ArtikelBerita Jabar NewsOpini

Menjaga Lokomotif Uap Indonesia Melalui De Bergkoningin

BERITA JABAR NEWS (BJN), Rubrik Opini – Artikel berjudul “Menjaga Lokomotif Uap Indonesia Melalui De Bergkoningin” ini adalah karya tulis Rose Maridewi, seorang penulis, jurnalis, dan pemerhati sejarah yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Naik kereta api, tut-tut-tut.
Siapa hendak turut?
Ke Bandung, Surabaya.
Bolehlah naik dengan percuma.
Ayo kawanku lekas naik.
Keretaku tak berhenti lama

Terdengar familiar? Lagu di atas, “Naik Kereta” karya Ibu Sud, terinspirasi atas kenangannya saat menaiki lokomotif uap rute Bandung-Surabaya. Kereta tersebut menjadi bagian penting penulisan buku “De Bergkoningin: Lokomotif Uap Raksasa di Pegunungan Indonesia” yang ditulis oleh Widoyoko, pegiat sejarah perkeretaapian Indonesia, yang dibedah dalam acara bedah buku “De Bergkoningin” di Kantor Pusat PT KAI Bandung, pada 6 November 2022 lalu.

De Bergkoningin (Ratu Pegunungan), kata-kata paling cantik yang bisa menggambarkan lokomotif uap yang bisa saya pilih dari sekian banyak kata,” ujar Widoyoko mengawali bedah buku ini.

Pada 1864 hingga 1942, ketika perkebunan swasta mulai menanamkan modal di Hindia Belanda, pengangkutan hasil perkebunan dilakukan dengan pedati atau gerobak yang memakan waktu dan sumber daya. Pertumbuhan pesat pabrik gula dan tranportasi militer di Jawa mendorong pembangunan jalur kereta api.

Pada 6 April 1875,Parlemen Belanda memutuskan untuk mendirikan Staatspoorwegen (SS) dengan melayani angkutan tebu dari Yogyakarta ke Semarang. SS mengirim komoditas ini dengan lokomotif uap pertama tipe 1B dan C konstruksi Fox Walker dan Sharp Steward. Pendirian SS kemudian memicu kemunculan Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang lebih dikenal sebagai NIS.

Lokomotif SSJ 1622 “De Bergkoningin”
Ilustrasi: SSJ 1622 “De Bergkoningin” – (Sumber: courtesy of NMLD)

Lokomotif uap yang digunakan di Indonesia adalah lokomotif model artikulasi mallet. Model ini memiliki dua set roda dan mesin boiler di belakang. Menurut Widoyoko, lokomotif ini dipilih untuk jalur pegunungan di Indonesia karena menekan kebocoran ganda (double exhausting) dengan teknologi uap langsung dan tekanan yang lebih ringan.

Mesin uap pada lokomotif ini bekerja dengan sistem ketel (kettle system) yang mendorong tekanan uap untuk daya gerak roda. Hasil pembakaran batu bara menghasilkan uap air yang dialirkan ke saluran piston untuk mengerakan mekanisme gerak roda. Kemudian, sisa uap akan disalurkan pada ruang buangan yang tersambung exhaust di bagian ujung atas lokomotif.

Jenis-jenis lokomotif mallet yang digunakan oleh SS dan NIS ada tiga, yakni lokomotif tipe B, C, dan D, mengikuti pasang roda penggerak lokomotif. Seiring berjalannya waktu, seri B dinilai sudah tidak memenuhi kebutuhan SS untuk perjalanan jarak jauh. Pada 1929, SS membeli lokomotif tipe C generasi kedua dengan susunan roda 1C+C buatan Werkspoor.

Lokomotif ini digunakan untuk jalur pegunungan yang lebih curam dan cocok untuk medan pegunungan Jawa Barat. Akan tetapi tipe ini mudah mengalami keretakan jika terjadi tekanan uap berlebihan.

Lokomotif SSJ 1622 “De Bergkoningin” di Belanda
Ilustrasi: Kondisi SSJ 1622 “De Bergkoningin” di Belanda – (Sumber: courtesy of Spoorwegmuseum)

Sejak 1929, SS mulai menggunakan lokomotif uap tipe D untuk menempuh jarak yang lebih jauh dibandingkan tipe sebelumnya. Tipe ini, terutama tipe DD dengan delapan roda penggerak, merupakan lokomotif uap tipe terakhir yang digunakan di Hindia Belanda. Pembaharuan kemudian dilakukan pada tipe DD50 dan menghasilkan tipe DD52 dengan tambahan prapemanasan. Sistem prapemanasan yang digunakan DD52 menjadi versi tercanggih dan tercepat dibandingkan tipe pendahulunya.

Memasuki masa pendudukan Jepang dan kemerdekaan, beberapa jalur dan unit lokomotif uap mengalami penurunan. Setelah SS dan NIS dinasionalisasi pemerintah Indonesia pada akhir 1950-an, beberapa unit lokomotif dikembalikan kepada pemerintahan Belanda. Beberapa unit lainnya tidak dapat digunakan kembali dan menjadi objek seni, seperti pahatan di Hotel Savoy Homman, dan Museum Kereta Api di Ambarawa. Lokomotif yang tak mengalami nasib beruntung berakhir sebagai besi tua dan tidak dapat dipreservasi.

“Dari segi sejarah, kita sudah menjaga betul peninggalan kereta api yang sudah berabad-abad tersebut, walaupun ada yang akhirnya menjual sisa-sisa kereta ini menjadi besi kiloan. Bangsa Indonesia perlu melakukan preservasi kereta yang kini sudah bagus, perlu diperbagus kembali. Perlunya perkembangan kemampuan melalui sertifikasi ahli-ahli permesinan kereta api untuk mengelola sejarah yang akan kita wariskan kemudian hari,” pesan Widoyoko kepada para peserta pada akhir acara.
Pesan tersebut tentunya sangat berguna bagi kita, para penjaga sejarah, untuk menjaga warisan memori masa lalu yang telah ada. (Rose Mariadewi).

***

Judul: Menjaga Lokomotif Uap Indonesia Melalui De Bergkoningin
Penulis: Rose Maraidewi
Editor: JHK

Catatan:

Artikel berjudul Menjaga Lokomotif Uap Indonesia Melalui de Bergkoningin sebelumnya pernah terbit di blog “Historical Meaning” yang diasuh oleh penulis dan ditayangkan kembali di BERITA JABAR NEWS (BJN).

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *