Berita Jabar NewsBJNCerpen

Cerpen “Lima Detik yang Membuat Pilu”

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom SASTRA, Rabu (04/06/2025) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Lima Detik yang Membuat Pilu” ini merupakan karya original dari Diantika IE, seorang penulis dan pengarang asal Ciamis, Jawa Barat. Ia juga aktif sebagai Ketua Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Indonesia.

Hanya lima detik netra Nilam berpapasan dengan manik mata hitam milik Rusyda, sesaat setelah dirinya memakai sandal di pelataran masjid. Orang-orang berhamburan keluar dari masjid dan menuju rumah masing-masing. Masjid mulai kosong, gelaran salat Idul Fitri dan salam-salaman baru saja selesai dilaksanakan.

Tatapan yang pernah membuatnya luluh lantak waktu itu, kini ditemukan kembali. Setiap kali tidak sengaja saling pandang, Nilam merasa tubuhnya akan ambruk seketika. Sama seperti dulu, ketika ia masih remaja, padahal saat itu ia sangat ingin bertegur sapa. Apa daya, bibirnya mendadak bisu. Semua kata yang ada di kepalanya sontak sirna seketika.

Diantika IE
Diantika IE, Pengarang – (Sumber: Koleksi pribadi)

Pesona Rusyda sang pemuda kampung yang paling tampan dan berkharisma itu memang tiada habisnya, termasuk hari ini. Senyum manis Rusyda masih sama seperti dulu, legit dan bikin gadis mana pun jadi kepincut sehingga membuat hatinya langsung terpaut. Rusyda yang sudah berusia kepala tiga, tidak pernah kehilangan kharismanya.

“Mbak, ayo!” suara Lastri mengagetkan Nilam sehingga membuat gadis manis itu gelagapan.

Sosok lelaki berbadan tinggi itu berlalu mendekati seorang perempuan yang berjarak lima langkah di samping Nilam. Perempuan cantik itu mengangguk sopan ke arah Nilam, lalu menggandeng lengan Rusyda dengan erat.

“Siapa itu namanya?” tanya Nilam setengah berbisik sambil menyikut lengan Lastri yang masih melongo menatap Rusyda dengan mulut terbuka lebar.

“Ah, yang mana?” jawab Lastri.

Nilam menunjuk ke arah perempuan cantik itu dengan dagu dan bibir yang dimonyongkan sedikit.

“Mbak Suci. Santri pondok yang berhasil menaklukkan hati Mas Rusyda. Uh, bikin iri ya?” Jawab Lastri dengan nada melas.

Oh jadi itu istrinya? Batin Nilam berkata.

Nilam menelan salivanya. Bukan hanya iri, tapi hatinya juga hancur lebur karena melihat Rusyda bersama perempuan lain. Pikirannya pun melayang ke belasan tahun lalu saat ia dan Rusyda masih usia remaja.

Saat itu Nilam masih duduk di bangku kelas 3 SMP dan Rusyda sudah kelas 3 SMA. Rusyda bersama temannya datang ke rumahnya malam minggu. Dengan begitu sopan lelaki itu meminta izin untuk bertemu Nilam kepada sang ayah yang kebetulan sedang ada di teras rumah.

Ayah Nilam yang memang disegani pemuda kampung bertanya, apakah tujuan mereka?

Tiba-tiba Bono yang berdiri di samping Rusyda menyampaikan sesuatu. Ayah Nilam mengizinkan Rusyda dan temannya itu masuk ke ruang tamu.

Nilam sedari tadi diam-diam mengintip dari balik tirai jendela segera berlari menuju kamarnya. Ia pura-pura tidak tahu atas kedatangan para pemuda itu.

Dengan degup jantung yang tidak karuan, Nilam memantaskan diri di depan cermin. Membetulkan ikat rambut yang terasa kendor. Merapikan poni, menggerai rambutnya, lalu mengikatnya kembali. Akhirnya ia menjawil pashmina panjang milik ibunya yang menggantung di belakang pintu. Lalu ia kembali ke cermin dan memutuskan memakai kerudung.

Ayah Nilam mengetuk pintu kamar dan memintanya menemui dua tamu itu

“Jangan lama-lama bertemu,” ujar Ayah Nilam sambil memberi kode dan Nilam pun mengangguk paham.

Seperti biasa jika ada tamu datang, Nilam menyuguhi air putih dan beberapa kudapan yang ada di rumah. Lastri berdehem, mengolok-olok kakaknya yang terlihat gugup. Ibunya hanya menggeleng dan beradu tatap dengan sang ayah yang tampak kurang suka anak gadisnya diapelin orang di usia yang terlalu dini.

“Kalau saja bukan anak pak Burhan, gak akan Ayah kasih masuk tuh anak,” keluh ayahnya pada sang ibu sambil duduk di sofa ruang keluarga.

**

Karena sudah naksir sangat lama kepada Rusyda, tentu saja kedatangan lelaki itu begitu menggembirakan. Siapa yang tidak bahagia jika rumahnya disambangi oleh pemuda paling tampan di kampungnya itu? Anak Pak Burhan, kiai yang dihormati sekaligus sebagai tetua di kampung mereka.

Rusyda Hasyim dikenal sebagai seorang pemuda tampan yang pintar mengaji. Siapa pun perempuan yang mendengar suara azan yang dikumandangkannya dengan indah di telinga, pasti akan langsung jatuh cinta. Bahkan, sebelum melihat paras wajahnya. Begitu pula Nilam yang baru saja beranjak dewasa. Ia tidak bisa menahan gejolak rasa yang tumbuh di dadanya. Entahlah, mungkin itu cinta monyet namanya.

Malam itu Rusyda berpakaian sangat rapi. Ia mengenakan kemeja biru muda, membuatnya terlihat sangat tampan, sedangkan Bono lebih memilih mengenakan kaos putih dan memadupadankannya dengan celana jeans warna biru.

Kan sudah biasa kalau yang mengantar pakaiannya jauh lebih santai, ujar Nilam dalam hati. Mereka pun ngobrol ngaler-ngidul membahas banyak hal, tidak terkecuali tentang sekolah Rusyda. Kebetulan lelaki itu bersekolah di ibu kota yang ditempuhnya bolak-balik dari desa setiap hari.

“Apa Mas Rusyda tidak lelah setiap hari menempuh perjalanan jauh?” Tanya Nilam dengan gugup.

Kalimat itu cukup panjang dan susah payah dirangkai Nilam sehingga akhirnya keluar juga.

“Tentu saja tidak. Kan Mas niatnya mau belajar. Nilam juga nanti harus punya keinginan untuk sekolah di sekolah yang jauh. Di kota sekolahnya punya fasilitas yang lebih lengkap. Semangat ya!” Ucap Rusyda yang membuat semangat Nilam berkobar-kobar sekaligus membuat jantungnya semakin berdebar.

Tanpa sadar, kalimat Rusyda itulah yang membuatnya selalu semangat belajar setiap harinya. Namun, setelah sekian lama ngobrol basa-basi dengan Nilam, Rusyda malah mempersilakan Bono, temannya itu untuk mengutarakan perasaannya kepada Nilam.

“Iya, Nilam. Aku ke sini mau memberikan pengakuan bahwa aku sebenarnya menyukaimu,” ujar Bono tanpa ragu.

Lelaki yang sebaya dengan Rusyda itu menyatakan perasaannya persis di depan orang yang Nilam sukai. Tentu saja hal ini membuat Nilam kecewa dan langsung tertunduk lesu.

Bukan, bukan Mas Bono yang Nilam suka! Teriak batin Nilam.

Nilam terus-terusan mengingkari kenyataan yang baru saja didapatkannya. Perempuan cantik itu melirik Rusyda. Mata mereka kembali bertatap. Jantung Nilam berdegup kencang. Gadis itu gelisah, bimbang berada di posisi yang serba salah.

“Oh gitu, terima kasih atas pengakuannya ya. Kita lihat ke depan. Nilam masih ingin pikir-pikir dulu. Kan Nilam baru mau masuk SMA beberapa bulan lagi, Mas,” jawab Nilam dengan nada yang penuh keraguan.

Hati Nilam kacau tak karuan. Ia tak habis pikir mengapa hal ini terjadi. Mengapa harus Bono yang menyatakan perasaannya? Nilam tidak berhenti mengutuk keadaan.

**

Nilam menghela napas panjang berkali-kali selepas dua pemuda itu meninggalkan rumahnya pukul delapan malam. Ia lalu mengunci diri di dalam kamarnya dan melewati malam yang terasa begitu panjang.

Perempuan desa itu tidak bisa memejamkan mata walau sekejap. Bayangan ekspresi Bono saat menyatakan perasaan, serta raut wajah Rusyda yang telihat tanpa beban membuat Nilam mengambil kesimpulan jika sebenarnya Rusyda memang tidak menaruh perasaan apa-apa kepadanya.

Lantas, apa arti tatapan Rusyda yang teduh itu untuknya? Apa Rusyda hanya menganggapnya sebagai adik kecil yang tidak menarik sama sekali? Atau mungkin Rusyda sudah memiliki teman dekat di sekolahnya?

**

Empat bulan kemudian, Nilam menerima Bono sebagai teman dekat. Kini ia sudah duduk di bangku SMA dan Bono sudah lulus. Nilam mulai mengerti tentang perhatian Bono yang semakin hari semakin mengisi hari-hari Nilam. Namun soal Rusyda, ia memang belum berhasil melupakannya.

Rusyda sendiri telah pergi ke kota, melanjutkan kuliah sambil berguru di sebuah pesantren besar pilihan orang tuanya. Kiai Burhan memang banyak kenalannya sesama ulama. Jadi ia bebas memilihkan pesantren bagi anak lelakinya itu.

Nilam menjalin hubungan selama satu tahun dengan Bono dan harus kandas begitu saja karena lama-kelamaan Nilam merasa tidak nyaman dengan perhatian yang diberikan Bono.

“Nilam tidak mau diatur, Mas. Nilam masih mau bebas main sama teman-teman sekolah. Mas Bono kalau mau pacaran serius sama cewek, nyari saja yang seumuran sama Mas sana,” ujar Nilam ketus.

**

Tahun berlalu, Nilam melanjutkan pendidikan ke luar kota. Sejak saat itu Rusyda tidak lagi terlihat di kampung halaman meskipun sedang musim libur kuliah. Setiap Nilam pulang kampung pun hanya kabar angin yang didengarnya.

“Rusyda sudah menjadi mursyid di sebuah pesantren,” orang-orang bilang begitu.

Entah kenapa, ada rasa bangga bercampur rindu yang semakin menggebu kepada pemuda itu setiap Nilam pulang ke kampungnya. Berharap jika suatu saat ia bisa kembali melihat wajah Rusyda.

Pernah suatu ketika, Nilam bercengkrama dengan adik dan orang tuanya. Lastri yang masih duduk di bangku SMA tiba-tiba nyeletuk, “Mbak, tahu gak? Aku dapat kabar tantang Mas Rusyda dari sepupu kita, Mas Sabik.”

Sontak Nilam terkesiap dan mulai memperhatikan perkataan adiknya itu.

“Saat ngeronda waktu itu Mas Rusyda ikutan ngeronda loh. Lalu secara tidak langsung ia curcol (curhat colongan) sama Mas Sabik. Katanya Mas Rusyda itu sebenarnya suka sama kamu dari dulu loh, Mbak. Cuma karena dia gak mau pacaran, jadi dia pendam dalam-dalam perasaannya itu,” ucap Lastri menjelaskan dengan penuh semangat.

Bagaikan tersambar petir. Langit terasa runtuh menyesakkan hati Nilam. Mengapa malah tahu dari orang lain tentang hal itu? Rasanya ingin menanyakan kebenaran kabar itu langsung kepada Rusyda dengan lisannya sendiri. Nilam yakin, kalau kali itu ia akan jauh lebih berani daripada ketika jadi bocah SMP dulu.

Namun kemudian kabar bahwa pemuda tampan itu akan segera menikah dengan gadis pilihan orang tuanya pun sampai di telinga Nilam. Seorang putri kiai di pesantren tempat Rusyda menuntut ilmu.

Mendengar kabar yang tidak enak itu, Nilam hanya bisa menelan ludah dan menyesali keadaan.

“Aku belum nikah loh, Mas Rusyda. Kenapa kamu gak bilang dari dulu? Apa karena aku bukan anak pesantrenan seperti calonmu itu?” gumam Nilam.

**

“Saya sama istri pamit dulu. Assalamualaikum, Nilam,” suara berat itu mengagetkan.

Rusyda pamit di hadapan Nilam yang masih bergeming kaku. Lelaki itu berlalu bersama Suci, meninggalkan Nilam dan Lastri yang mengantarkan kepergian mereka dengan tatapan mata yang penuh makna.

“Mereka pasangan yang serasi ya, Mbak,” goda Lastri.

“Diamlah!” Nilam beringsut sambil mengibaskan tangan Lastri dari lengannya, lalu bergegas pergi dengan langkah cepat.

“Ke mana, Mbak? Buru-buru amat?” teriak Lastri dari belakang.

“Mau nyusul Rusyda!” jawabnya ketus.

“Ha?”

“Ya nggak lah, masa iya. Hayu, opor di rumah keburu dingin,” teriak Nilam.

Lastri berlari menyusul kakaknya. (Diantika IE).

***

Judul: CerpenLima Detik yang Membuat Pilu”
Pengarang: Diantika IE
Editor: JHK

Sekilas tentang pengarang

Diantika IE merupakan nama pena dari Diantika Irma Ekawati, M.Pd. Perempuan yang terlahir dan besar di sebuah kota kecil Ciamis tersebut adalah lulusan dari jurusan PGRA (Pendidikan Guru Raudhatul Athfal) 2007 dan menyandang gelar Magister Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.

Saat ini Diantika IE masih dipercaya sebagai Pejabat (Pj.) Ketua Umum Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Pusat. Sebelumnya ia pernah memegang jabatan itu untuk masa bakti 2018-2020. Selain memiliki hobi menulis cerita pendek, novel, puisi, dan cerita anak. Ia juga memiliki kegemaran membaca, bercerita, dan mendongeng. Diantika memiliki segudang pengalaman sebagai pembicara di beberapa event kepenulisan.

Karya yang pernah dipublikasikan di antaranya buku kumpulan cerpen berjudul “Secarik PesanTerakhir yang merupakan buku tunggal perdananya, antologi cerpen, antologi puisi, tulisan tentang pendidikan Islam, dan novel berjudul “Handaru”.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *