Berita Jabar NewsBJNCerpenSastra

Cerpen “Joe, si Lelaki Berseragam”

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra, Sabtu (28/12/2024) – Cerita pendek (cerpen) berjudul Joe, si Lelaki Berseragam”  ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko,  seorang penulis dan pengarang, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.

Lelaki itu tengah bergegas menuju kantornya. Telapak tangan kanannya berulang kali menepuk kening. Dia sedang memeras otak mengingat-ingat apalagi yang masih kurang. Dia tidak mau mengulang lagi kejadian beberapa waktu lalu, sudah separuh jalan menuju tempat kerja, ternyata seragamnya belum lengkap. Belum ada tanda nama di atas saku kiri.

Akhirnya lelaki yang baru menginjak umur tigapuluh itu terpaksa balik lagi ke rumah mengambil dan memasang tanda nama di baju seragamnya. Sebuah pemborosan waktu, tenaga, dan biaya. Dia kesal, mangkel, dan marah pada dirinya sendiri.

Semenjak kejadian itu, sebelum berangkat dia berusaha memastikan tidak ada kelengkapan kerja dan seragam yang terlewati. Dipegangnya kepala, ada topi. Dirabanya saku kanan, ada papan nama. Ditelisiknya satu persatu kancing baju dari atas turun ke bawah, memastikan semua kancing terpasang rapi.

Tidak berhenti di situ, disentuh pinggangnya ada sabuk besar hitam melilit ketat di perutnya. Sabuk yang disebut juga kopel itu tampak pas memberi batas bagian atas dan bawah tubuhnya. Ke bawah lagi ada sepasang sepatu di kakinya, walaupun lawas, tapi bersih dan mengkilap.

Ketika semua sudah siap, lelaki itu lalu berpamitan pada istrinya sambil mengulurkan tangan kanannya, “Aku berangkat kerja ya Mah.” kata lelaki itu, si suami menggelengkan kepalanya, “Lengkap Mah,” lalu istrinya dengan hikmat  mencium tangan suaminya, “Iya Pah, hati-hati di jalan.”

Disusul suara khusyuk bibir mungil si sitri melafalkan doa, “Ya Allah ya Tuhanku, lindungilah suamiku. Bimbinglah dia agar selalu ada di jalan-Mu, jalan yang Engkau ridhoi,” suaminya menimpali, “Aamiin ya Allah.”

Mengiringi perjalanan suaminya bekerja, perempuan itu masih terus berdoa dengan tetap khusyuk, “Ya Allah, lindungilah suamiku dari perbuatan terlarang. Kalaupun ada kesempatan korupsi, jangan biarkan dia gunakan kesempatan itu.”

Doa itu selalu dipanjatkannya karena pernah melihat informasi di TV yang menyatakan bahwa pada dasarnya orang akan korupsi asal ada niat dan mendapat kesempatan. Oleh karena itu dia juga berdoa mohon  perlindungan, “Ya Allah, kalaupun suamiku punya niat korupsi, hapuslah niat buruk itu sekarang juga. Jangan biarkan dia mewujudkan niat itu.”

Tidak berhenti sampai di situ, doa perempuan itu diteruskan dengan, “Ya Allah, aku yakin, tanpa korupsi rizki-Mu sangat melimpah dan cukup untuk hidup kami.”

Perempuan ini yakin, berapa pun penghasilan suami yang penting membawa berkah, membawa mereka lebih dekat pada Allah. Istri yang tampak saleha ini tak henti-hentinya  bersyukur dengan kehidupan yang dijalaninya bersama suaminya. Dia bertambah bersyukur setelah mimpinya untuk memiliki suami lelaki berseragam, terwujud.

Sebelumnya, keluarga perempuan itu menentang keras, tapi dia tetap keukeuh dengan mimpinya bersuami lelaki berseragam. Kakaknya pernah bilang, “Makan tuh seragam, memang hidup cukup hanya dengan pakai seragam.”

Kakak yang lain juga ngomong, “Apa sih yang diharapkan dari orang berseragam? Mereka itu hanya bikin susah.”

Adiknya pun ikut nimbrung, “Kakak itu cantik, kenapa enggak cari suami dokter saja?”

Banyak lagi komentar lain sehingga telinganya terasa penuh dengan suara tentangan. Hanya nasihat ibunya yang menguatkan. Kata ibunya, “Mau berseragam atau tidak, kalau kamu yakin itu cocok untuk menjadi pendamping hidupmu, jalani saja Nak.”

“Iya Bu, terima kasih. Mohon doanya,” jawa perempuan itu lembut.

Ibunya malah ngomong, “Itu Bapakmu bukan orang berseragam, nyatanya kita hidup pas-pasan saja kan?”

Kini dia sudah menjadi istri Joe, lelaki yang amat dia cintai. Lelaki berseragam.

***

Saking begitu gembiranya mendapat jodoh lelaki berseragam, sampai-sampai saat pertama kali melihat Joe berseragam, seharian dia tidak makan, dari pagi hingga sore perut rasanya kenyang terus.

Istri Joe menceritakan rasa sukanya itu ke Bu Cipto, tetangganya. Tak disangka, ternyata dinding rumah Bu Cipto dipenuhi foto-foto anak lelakinya yang tampak gagah mengenakan beraneka warna seragam.

Si tetangga ini juga berbagi cerita. Katanya, “Anak saya sedari kecil suka baris-berbaris. Kalau ada lomba gerak jalan pasti dia ikut,” lalu dilanjutkan, “Ketika SMA, dia ikut seleksi menjadi Paskibra Kabupaten, tapi tidak lolos. Anak saya kecewa sekali, kasihan, padahal hanya kurang tinggi badan satu sentimeter saja.”

“Hanya kurang satu senti?” Sahut istri Joe heran, lalu, “Jangan-jangan… ah,” kalimatnya tidak diselesaikannya sehingga membuat si tetangga menjadi penasaran.

Lain lagi cerita tetangga di seberang rumah. Di dinding ruang tamunya ada tiga foto ukuran besar berbingkai indah ditempel berjejeran. Masing-masing terpampang foto anak-anaknya sedang beraksi dengan seragam lengkap. Orang tua bangga  anak-anaknya menjadi orang berpangkat, terhormat, dan berwibawa.

Pernah suatu hari si tetangga ini menawari ke istri Joe, “Kalau ada masalah, apapun masalahnya, silahkan beritahu saya, mungkin anak saya bisa bantu.”

Sayangnya istri Joe itu perempuan awam yang tidak terlalu paham arti simbol-simbol yang menempel di pakaian seragam. Baginya, apapun warnanya, apapun pangkatnya, apapun corak baju dan celananya, tidak begitu penting. Di matanya orang berseragam itu tampak gagah.

Istri Joe semakin senang, walaupun berseragam, tetapi suaminya tidak sok-sokan dan tidak tinggi hati. Joe juga tidak gila hormat, tapi malah pandai bergaul dan ringan tangan membantu siapapun yang memerlukan. Lelaki kekar ini juga tidak suka main pukul, apalagi main tembak. Menyembelih ayam pun dia tidak tega.

Joe yang kekar dan istrinya yang lembut tampak harmonis dan serasi sebagai sejoli suami istri. Keserasian mereka tampak alami, tanpa basa-basi dan tidak dibuat-buat. Setiap pagi kemesraan mereka terlihat ketika istri mengantar Joe berangkat dan sore saat menyambut Joe pulang kerja.

Ketika sore tiba, istri Joe duduk di emperan depan rumah menunggu suaminya pulang. Dia sudah tampil rapi dan harum. Dalam beberapa menit istri Joe mulai gelisah. Berulangkali bangkit dari duduk lalu berjalan beberapa langkah dan kembali duduk. Resah menunggu.

Ternyata Joe pun demikian. Dia ingin secepatnya sampai ke rumah ketemu istri. Ditariknya gas kuat-kuat, tapi motor tua itu tidak mau diajak cepat, maka dengan laju kecepatan seadanya, Joe berusaha segera sampai rumah.

Hati suami-istri itu bagaikan baru akan bertemu lagi setelah berjauhan, berpisah berbilang tahun. Pada saat-saat istri menunggu suami pulang dan saat-saat suami bergegas berjalan pulang, jarum jam terasa begitu lama berputar dan sepeda motor begitu lambat berjalan.

Tidak ada suara lain semerdu suara sepeda motor tua suaminya mendekat. Semakin keras suara knalpotnya, semakin dekat suaminya, semakin cerah air muka istri Joe. Dia bangkit dari duduk, mengibas-ngibaskan gamisnya, lalu bergegas ke pelataran bersiap menyambut kekasih hatinya.

Benar saja, Joe datang lalu memarkir sepeda motornya. Diulurkan tangannya dan disambut ciuman di punggung tangannya. Bergandengan tangan, mereka berdua masuk rumah.

Mereka duduk berdua berhadapan di meja serba guna. Joe minum kopi panas dan istri minum air putih sambil menikmati camilan. Mereka saling bertukar cerita hari itu diselingi ketawa, senyum, dan berha-ha-ha-ha bersama. Rumah mungil itu terasa hidup.

Joe cerita, “Hari ini aku kerja kayak dijemur di bawah matahari Mah, panas dan gerah.”

Istrinya menimpali, “Iya, tadi saat Papah pulang aku mencium bau sengatan panas matahari.”

Joe menarik nafas dalam, lalu meneruskan, “Iya, keringat juga bercucuran, soalnya kadang aku harus lari ke sana-kemari, supaya keluar masuk kendaraannya lancar Mah.”

Ditambahkannya cerita perilaku orang yang menaruh kendaraan seenaknya sendiri, melanggar rambu larangan. Joe mengingatkan istrinya bahwa dia bukan lagi mengeluh, tapi sekedar cerita saja. Istrinya menganggukkan kepala dan menyahut, “Iya Pah, yang penting kerja dengan ikhlas, semua jadi terasa ringan.”

Joe menjawab, “Iya, semua harus disyukuri, termasuk penghasilan hari ini Mah. Alhamdulillah hari ini yang parkir cukup ramai, aku bisa bawa pulang uang lumayan banyak niih.”

Lalu Joe memberi satu kantong tas kresek yang penuh uang pecahan seribu dan dua ribu rupiah. Uang recehan tersebut dia terima dari para pengendara sepeda motor dan mobil yang menitipkannya di area parkir yang menjadi pengawasannya. Istrinya mengucapkan terima kasih tiada henti menerima pemberian suaminya itu.

“Oh ya Mah, jangan lupa besok aku pakai seragam yang warna biru. Baju seragam yang di punggungnya ada tulisan “JURU PARKIR”.

“Siaaap Pah, sudah aku siapkan kok.”

Purwokerto, 28 Desember 2024.

Sarkoro Doso Budiatmoko.

***

Judul: Joe, si Lelaki Berseragam
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK

Tentang Pengarang:

Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalani di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.

Sarkoro Doso Budiatmoko
Pengarang/Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko – (Sumber: koleksi pribadi)

Pengalaman Sarkoro menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.

Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang”, lalu  “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.

Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul “Nah Mengambil Makna dari Hal-hal Kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.

Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.

Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.

***

Baca juga cerpen lainnya: Abah memang banyak

Ulasan puisi karya CT NURZA: Kepada Sebuah Keberangkatan

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *