Cerpen “Rasa yang Tepat di Tempat yang Tak Tepat”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Cerpen berjudul “Rasa yang Tepat di Tempat yang Tak Tepat” ini merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama nama pena “Violet Senja”.
Rani adalah seorang wanita matang dan dewasa. Ia menikah pada usia belia Itu adalah pilihan hidupnya sehingga kini telah memiliki dua orang anak, putra dan putri yang sudah remaja.
Kepergian sang suami untuk selama-lamanya membuat Rani menjadi single parent. Mau tidak mau, demi masa depan kedua putra-putrinya, ia harus memperjuangkan mereka.
Anak-anak Rani yang mulai beranjak dewasa kerap kali berkumpul dengan komunitasnya. Bisa dibilang kebersamaannya dengan darah dagingnya pun jadi berkurang.
Merasa sendiri? Iya! Kesepian? Pasti! Ada keinginan untuk memiliki teman bercerita yang mau mendengarkan keluh kesah tentang beratnya beban hidup.
Wanita berusia 35 tahun itu tengah menata hati, perasaan, dan jiwanya agar tetap baik-baik saja di tengah gempuran permasalahan hidup yang ia hadapi sendiri. Bahkan, sempat tersirat dalam benaknya untuk mencari pengganti sang suami. Namun, apakah itu mungkin?
Satu ketika Rani bertemu dengan laki-laki dewasa yang tak lain adalah tetangganya sendiri. Selama ini laki-laki itu secara diam-diam memperhatikannya.
Bak gayung bersambut, kedekatan di antara Rani dan laki-laki itu pun terjalin. Komunikasi demi komunikasi terasa begitu menyenangkan dari hari ke hari, meski ia tahu kalau laki-laki itu sudah beristri.
Laki-laki bernama Wisnu itu selalu ingin tahu lebih dalam tentang Rani. Hal itu membuat Rani merasa memiliki teman untuk bercerita. Bahkan berkeluh kesah sehingga kenyamanan pun mulai tercipta.
Predikat suami orang terkadang membuat Rani berpikir, apakah ia harus melanjutkan semuanya? Rasa hati menolak semua tindakannya, tetapi mulutnya enggan untuk berkata tidak.
“Mah, tadi aku melihat mamah sama Om Wisnu deh,” celetuk Dinda, sang putri pada waktu itu.
“Ah, salah orang mungkin,” jawab Rani menutupi kegugupannya.
“Benar kok, mataku masih berfungsi dengan baik,” timpal Dinda seraya beranjak meninggalkan sang bunda.
Diam-diam Rani pergi ke kamar hendak menelpon Wisnu dan menceritakan apa yang baru saja dikatakan Dinda.
Rani baru saja ingin mengambil smartphone di atas nakas sisi tempat tidur, panggilan video call dengan nama Wisnu tertera di layar kaca smartphone miliknya. Rani pun segera menjawab panggilan video call tersebut.
“Hi…,” terdengar suara sapaan dari laki-laki di seberang sana dengan senyum yang menggoda.
Rani hanya membalas dengan senyum termanisnya.
“Apa kabar suami orang?” Canda Rani membuka percakapan.
Laki-laki yang disapa seperti salah tingkah dan tak enak hati hingga akhirnya mengalihkan pembicaraan. Belum sempat sampai pada topik pembicaraan yang sudah tersusun rapih dikepala, tiba-tiba terdengar suara aneh seperti benda jatuh dan panggilan pun terputus.
Sejak saat itu tidak ada kabar apapun dari Wisnu. Pikiran Rani tak lagi tenang. Hari-hari pun ia lalui tanpa semangat. Rani seperti kehilangan mood booster dalam kehidupannya. Kenyamanan yang selama ini ia rasakan berganti dengan resah yang menganggu hari-harinya.
Notif message berbunyi dari smartphone yang sejak tadi dalam genggaman Rani.
“Maaf, Miranda merampas handphone-ku dan membantingnya. Nanti aku kabari setelah membeli handphone baru,” Hanya pesan itu yang Wisnu kirim disertai emot kiss dan emot tangan meminta maaf.
Rani tidak membalas pesan itu. Sebagai wanita dewasa Rani sudah tahu benar apa yang terjadi di sana.
***
Hari ini seperti biasa Rani pergi bekerja dan Wisnu menunggu di persimpangan jalan yang biasa dilewati Rani. Tidak berapa lama Rani muncul hendak menunggu taxi online yang sudah dipesannya.
“Rani!” Panggil Wisnu sambil melambaikan tangan ke arah Rani dan memajukan kendaraannya, sedan warna silver metalik, lalu berhenti di hadapan Rani.
“Ayo masuk,” ajak Wisnu seraya membuka pintu mobil.
Rani membungkukkan badan agar dapat melihat ke dalam mobil, “Aku sudah order taxi online.”
“Tidak masalah, bisa cancel kan?” Ujar Wisnu.
Rani menoleh ke kanan dan kekiri memastikan tidak ada yang melihatnya, lalu ia masuk ke dalam mobil. Wisnu segera menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Sementara tangan kanannya mengendalikan setir, di sisi lain tangan kirinya terus menggenggam tangan Rani.
Sebenarnya ada keinginan Rani untuk menarik tangannya dari genggaman Wisnu. Namun, ia merasa nyaman sehingga membuatnya bertahan dan membiarkan hal itu terjadi. Keinginan yang bertentangan dengan hati dan tindakan. Ia terus mengikuti alur permainannya meski tidak tahu seperti apa akhir dari semua ini.
Walau bagaimanapun Rani seorang wanita yang pernah memiliki suami. Ia bisa merasakan apa yang dipikirkan istri Wisnu. Namun, apalah daya hati sudah terpaut, sosok Wisnu sudah menguasai jiwa dan egonya hingga mengalahkan logika.
“Bagaimana keadaan Miranda?” Tiba-tiba Rani bertanya tentang kondisi istri Wisnu.
“Ya, seperti wanita pada umumnya jika sedang marah,” ucap Wisnu sambil tersenyum menoleh ke arah Rani.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Rani.
Wisnu menarik napas berat seperti banyak beban yang bertengger dalam pikirannya. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Rntah apa yang ada di kepalanya saat ini.
“Aku tidak bisa membayangkan jika Miranda tahu bahwa wanita yang membuatnya seperti ini adalah aku,” lanjut Rani seraya menarik tangan dari genggaman tangan Wisnu.
Miranda adalah sahabat Rani sejak mereka sekolah di tingkat menengah atas. Meski tidak terlalu dekat, tetapi komunikasi mereka cukup baik. Terkadang Miranda sedikit mencurahkan isi hatinya kepada Rani, apalagi saat ini mereka sudah berkeluarga dan menjadi tetangga dalam satu komplek perumahan.
“Sebaiknya mungkin kita tidak perlu dulu berkomunikasi lewat apapun,” Rani terus berbicara sementara Wisnu hanya diam.
“Aku tidak bisa,” jawab Wisnu cepat.
“Lalu?” Balas Rani.
“Bagaimana mungkin aku bisa tenang jika kita tidak ada komunikasi?” Ujar Wisnu setengah bertanya.
“Apa dengan komunikasi kita bisa menyelesaikan masalah?” Kata Rani lagi.
“Setidaknya aku tidak terus memikirkan kamu dan bisa mencari jalan keluar,” papar Wisnu.
“Bulsyit…!” seru Rani pelan seraya membuang pandangan ke arah luar jendela mobil.
Wisnu hanya melirik Rani dengan ekor matanya, setelah itu ia kembali fokus mengendarai mobil. Tanpa Rani sadari, Wisnu menghentikan mobilnya persis di depan kantor tempat Rani bekerja.
“Kenapa berhenti?” Tanya Rani.
Wisnu tidak menjawab. Hanya gerakan matanya menunjuk ke arah gedung perkantoran dan diikuti oleh Rani.
“Oh, sudah sampai,” ucap nya sedikit malu.
Aksi Rani yang malu-malu itu membuat Wisnu semakin gemas melihatnya. Sebelum Rani benar-benar keluar dari mobil, Wisnu menarik tangan Rani membuat Rani terkejut dan terjembab dalam pelukan Wisnu. Seketika Wisnu mencuri kecupan di ujung kepala Rani.
“Jangan pikirkan masalah aku dan Miranda, itu hanya akan menjadi urusanku. Kamu cukup menjadi Rani dalam hati aku dan jangan melakukan apapun di luar ekspekstasi,” ujar Wisnu seraya tangannya membingkai wajah Rani.
“Tolong jangan seperti ini. Jangan membuat aku jadi semakin menggila karena hal ini,” ungkap Rani seraya melerai tangan Wisnu dari wajahnya.
Rani keluar dari mobil dan masuk ke dalam gedung perkantoran tanpa menoleh lagi ke arah Wisnu.
Sepeninggalan Rani, Wisnu tidak lantas pergi. Ia mengeluarkan smartphone mencoba menelpon seseorang.
“Aaakh… sial…! masih belum bisa dihubungi,” teriak Wisnu yang berusaha menghubungi Miranda.
Wisnu menyugar rambutnya dengan kasar dan membanting tangannya di atas setir mobil, lalu mulai menjalankan mobil menuju kantornya.
***
Rani baru saja menyelesaikan pekerjaannya sebagai admin marketing di sebuah perusahaan developer. Baru saja ia hendak beranjak keluar untuk makan siang, tiba-tiba langkahnya terhenti dan mengalihkan fokusnya pada smartphone yang digenggamnya.
Nama Miranda tertera di layar ponselnya. Dengan perasaan tak karuan, Rani menerima panggilan Miranda.
“Halo… Ran?” Suara parau seorang wanita dari seberang sana.
“Iya, Mir… ada apa? Tumben,” sahut Rani seolah-olah tak terjadi apa-apa.
“Ada waktu tidak, aku ingin bertemu,” ujar Miranda.
“Wah, maaf Mir aku masih ada meeting siang ini,” jawab Rani mencari alasan.
Entah apa yang membuat Rani merasa takut bertemu dengan Miranda. Apa karena ia merasa bersalah? Atau takut kalau ternyata diam-diam Miranda tahu soal hubungan dirinya dengan Wisnu?
“Jadi tidak bisa siang ini? Kita bisa launch bareng loh,” sambung Miranda dalam sambungan teleponnya.
“Sepertinya lain kali saja Mir, aku benar-benar tidak bisa,” Rani kembali beralasan dan segera menutup pembicaraannya dengan Miranda, lalu melanjutkan niatnya untuk makan siang.
Wanita muda itu sedang menikmati secangkir kopi latte yang ia pesan setelah makan siang. Sesekali jemarinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Rani?” Sapa seorang laki-laki yang ternyata adalah Wisnu, “Sedang apa?” lanjutnya.
Rani tidak menjawab pertanyaan Wisnu. Ia berdiri hendak meninggalkan mejanya.
“Tunggu,” Wisnu mencekal lengan Rani, “Jangan seperti ini, kita bicara sebentar.”
“Jam makan siangku sudah selesai. Sekarang aku harus kembali ke kantor,” tegas Rani seraya melihat waktu di pergelangan tangannya.
Dengan paksaan Wisnu, Rani pun kembali duduk di kursi. Tatapannya jauh ke depan.
“Apa lagi yang harus kita bicarakan. Aku rasa semua sudah cukup. Dari sikap kamu, aku sudah dapat menyimpulkan,” ucap Rani tanpa menoleh ke arah Wisnu.
“Menyimpulkan apa? Jangan memberi keputusan sepihak. Itu tidak adil untuk aku,” timpal Wisnu.
“Terus menurut kamu semua ini adil untuk aku?” Jawab Rani, “Mungkin kita ditakdirkan hanya sebatas pernah bersama, kisah singkat yang tak kerap lengkap, kisah sementara yang tak berarti apa-apa.”
Wisnu menarik napas kasar. Sulit sekali baginya menaklukan dua wanita yang saat ini menempati hatinya, tanpa ia bisa memilih satu di antaranya.
“Tolong, mengerti posisiku?” Ucap Wisnu seraya menggenggam tangan Rani.
“Apa dengan mengerti posisimu lantas membuat kamu paham dengan persaanku?” Jawab Rani dengan emosi yang tertahan.
“Sampai detik ini kata-katamu membuat aku nyaman, tapi aku pun dibuat bingung dengan sikapmu. Sudah cukup aku mengikuti permainanmu,” lanjut Rani
Rani Berdiri hendak meningalkan Wisnu. Namun, pada saat bersamaan tampak Miranda melangkah mendekati mereka.
“Rani? Mas Wisnu? Apa yang sedang kalian lakukan disini?” Tanya Miranda sedikit heran.
“Hai sayang, kamu ada di sini? Tadi Mas selesai meeting kebetulan bertemu Rani,” ujar Wisnu sambil berusaha meraih tangan Miranda, tetapi istrinya itu cepat menepisnya.
Dengan jelas Rani mendengar dan melihat perkataan dan bahasa tubuh sepasang suami istri tersebut. Ada rasa nyeri yang menyelinap dalam hati Rani. Ingin rasanya saat itu juga ia berlari. Bahkan, berteriak untuk melepas himpitan rasa dalam hatinya.
Rani terus mengamati pasangan tersebut. Mainkan peranmu dengan baik, Wisnu. Akan aku nikmati semua pertunjukannya, gumam Rani
Kemudian secara diam-diam Rani berjalan keluar restoran, berusaha kuat meski rasanya begitu tercekat menahan tangis. Dalam hatinya Rani berkata, mencintai milik orang lain memang tidak bisa dibenarkan. Namun kita tidak bisa memilih disaat rasa yang tepat jatuh pada waktu dan tempat yang salah. Jangan cari aku lagi.
Wisnu mencoba menelpon Rani setelah ia membaca pesan WhatsApp. Namun, Rani sudah memblokir nomor kontak Wisnu di smartphon-nya.
Keputusan Rani untuk meniggalkan Wisnu adalah yang terbaik.
Ingat Rani kamu hanyalah peran pengganti disaat tokoh utama tidak ada. Sakit memang, rasanya tidak adil, tapi inilah takdir, gumam Rani dalam hati.
Rani pun menerima tawaran dari kantornya untuk mengelola cabang perusahaan di luar kota dan menetap disana. (Violet Senja).
***
Judul: “Rasa yang Tepat di Tempat yang Tak Tepat”
Pengarang: Violet Senja
Editor: JHK
Sekilas tentang pengarang
Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platfoam. Ia biasa menggunakan nama “Violet Senja” sebagai nama pena dalam setiap karya fiksinya.
Ibu dari satu orang putri dan satu orang putra ini juga merupakan seorang tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang sikotropika. Ia berkeinginan untuk terus menulis sampai usia senja, seperti motto hidupnya “Hidup hanya sekali dan jangan biarkan menua tanpa arti”.