Inspirasi Menulis Memoar: Kisah di Balik Foto Bersama Menteri Penerangan Harmoko
BERITA JABAR NEWS (BJN) ─ Rubrik OPINI, Selasa (11/03/2025) ─ Artikel bertajuk “Inspirasi Menulis Memoar: Kisah di Balik Foto Bersama Menteri Penerangan Harmoko” ini adalah karya tulis Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Pagi ini selepas sahur, saya terlibat diskusi melalui chat WhatsApp dengan Pak Didin Tulus, rekan yang saya kenal beberapa waktu lalu ketika kami pertama kali jumpa di Mozi Design Institute, Kota Cimahi dalam Acara Kopi Literasi pada 03 Agustus 2024. Kami sering berkomunikasi dalam WhatsApp Group karena merasa sefrekuensi. Kami saling menyemangati dalam hal kegiatan tulis menulis.
Pada awal 2025, Pak Didin Tulus dan Pak Jumari Haryadi menggagas untuk menerbitkan buku antologi berisi kumpulan karya sastra sembilan pengarang, yaitu Didin Tulus, Dian Sobari Samdani, Diantika IE, Dimas Saputera, Eddi Koben, Febri Satria Yazid, Jumari Haryadi, Sarkoro DosoBudiatmoko, dan Violet Senja. Buku Antologi ini berisi puisi, cerpen dan fragmen yang akhirnya terwujud pada akhir Januari 2025 dan saat ini sedang memilih momen yang tepat untuk peluncuran buku tersebut.

Topik bahasan kami adalah tentang “Kisah Foto”. Ide Pak Didin Tulus menarik dan ia sudah memulainya melalui satu kisah fotonya ketika sedang berada di depan lukisan Ajip Rosidi. Sayangnya foto-foto saya masa kecil hingga dewasa sebelum saya merantau (setamat Sekolah Menengah Atas) telah dimusnahkan oleh saudara saya di kampung halaman setelah mendapat kajian dan pemahaman bahwa menyimpan gambar atau foto untuk dijadikan kenangan adalah perbuatan haram.
Menurut pemahaman saudara saya tersebut, Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa malaikat enggan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar atau foto. Hal ini menunjukkan bahwa menyimpan gambar atau foto di dalam rumah hukumnya adalah haram. Untung pada saat saya berangkat ke rantau, ada beberapa foto yang menurut saya penting dan punya nilai, saya bawa. Benar saja, setelah punya anak, foto-foto tersebut saya perlihatkan pada mereka dan dapat memotivasi mereka untuk berbuat hal positif dalam menjalani kehidupan.
Saya coba untuk menelusuri foto-foto di album yang dulu sempat saya bawa kala pertama merantau ke Tatar Pasundan pada pertengahan 1986. Saya temukan foto awal 1986 ketika saya memperoleh hadiah dan penghargaan dari Menteri Penerangan Republik Indonesia pada waktu itu, Bapak Harmoko, atas pencapaian “Kelompencapir” (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa) ─ sebuah program komunikasi dan edukasi masyarakat yang populer di Indonesia pada era Orde Baru.
Program Kelompencapir tersebut bertujuan untuk menyebarluaskan informasi pembangunan, khususnya di bidang pertanian, perkebunan, perikanan, dan kesejahteraan rakyat, kepada masyarakat pedesaan. Waktu itu Kelompencapir sekolah SMA saya yang kami beri nama Kelompencapir “Terminal” berhasil keluar sebagai Juara Nasional kelompok sekolah yang dimotori Harian Singgalang yang memfasilitasi KMS (Koran Masuk Sekolah).

Kelompencapir mulai diperkenalkan pada 1978 oleh pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Program ini diselenggarakan oleh Departemen Penerangan dan bekerja sama dengan berbagai instansi terkait. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat pedesaan tentang program pembangunan nasional, mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan, terutama dalam sektor pertanian dan ekonomi rakyat, memfasilitasi komunikasi dua arah antara pemerintah dan rakyat agar kebijakan dapat diterima dengan baik.
Kelompencapir mengandalkan media massa seperti radio, televisi, dan cetak sebagai sarana utama penyampaian informasi. Para petani, nelayan, dan masyarakat pedesaan dikumpulkan dalam kelompok untuk mendengarkan siaran radio, membaca materi cetak, atau menonton siaran televisi yang berisi penyuluhan dan informasi pembangunan.
Program ini juga sering dikemas dalam bentuk kuis atau lomba cerdas cermat antara kelompok masyarakat dari berbagai daerah. Para pemenangnya bisa bertemu langsung dengan Presiden Soeharto dalam acara yang lebih besar.
Meskipun memiliki manfaat dalam menyebarkan informasi pembangunan, Kelompencapir juga mendapat kritik karena cenderung menjadi alat propaganda pemerintah Orde Baru, tidak selalu mencerminkan kondisi riil masyarakat, karena hanya menampilkan keberhasilan program pembangunan dan kurangnya interaksi yang benar-benar kritis antara rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu pascareformasi 1998 dan dibubarkannya Departemen Penerangan, program ini perlahan menghilang. Namun, konsep edukasi masyarakat melalui media masih diterapkan dalam berbagai bentuk lain, seperti program penyuluhan pertanian dan siaran edukasi di televisi atau media digital.
Kelompencapir mencerminkan bagaimana komunikasi pembangunan dijalankan di masa lalu dan memberikan pelajaran tentang pentingnya komunikasi yang lebih terbuka dan partisipatif dalam membangun masyarakat. Sebagai pelaku kegiatan ini, saya merasakan dampak positif dari program ini, setidaknya dalam membentuk jiwa kepemimpinan saya dalam kelompok yang heterogen untuk bisa duduk bersama dalam menganalisa dan mengupas tuntas permasalahan yang muncul di tengah masyarakat setidaknya dalam skala daerah, kemudian memberikan rekomendasi dari hasil musyawarah Kelompencapir kami khususnya untuk permasalahan-permasalahan di sektor pendidikan yang diangkat oleh Harian Singgalang pada waktu itu.. (F.S.Y./BJN).
***
Judul: Inspirasi Menulis Memoar: Kisah di Balik Foto Bersama Menteri Penerangan Harmoko
Penulis: Febri Satria Yazid, pemerhati sosial.
Editor: Jumari Haryadi
