Cerpen “Misteri Seorang Pria di Sofa Samping Jendela”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Misteri Seorang Pria di Sofa Samping Jendela” ini merupakan karya original dari Diantika IE, seorang penulis dan pengarang asal Ciamis, Jawa Barat. Ia juga aktif sebagai Ketua Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Indonesia.
Nyaris setiap hari aku menikmati udara pagi Kota Bandung di sofa yang letaknya persis di samping jendela rumahku. Kali ini cuaca tampaknya kurang bersahabat dan sedikit mendung. Angin dingin berembus lembut menelusup melalui celah jendela. Ini baru pukul enam pagi. Matahari yang biasanya sudah menyapa, kini masih sembunyi malu-malu di ufuk timur.
Minuman kopi yang disajikan oleh Nimas, istriku, begitu wangi. Asapnya mengepul, pertanda baru saja diseduh. Di sampingnya tersaji sepiring tape goreng bertabur gula putih kesukaanku. Sungguh kombinasi sarapan pagi yang begitu menggugah selera.
Nimas memang pandai memadu padan hidangan. Walaupun sederhana, setiap pagi ada saja ide kreatifnya untuk membuat lidah dan perutku bersorak kegirangan.
Di dapur, Nimas sibuk menyiapkan sarapan untuk anak-anak kami. Mereka wira-wiri antara kamar mandi, kamar mereka, meja belajar, dan rak sepatu secara bergantian.
“Ma, kaus kaki ade di mana ya?” Ujar Ade, anak bungsu kami.
“Sabuk kakak kok enggak ada ya Ma?” Tanya Kakak, anak kami yang tertua.
Hebatnya, Nimas selalu berhasil menjadi solusi dari setiap drama kehilangan barang anak-anak kami. Bahkan, termasuk aku juga.
Pagi yang indah. Nikmat mana yang dapat aku dustakan. Semuanya berjalan begitu sempurna. Rumah yang hangat, anak-anak yang saleh dan penurut. Juga istri yang baik dan selalu mengurus semua keperluanku.
“Mas mau sekalian sarapan juga?” Tanya Nimas dari dapur setengah berteriak mengejutkanku yang sedang asyik menikmati suasana pagi di sofa samping jendela.
“Nanti saja. Tape goreng buatanmu cukup mengganjal perut Mas sampai nanti siang kok. Kebetulan di kantor nanti ada meeting, pasti Mas dapat kudapan,” jawabku jujur.
Nimas pun kembali sibuk menyiapkan piring dan makanan di meja makan. Berulang kali ia memanggil nama anak kami satu per satu untuk mengajak mereka sarapan.
Sekitar pukul 06:30 semuanya pamit. Mereka secara bergantian menyalami dan mencium tanganku. Tak lupa kukecup kening itsriku sebelum akhirnya ia pergi membonceng kedua anak kami yang kebetulan bersekolah di tempatnya mengajar.
“Mas, nanti perginya hati-hati ya,” ujar Nimas padaku penuh perhatian dan kujawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum.
Sepeninggalan mereka, aku kembali duduk di sofa dekat jendela seperti tadi. Tempat ternyaman yang selalu menjadi tempat favorit ketika aku memiliki waktu senggang. Selain udara yang masuk dari halaman begitu segar, dari sana pula aku pertama kali melihat senyuman Nirina, keponakan tetanggaku yang sedang berkunjung ke rumah budeknya.
“Permisi,” terdengar suara merdu dari balik pintu.
Tanpa sengaja mata kami bertemu pandang di sana karena jendela terbuka cukup lebar. Senyumnya yang aduhai membuat jantungku berdegup kencang, padahal saat itu kami baru pertama kali berjumpa.
Aku membukakan pintu. Gadis itu berdiri tepat di hadapanku. Tubuhnya yang mungil, sangat lucu. Bajunya berwarna biru muda membuatnya terlihat begitu anggun. Tercium wangi parfumnya yang lembut menelusup hidungku, wangi yang tidak akan pernah aku lupakan.
“Permisi, Mbak Nimasnya ada?” tanya gadis itu.
Dengan gugup aku mempersilakannya masuk dan memanggilkan Nimas untuknya. Ternyata ia hanya bermaksud memberikan kue buatan budeknya yang dipesan Nimas untuk acara arisan.
Tanpa berani terlalu memperhatikan, aku kembali duduk di sofa samping jendela dan mengawasi Nirina yang sekejap pamit sampai punggungnya hilang dari pandanganku. Sejak saat itu, tempat ini selalu menjadi tempat favoritku.
Kejadian itu telah berlalu bertahun-tahun lamanya. Sofa dan jendela ini pun yang menjadi saksi betapa aku telah membiarkan getaran hangat yang menjalar dan tumbuh subur dalam hatiku, sejak pertama kali bertemu gadis itu.
Sekuat tenaga aku berusaha menepis perasaan tak wajar ini, berusaha untuk lebih tahu diri. Namun, ketika aku tahu ternyata Nirina adalah klien langganan di perusahaan tempatku bekerja, tanpa sadar aku menikmati setiap pertemuan di kantor dengannya.
“Nanti siang ada waktu?” Tanyaku ketika tidak sengaja berpapasan di lift lobi kantor.
“Oh, ada apa ya, Mas?” Jawabnya Nirina dengan senyumannya yang khas.
“Kalau Nirina tidak ada janji makan siang dengan siapa-siapa,saya mau ngajak makan sekalian kita bahas proyek kita,” jawabku.
Makan siang kali itu memang berjalan biasa saja. Kami benar-benar membahas tentang pekerjaan. Namun, setelah pertemuan itu, aku benar-benar susah tidur. Bayangan manis Nirina selalu menghantuiku hingga aku kembali bertemu pagi, tanpa memejamkan mata sedetik pun.
Hari-hari selanjutnya sosok Nirina adalah motivasi terbesarku untuk pergi ke tempat kerja dan mendapatkan pujian dari Nimas karena aku selalu bersemangat setiap harinya.
Sampai suatu hari Nirina meneleponku untuk sebuah pertemuan yang sedikit ganjil. Tidak ada proyek yang harus kami bahas, tetapi ia memintaku datang ke tempat yang tidak biasa.
“Jangan di tempat biasa, datang ke sini saja ya,” perintah Nirina dalam pesan singkatnya sambil menyisipkan informasi lokasi pertemuan kami.
Aku menemukan Nirina dengan mata sembab. Ia tampil tak seperti biasanya yang selalu ceria dengan senyuman. Aku bergegas mendekati dan duduk di sampingnya.
“Kamu kenapa?” Tanyaku heran.
Bukannya menjawab, Nirina malah menangis sesenggukan.
Aku hanya diam, memberikan Nirina ruang untuk meluapkan kesedihannya. Tanpa sadar, tanganku menyentuh lengannya, mencoba menenangkan.
Melihat Nirina menangis, seketika ada rasa perih di hatiku yang tak bisa kujelaskan. Belum pernah aku merasakan hal ini sebelumnya.
“Sudah bisa cerita?” Tanyaku ragu ketika melihat Nirina sudah sedikit tenang.
Nirina menyeka air matanya dengan tisu yang aku berikan. Ia lalu menghela napas panjang berberapa kali. Aku menunggu dengan degup jantung yang tidak karuan.
Ingin rasanya aku memeluk Nirina atau memberikan bahuku untuknya bersandar. Berbagi pedih dan apa saja yang mungkin bisa kulakukan untuk membuatnya merasa tenang.
“Tunanganku selingkuh, Mas. Aku dibohongi,” ucap Nirina dengan tangis yang kembali pecah.
Akhirnya aku tak bisa menahan diri untuk membiarkan Nirina menyandarkan kepalanya di bahuku.Tercium wangi rambutnya menelusup ke hidungku. Jantungku semakin berdegup kencang.
“Mas enggak tahu masalahnya apa. Namun, apapun itu, ceritakan pada Mas, jangan sungkan. Mas siap menjadi pendengar setia untukmu,” kataku mencoba menghibur gadis itu.
Entah kenapa kalimat itu begitu lancar kuucapkan. Nirina mengangguk, menghabiskan tangisannya di bahuku. Degup jantungku semakin kencang.
Selanjutnya ia menceritakan segala keluh kesahnya dan rasa kecewa yang didapatkannya. Anehnya, setelah aku mengetahui kebencian yang dirasakan Nirina untuk kekasihnya, aku justru begitu senang.
“Biarkan saja, lelaki seperti itu tidak pantas untuk perempuan sebaik kamu. Yakinlah, kelak akan ada lelaki yang benar-benar tulus mencintaimu,” ucapku dengan nada meyakinkan.
Ingin rasanya aku menambahkan sepotong kalimat bahwa lelaki yang mencintainya dengan tulus itu adalah aku.
Nirina mengangkat kepalanya sambil berkata, “Andai aku menemukan lelaki sepertimu, Mas. Satu lagi saja di dunia ini selain suaminya Mbak Nimas.”
Ucap Nirina diakhiri dengan tawa kecil yang menggemaskan yang membuat hatiku semakin tak karuan. Aku terkesiap. Mendadak hidungku terasa terbang.
“Nah gitu dong. Jangan nangis terus. Ntar cantiknya jadi,” kataku sembari menggoda Nirina.
Hari-hari selanjutnya berjalan dengan baik. Nirina sudah kembali ceria. Ada rasa percaya diri dalam hatiku bahwa kesembuhannya dari luka batinnya adalah karena kehadiranku di dekatnya.
DI kantor, banyak proyek pekerjaan yang goal karena kerja sama kami. Dengan begitu semakin banyak pula waktu yang kami habiskan bersama. Hubungan kami berdua semakin lekat, sampai akhirnya kami tidak ragu untuk mengekpresikan perasaan dan perhatian satu sama lain.
“Aku tidak mau kehilanganmu, Mas. Mbak Nimas pasti akan sangat sakit jika akhirnya tahu bahwa aku mencintaimu,” ucap Nirina pada tahun kedua hubungan gelap kami.
“Aku akan bicara dengan Nimas untuk menikahimu,” jawabku dengan mantap.
Nirina menyambutnya dengan wajah yang begitu ceria.
“Sungguh? Mas serius mau menikahiku?” Tanya Nirina setengah tak percaya.
Aku mengangguk meyakinkan gadis itu.
“Mas sudah tidak bisa lagi membunuh perasaan ini untukmu. Mas sudah bulat ingin segera menikahimu,” jawabku pada Nirina dengan mantap.
“Tapi Mbak Nimas nanti bagaimana?” Balas Nirina dengan pertanyaan yang tak mudah kujawab.
“Beri aku kesempatan untuk menyampaikannya pelan-pelan ya,” bujukku dengan sura lembut.
Seketika bayangan wajah Nimas menghantuiku. Terbayang sudah bagaimana hancurnya perasaan perempuan yang telah kunikahi melalui perjodohan orang tua kami itu. Namun, cintaku kepada Nirina tidak mudah kubunuh. Pun tak sanggup jika ternyata Nirina harus kembali terluka oleh lelaki yang sangat dicintainya dan nyatanya itu adalah aku.
Bulan dan tahun berlalu. Nyatanya aku tidak pernah berhasil menyampaikan maksudku kepada Nimas. Semakin hari semakin kurasakan cintanya begitu tulus padaku.
“Mas adalah lelaki pertama yang Nimas cinta. Terima kasih atas kebaikan Mas selama delapan tahun pernikahan kita ini ya,” ujar Nimas di malam aniversari pernikahan kami; pernikahan yang tidak pernah aku inginkan.
Tahun berlalu, usia pernikahan Aku dan Nimas semakin bertambah. Anak-anak semakin besar. Di sisi lain kondisi Nirina sudah tidak lagi bisa bersabar seperti dulu. Semakin hari ia semakin gusar.
“Kapan Mas menikahiku?” pertanyaan yang sering diulang-ulang Nirina setiap kali kami bertemu.
Pertanyaan gadis itu tak pernah bisa kujawab dengan jawaban yang membuatnya puas. Setelah itu, Nirina perlahan menghilang dan tidak lagi menghubungiku.
Akhirnya di sofa samping jendela ini pula aku membaca pesan singkat darinya berisi sebuah kabar bahwa ia akan menikah dengan pria yang dipilihkan orang tuanya.
Tepat sepuluh bulan lalu, aku menangis sesenggukan di sofa ini. Menyesali nasib, menyalahkan takdir. Aku mencintai seseorang, tetapi aku terbelenggu oleh ikatan sakral yang sengaja dibuat oleh orang tua dengan dalih perjodohan.
Aku mencintai seseorang, tetapi ia malah dijodohkan dengan orang lain yang belum tentu memiliki cinta sebesar yang aku berikan padanya.
Apa kabar Nirina? Sudah lama mata ini tidak melihat lagi senyummu. Telingaku rindu mendengar suaramu yang serupa kidung merdu. Saat gebu rindu ini begitu membuncah, haruskah aku mengantarkannya padamu yang entah ada di mana? Nirina, kau benar-benar membuatku setengah gila.
Ponselku berbunyi, sebuah pesan singkat dikirim istriku, “Mas sudah berangkat? Kok belum ngabarin. Nimas sudah mau ganti kelas ini.”
Lamunanku buyar seketika. Aku mengusap wajah berkali-kali seraya mengucap istigfar. Mencoba mengembalikan kesadaran diri.
Aku banyak belajar dari Nimas bahwa hidup bukan tentang apa yang kita inginkan, tetapi semua tentang apa yang sedang dijalani.
Nimas yang memiliki cinta seluas samudera dan anak-anak kami yang tumbuh dengan baik adalah hal yang sangat wajib aku syukuri hari ini.
“Sebentar lagi. Selamat mengajar ya,” kukirim pesan itu dan dibalas emoticon love berwarna merah dari Nimas.
Aku tidak akan pernah menyia-nyiakanmu Nimas dan untukmu Nirina, aku sangat merindukanmu. (Diantika IE).
***
Judul: “Misteri Seorang Pria di Sofa Samping Jendela”
Pengarang: Diantika IE
Editor: JHK
Sekilas tentang pengarang
Diantika IE merupakan nama pena dari Diantika Irma Ekawati, M.Pd. Perempuan yang terlahir dan besar di sebuah kota kecil Ciamis tersebut adalah lulusan dari jurusan PGRA (Pendidikan Guru Raudhatul Athfal) 2007 dan menyandang gelar Magister Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
Saat ini Diantika IE masih dipercaya sebagai Pejabat (Pj.) Ketua Umum Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Pusat. Sebelumnya ia pernah memegang jabatan itu untuk masa bakti 2018-2020. Selain memiliki hobi menulis cerita pendek, novel, puisi, dan cerita anak. Ia juga memiliki kegemaran membaca, bercerita, dan mendongeng. Diantika memiliki segudang pengalaman sebagai pembicara di beberapa event kepenulisan.
Karya yang pernah dipublikasikan di antaranya buku kumpulan cerpen berjudul “Secarik PesanTerakhir” yang merupakan buku tunggal perdananya, antologi cerpen, antologi puisi, tulisan tentang pendidikan Islam, dan novel berjudul “Handaru”.
***