Cerpen “Pergi untuk Pulang”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom SASTRA – Cerpen berjudul “Pergi untuk Pulang”merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama nama pena “Violet Senja”. Cerpen lainnya bisa Anda lihat di sini: “Anak Kopaja Sejati”, “Perempuan di Ujung Belati”, dan “Kupersembahkan Kenikmatan Terakhir untuk Bapak”.
PERGI UNTUK PULANG
Tak banyak yang dapat kuungkap dengan barisan kata, tatkala harus berbagi tentang sebuah perjalanan panjang yang membawaku ke berbagai pengalaman lahir maupun batin, di antara gelak beraroma duka, bertabur lara.
Kepergian berawal dari seseorang yang mengulurkan tangan bak malaikat. Memberikan asa di tengah jiwa yang mulai hampa, hingga aku tahu jika dia bukanlah sosok yang sempurna. Hanya sang penolong berhati garong.
Aku pergi mangawali sebuah perjalanan diiringi angin kota hujan yang membuat bulu romaku kian meremang. Tatapan manusia-manusia yang memandangku sebagai manusia setengah nyali. Aku tetap tegar setegar Gunung Salak yang berdiri kokoh di Kota Bogor Selatan.
Kenyamanan Kota Bandung menawarkan aku untuk singgah, entah untuk berapa lama. Aku sedang tidak ingin berpikir kala itu. Langkahku menju sebuah kos-kosan berlatai tiga di daerah Jalan Pangarang. Banyak waktu yang kuhabiskan sendiri di rooftop, merasakan desiran angin, memandang city light Kota Bandung sambil ditemani secangkir kopi yang selalu dingin sebelum aku meneguknya.
Ternyata benar seperti apa yang di katakan orang-orang kalau kota ini diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum. Namun, Kota Bandung ini bukan tujuanku. Meski lelahku terobati dengan segala keramahan dan kenikmatan yang memanjakan mata dan lambungku.
Pagi ini aku menyusuri sepanjang Jalan Asia Afrika, lalu singgah dan duduk sebentar di bangku sisi jalan, menyaksikan lalu-lalang manusia sibuk dan kendaraan yang cerewet dengan kelaksonnya. Ah! Aku bagaikan manusia bodoh di mata orang-orang waras.
“Punten, Teh, boleh ikut duduk,” aku menoleh ke asal suara, laki-laki kurus berkulit hitam dengan rambut gondrong diikat ke belakang.
“Tempat umum, bebas,” ucapku acuh tak acuh seraya membetulkan kapucon hoody yang menutupi hijab sprotku.
“Tinggal di daerah sini?” Tanyanya.
“Singgah,” jawabku singkat.
Kulihat laki-laki itu manggut-manggut. Entah apa yang ia pikirkan. Aku memperhatikan tas ransel hitam yang dibawanya. Penuh sekali barang-barang di dalamnya.
“Saya seniman jalanan, pelukis,” ucap laki-laki itu sambil tersenyum lebar.
“Owh.” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
Aku berlalu begitu saja, meninggalkannya tanpa kalimat pamit terucap dari mulutku. Mungkin jika aku menoleh ke belakang akan kusaksikan tatapan anehnya melihatku, seakan aku makhluk yang bukan berasal dari planet bumi.
Baru saja aku memilih novel bekas yang di jajakan di pinggir jalan. Kembali kulihat makhluk yang kemarin cerewet di hadapanku. Sepertinya dia baru saja melukis seorang wanita yang menggunakan pakaian olahraga.
“Eh! si Teteh, ketemu lagi. Senang baca ya?” Tanyanya.
“Memangnya kamu lihat saya sedang membaca?” Aku bertanya balik.
“Ya, nggak cuma liat itu, lagi pegang buku,” jawab seniman itu seraya cengengesan.
“Teteh, mau dilukis?” Lanjutnya.
Mataku membulat.
“Owh, jadi kamu mau aku duduk di hadapanmu dan kamu terus memperhatikan detail tubuhku dengan alasan mencari obyek untuk dilukis? Modus sekali!” Kataku dengan nada sedikit sinis.
Aku melihat laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian menyerahkan satu lembar kertas kearahku.
“Apa?”
“Jangan marah dulu, mana tahu, situ membutuhkan,” ucap Laki-laki itu.
Aku membaca sebuah selebaran kertas berwarna biru, flayer lowongan pekerjaan di Pulau Bali. Otakku seketika bekerja dan kembali berlalu meninggalkan sang pelukis jalanan tersebut.
“Thank you yaaaa!” Teriakku setelah berada jauh darinya, sambil melambaikan kertas yang ia berikan di tanganku.
Lalu aku menghubungi beberapa teman aktivis yang biasa melanglang buana ke beberapa provinsi. Seorang Dokter merespon keinginanku. Dengan bantuannya aku pun mendapatkan tugas beberapa bulan di Badan Narkoba Provinsi (BNP).
***
Pulau dewata menjadi tujuanku kala itu, pulau yang memberikan asa di tengah dahaga dunia. Aku merasa menjadi manusia bebas yang tidak terkungkung dengan aturan dan peraturan.
Setelah purna tugasku sebagai aktivis. Aku terdampar dalam udara kelam Pulau Dewata, di antara insan-insan pecundang, tanpa arti. Angin yang kian melemah mengalah di terpa remang malam yang kian kelam.
Tangisku pecah bersama deburan ombak pinggir pantai. Pasir hitam Pantai Lovina menjadi saksi gundahnya sebuah asa yang kian tak pasti. Ulah mamalia cantik nan bersahabat menjadi satu-satunya hiburan dan membuatku tersenyum di bawah sunrise.
Perjuangan hidup yang penuh dengan duka dan air mata, kini mulai kurasakan. Luka lama yang masih menganga harus kubalut dengan perban asa dan cita. Aku harus bangkit dan berdiri di sebuah pulau yang terhampar lautan lepas, jauh dari belaian seorang ibu yang selalu kurindu.
Setapak demi setapak jalan kulalui diatas segala duka dan suka yang mewarnai perjalanan hidupku, sebagai insan yang tak luput dari salah dan dosa. Hanya satu harapan, kedua orang tua bisa hidup mapan tanpa kekhawatiran dan duka dunia.
Hingga akhirnya kesuksesan bukanlah lagi sekadar mimpi, meski aku tidak tahu berada di tingkat mana kesuksesan yang kuraih kini. Semua mimpi perlahan menjadi nyata. Semua keinginan bisa kudapatkan dan aku telah siap untuk pulang.
Ada setitik kesombongan terselap di antara segumpal daging dalam dada. Kesombongan yang tidak sepantasnya kubawa pulang karena sejatinya kesombongan hanya milik sang Pencipta dan aku tidak ingin mengundang murka-Nya.
Perjuangan menuju pulang telah kulalui. Kini harapan telah berada dalam genggaman. Ilmu yang kuperoleh dalam universitas kehidupan melalui panjangnya sebuah perjalanan telah kulewati.
Kedua orang tua telah menanti diri ini kembali. Para tetangga akan mengenang si anak malang kini kembali dengan mewujudkan segala mimpi yang mereka anggap mustahil.
Tak terasa air mata mengalir di pipi, tak kuasa meninggalkan tempat yang telah banyak memberiku pelajaran dalam meniti perjalanan yang tak mudah. Namun, aku harus tetap pergi. Menyelesaikan akhir dari perjalanan hidup dengan menyempurnakan iman, hingga di akhir kehidupan karena di sanalah tempat pulang keabadian tanpa akhir. Tidak harus memikirkan kesuksesan dunia beserta isinya. (Violet Senja).
***
Judul: “Pergi untuk Pulang”
Pengarang: Neneng Salbiah
Editor: JHK
Sekilas tentang pengarang
Wanita bernama lengkap Neneng Salbiah ini lahir di Kota Hujan, Bogor, pada 2 Juni 1978. Ia aktif menulis artikel dan novel di berbagai platform media online. Tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang psikotropika ini juga merupakan seorang ibu rumah tangga, ibu dari satu orang putri dan satu orang putra.