ArtikelBerita Jabar NewsBJNFeature

Empat Pulau, Dua Provinsi, dan Asa Sebuah Negeri

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI/ARTIKEL/FEATURE, Jumat (27/06/2025) – Artikel berjudul “Empat Pulau, Dua Provinsi, dan Asa Sebuah Negerimerupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Di sebuah warung kopi kecil di pesisir Aceh, dua sahabat lama duduk berbincang hangat. Hasan, seorang nelayan Aceh, menyeduh kopi hitamnya perlahan. Sementara Budi, kawan lamanya yang kini tinggal di Medan, menikmati pisang goreng hangat yang baru saja keluar dari wajan.

“Budi, apa kau sudah dengar kabar soal empat pulau yang katanya mau masuk ke Sumatra Utara?” Tanya Hasan sambil menatap dengan tatapan kosong ke arah laut lepas.

Foto Ummu Fahhala
Ummu Fahhala – (Sumber: Koleksi pribadi)

Budi mengangguk, “Iya, sempat kubaca di berita. Katanya potensi migas di situ besar ya?”

Hasan menghela napas, “Itulah yang bikin resah. Orang kampung banyak yang bertanya-tanya. Kenapa tiba-tiba pulau-pulau itu dipindah ke provinsi lain? Kami di sini cuma ingin kejelasan. Bukan soal Aceh atau Sumut, tapi soal nasib kami yang tinggal dekat situ.”

Obrolan mereka menggambarkan kegelisahan sebagian warga di dua provinsi. Polemik empat pulau ini memang menjadi berita viral di medsos dan juga TV. Berbagai pendapat bermunculan. Ada yang bilang ini soal batas wilayah, ada yang menyebut soal sejarah lama. Namun, dugaan terbesar tetap mengarah pada potensi minyak dan gas yang ada di kawasan itu.

Beberapa ahli ikut bicara. Seorang pengamat otonomi daerah dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Dahlan Thaib, menyebut ini bukti bahwa otonomi daerah masih menyimpan celah konflik.

“Sengketa batas wilayah adalah contoh nyata kelemahan koordinasi pusat dan daerah,” kata Dahlan.

Dari sisi hukum tata negara, Prof. Maria Farida dari UI menilai pengelolaan sumber daya alam harus berpihak pada kepentingan rakyat seluruh Indonesia, bukan hanya daerah tertentu.

Di balik semua itu, Budi punya pandangan lain, “Kalau dipikir-pikir, Hasan, ini sebenarnya masalah sistem. Setiap daerah diizinkan mengurus sumber dayanya sendiri. Kalau daerah itu kaya, rakyatnya bisa makmur. Kalau tidak, bisa saja tertinggal, padahal mestinya semua daerah bisa merasakan hasil kekayaan negeri ini, kan?”

Hasan mengangguk. Ia teringat ceramah ustaz di masjid beberapa waktu lalu. Sang ustaz bercerita tentang masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Saat itu, semua kekayaan alam, baik dari Syam, Irak, maupun Mesir, dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Tidak ada satu daerah pun yang merasa dianaktirikan. Negara berlaku adil sebagai pengurus umat.

“Dalam Islam, penguasa itu amanah besar,” kata Hasan lirih, “Rasulullah Saw. sendiri bilang bahwa pemimpin itu pengurus dan pelindung rakyatnya. Bukan milik daerah, bukan milik suku, tapi milik semua umat.”

Budi tersenyum.

“Andai sistem seperti itu bisa diterapkan lagi. Tidak ada rebutan wilayah, tidak ada iri hati soal PAD. Semua diatur pusat, semua adil,” kata Budi.

Tentu saja Budi dan Hasan sadar bahwa sistem otonomi daerah yang dianut Indonesia menganut sudah sah secara hukum. Pemerintah daerah dan pusat sama-sama bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan negara. Perbedaan pendapat harus diselesaikan dengan musyawarah, bukan saling tuduh.

“Kita percaya, pemerintah juga ingin yang terbaik untuk semua rakyat,” ujar Budi menutup pembicaraan, “Yang penting, suara rakyat kecil seperti kita juga didengar.”

Hasan tersenyum. Angin laut secara perlahan berhembus, membawa suasana sejuk. Empat pulau di kejauhan tetap di tempatnya. Namun, di hati rakyat kecil seperti Hasan dan Budi, ada harapan besar, semoga negeri ini tetap utuh, adil, dan makmur untuk semua.

***

Judul: Empat Pulau, Dua Provinsi, dan Asa Sebuah Negeri
Penulis: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *