai educator, pengelola yang transparan dan adil agar pajak berfungsi sesuai dengan tujuannya.

Antara Pajak dan Kepercayaan

Pepatah mengatakan, “Sejarah adalah spionase kehidupan.” Banyak negara-negara runtuh karena penerapan pajak yang tidak proporsional dan alokasi yang tidak berkeadilan. Bahkan, dalam beberapa catatan sejarah pajak terus dipaksakan setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup para penguasa sementara masyarakat dibiarkan hidup sengsara.

Dalam pengelolaan pajak, kepercayaan publik menjadi pilar penting dan kepercayaan ini dibangun di atas integritas serta komitmen. Dalam teori fiscal modern dikenal istilah tax morale. Kalimat yang merujuk pada kepercayaan publik untuk membayar pajak karena mereka percaya bahwa pajak digunakan untuk kemaslahatan.

Publik memiliki hak untuk menerima informasi yang benar mengenai alokasi pajak yang mereka keluarkan. Oleh karena uang pajak adalah uang masyarakat maka pemerintah harus membuatnya berputar di tengah masyarakat dalam bentuk keadilan dan kesejahteraan untuk kepentingan publik.

Jika pemerintah tidak melakukan hal itu maka masyarakat bukan hanya tidak akan menaruh kepercayaan. Namun, juga tidak rela membayar pajak. Jika pajak tidak diperuntukan bagi kemaslahatan publik maka itu hanyalah bentuk lain dari pemalakan penguasa terhadap rakyat.

Jangan sampai pemerintah gagal untuk kesekian kalinya membangun kepercayaan publik. Sementara negara amat sangat bergantung pada pajak yang dikeluarkan oleh masyarakat. Selain itu, negara harus terus berupaya meningkatkan sektor pelengkap lain dan tidak menjadikan pajak sebagai sandaran terbesar anggaran negara. (Nurul Hikmah).

***

Judul: Pajak Era Ekonomi Digital: Perspektif Regulasi dan Keadilan
Penulis: Nurul Hikmah
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *