Dua Tradisi, Satu Nilai: Menjaga Warisan Budaya dalam Perbedaan
BERITA JABAR NEWS (BJN) ─ Rubrik OPINI, Rabu (04/06/2025) ─ Artikel bertajuk “Dua Tradisi, Satu Nilai: Menjaga Warisan Budaya dalam Perbedaan” ini adalah karya tulis Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Tidak terasa tahun ini telah 39 tahun saya menetap di Tataran Pasundan. Meninggalkan Ranah Minang pada Mei 1986, merantau ke Tanah Sunda yang masyarakatnya tidak terlalu menekankan budaya merantau.
Orang Sunda lebih senang tinggal di tanah kelahiran. Sementara bagi “urang awak”, merantau adalah bagian dari tradisi dan kebanggaan. Anak laki-laki didorong untuk merantau demi mencari ilmu dan rezeki. Tradisi pertama yang saya amati ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah Sunda.

Perbedaan antara kebudayaan Sunda dan Minangkabau mencerminkan kekayaan dan keragaman budaya Indonesia. Keduanya memiliki akar adat istiadat, nilai, dan gaya hidup yang khas. Dua tradisi, satu nilai.
Filosofi Minangkabau “dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang” mempunyai makna di mana pun kita berada, kita harus menghormati adat, budaya, dan aturan setempat. Artinya, seseorang yang merantau atau hidup di luar kampung halamannya harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, bersikap toleran, menghargai orang lain, serta tidak memaksakan kebiasaan atau nilai sendiri di tempat baru. Nilai inilah yang menyebabkan para perantau Minang mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan baik di perantauan.
Ketika jumpa Pak Jumari Haryadi, Pimpinan Redaksi Berita Jabar News (BJN), dalam acara pameran portofolio minggu lalu di Mozi Design Institute, Jalan Kamarung No.5B, Citeureup, Cimahi Utara, disela acara kami “berbisik” (berbincang asyik) tentang topik sesuai judul artikel ini “Dua Tradisi, Satu Nilai: Menjaga Warisan Budaya dalam Perbedaan”.
Dalam bertutur, orang Sunda sangat sopan, terlihat dari saat melewati orang lain, mereka selalu katakan “punten”. Kata “punten” dalam bahasa Sunda adalah salah satu kata yang sangat khas dan sarat makna sopan santun, bentuk ungkapan permisi yang digunakan saat seseorang akan melewati orang lain (jika yang mau lewat lupa, yang dilewati sambil bercanda yang berkata “punten”), ungkap Pak Jumari.

Kata punten juga digunakan ketika akan masuk ke rumah atau ruangan akan menyela pembicaraan dan jika ingin memulai percakapan dengan orang lain. “Punten” bukan hanya sekadar “permisi,” tapi juga mencerminkan kesopanan, kerendahan hati, dan rasa hormat terhadap orang lain, terutama kepada orang yang lebih tua atau dihormati. Misalnya, “Punten, tiasa naroskeun hiji hal?” (Permisi, boleh saya bertanya sesuatu?).
Kini banyak orang non Sunda juga memakai “punten” dalam kehidupan sehari-hari karena hal ini dianggap lebih halus dan menyenangkan didengar dibandingkan kata “permisi” . Menggunakan Bahasa Sunda, mempunyai tingkatan tutur berdasarkan sopan santun (lemes, sedang, kasar) yang disesuaikan dengan lawan bicara ( yang lebih muda, sepantaran atau kepada yang lebih tua ).
Dalam bahasa Minangkabau, dikenal istilah “kato manurun” (cara berbicara kepada orang yang lebih muda, sederajat, atau anak-anak), “kato mandaki” (cara berbicara kepada orang yang lebih tua, dihormati, atau berpangkat) , dan “kato malereng” (cara berbicara kepada orang yang sebaya atau sejajar, seperti teman atau rekan kerja) yang merupakan bagian dari tata krama bertutur atau etika berbicara yang mencerminkan nilai-nilai sopan santun, hierarki sosial, dan kearifan lokal.
Tiga jenis “kato” ini adalah bagian dari nilai adat Minangkabau yang menjunjung tinggi kesantunan dan keseimbangan sosial. Masyarakat Minang percaya bahwa bahasa adalah cermin budi dan bertutur dengan tepat adalah bentuk penghormatan terhadap orang lain.
Menggunakan Bahasa Minangkabau dengan dialek yang berbeda-beda tergantung daerah, tetapi tidak terlalu kaku dalam tingkatan tutur, mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Minang sangat menjunjung tinggi sopan santun dalam berbicara. Namun, Bahasa Minang tidak memiliki sistem tingkatan bahasa. Tidak ada perubahan besar dalam bentuk kata, tetapi lebih pada cara penyampaian, intonasi, dan kehati-hatian dalam berkata. Tidak sekompleks atau sekaku seperti yang dimiliki oleh Bahasa Sunda (Loma – Sedeng – Lemes ).
Perbedaan lain yang kami cermati adalah tentang filosofi dan pandangan hidup. Orang Sunda cenderung menjunjung tinggi kesopanan, kelembutan, dan kehalusan budi (prinsip “someah hade ka semah”, ramah pada tamu). Sementara Orang Minangkabau Filosofi hidup lebih kuat pada kemandirian, keberanian, dan kecerdasan berdiplomasi.
Prinsip hidup: “Alam takambang jadi guru” (alam semesta yang terbentang atau terbuka luas, menjadi sumber ilmu, pedoman, atau pembimbing) dan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” (adat berpedoman kepada ajaran agama Islam dan ajaran Islam berpedoman kepada kitab suci Al-qur’an). Gaya hidup orang Sunda adalah dengan menghindari konflik, mengutamakan damai, sementara orang Minang pandai berbicara, suka merantau, dan berpikir maju.
Perbedaan lain dapat kita cermati dari sistem kekerabatan. Orang Sunda menganut sistem patrilineal, yaitu garis keturunan diambil dari pihak ayah. Sementara Minangkabau menganut sistem ma trilineal, yaitu garis keturunan diambil dari pihak ibu. Anak-anak termasuk ke dalam suku ibunya dan harta pusaka diwariskan melalui garis ibu.
Dalam peran gender dan adat pernikahan kaum Laki-laki Sunda lebih dominan dalam keluarga. Namun hubungan antara suami-istri bersifat egaliter. Dalam pernikahan, pihak laki-laki biasanya datang melamar. Sementara Perempuan Minangkabau memegang peranan penting dalam keluarga karena sistem matrilineal. Dalam pernikahan, keluarga perempuan yang “menjemput” atau melamar laki-laki (tradisi bajapuik).
Rumah Adat disebut Imah, biasanya berbentuk panggung dengan atap pelana atau julang ngapak (sayap burung terbuka). Rumah adat disebut Rumah Gadang dengan atap menyerupai tanduk kerbau yang melengkung, mencerminkan filosofi “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”.
Untuk makanan khas Sunda cenderung ringan dan segar, seperti lalapan, karedok, sayur asem. Beda dengan suku Minangkabau yang makanan khasnya kaya rempah, berbumbu kuat dan pedas, seperti rendang, dendeng balado, gulai.
Dalam bidang kesenian dan musik, alat musik Sunda khas seperti angklung, kacapi, degung dengan nada lembut dan menenangkan. Alat musik Minangkabau tradisional berupa saluang, talempong, gandang, dengan irama lebih cepat dan semangat.
Dari sisi keagamaan dan kepercayaan orang Sunda dan Minangkabau sama-sama mayoritas Islam, tetapi warisan budaya Hindu-Buddha dan animisme masih terasa dalam beberapa adat dan seni Sunda. Kedua suku ini sangat kuat adat istiadatnya dan kehidupan sosial sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam.
Meski berbeda dalam filosofi dan cara pandang hidup, Sunda dengan kelembutannya dan Minangkabau dengan ketegasannya, keduanya berakar pada nilai yang sama yaitu menjunjung tinggi kehormatan, keselarasan hidup, dan keluhuran budi pekerti. Perbedaan bukanlah jurang pemisah, melainkan jembatan penguat dalam mozaik kebudayaan Indonesia.
Satu nilai luhur yang menjadi benang merah dan kekuatan pemersatu adalah penghormatan terhadap sesama manusia dan lingkungan, sebagaimana tercermin dalam prinsip “someah hade ka semah” dan “alam takambang jadi guru”. Nilai-nilai inilah yang menghidupkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, bahwa dalam keberagaman terdapat kesatuan rasa dan cita. Dengan saling memahami dan merayakan perbedaan, kita bukan hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga merawat jati diri bangsa. (F.S.Y./BJN).
***
Judul: Dua Tradisi, Satu Nilai: Menjaga Warisan Budaya dalam Perbedaan
Penulis: Febri Satria Yazid, pemerhati sosial.
Editor: Jumari Haryadi
Catatan:
Tulisan berjudul “Dua Tradisi, Satu Nilai: Menjaga Warisan Budaya dalam Perbedaan” ini bisa juga Anda baca di blog pribadi penulisnya ”Febrisatriayazid.blogspot.com” dan atas seizin penulis diterbitkan kembali di BERITA JABAR NEWS (BJN).