Cerpen “Ini Bukan Nepotisme, Godes”
Berita Jabar News (BJN) – Kolom Sastra – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Ini Bukan Nepotisme, Godes” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Hari masih pagi, tetapi di rumah mungil itu sudah terdengar percakapan hangat antara anak dan emaknya.
“Mak, minuman kopinya mana?” Tanya Godes ke emaknya.
“Sebentar Nak, masih nunggu airnya mendidih,” jawab emak.
“Gulanya sedikit saja Mak, biar ngantukku cepat hilang,” sambung Godes.
“Iya Nak, kebetulan gulanya juga hampir habis. Sholat subuh saja dulu, azan sudah berkumandang dari tadi, sebentar lagi ikomah,” balas emak lagi.
“Iya Mak,” balas Godes sambil bangkit dan melangkahkan kakinya ke musala.
Si Emak mengerti yang pertama diminta anaknya setiap pagi pasti minum kopi. Kadang pahit, kadang manis. Menurut Godes, minum kopi akan menghangatkan tubuh dan mencerahkan pikirannya.
Kehangatan kopi bagi Godes bisa mengalahkan dinginnya subuh. Walaupun sering terjadi, tanpa harus menunggu lama, siang sedikit, udara yang semula dingin berubah cepat menjadi panas. Siapa sangka kalau sorenya terjadi hujan besar. Air seperti ditumpahkan dari langit.
Begitulah keadaan cuaca hari-hari sekarang ini. Musim dan ramalan cuaca di televisi (TV) atau Radio nyaris susah diandalkan keakuratannya. Namun, apapun cuacanya Godes tidak peduli. Baik pagi sejuk, segar, hujan, gerimis, berembun tebal maupun tipis, dia tetap harus berangkat melaksanakan kewajibannya.
Pekerjaan lelaki lajang ini memang terdengar remeh dan sering dianggap rendah oleh orang lain, yaitu sebagai tukang sampah. Dia menggeluti pekerjaan ini meggantikan abahnya yang meninggal sebagai tukang sampah juga.
Warga baru merasakan tukang sampah itu penting saat si Abah meninggal. Beberapa hari sepeninggal Abah, banyak sampah berserakan karena tidak ada orang yang memungut dan membuangnya. Akibatnya lingkungan menjadi kotor dan bau. Warga gaduh berkeluh kesah hingga ke telinga Pak Lurah.
Tentu saja Pak Lurah ikut gelisah. Dia tidak ingin warganya resah. Lalu dicarinya tenaga pengganti si Abah. Namun ternyata mencari seseorang untuk menjadi tukang sampah tidak mudah. Banyak yang tidak tahan kotor dan bau. Sementara warga semakin resah karena sampah bisa menjadi sumber petaka.
Tidak ada cara lain, datanglah suatu sore Pak Lurah ke rumah mendiang si Abah merayu anaknya, Godes agar mau menggantikan ayahnya. Godes dengan polos bertanya kepada Pak Lurah, “Apa nanti tidak dituduh sebagai nepotisme Pak?”
“He … he … Godes, bisa aja kamu, Kalau pekerjaan Tukang Sampah banyak diminati orang, mungkin dikira nepotisme, tapi pekerjaan ini tidak ada yang berminat. Saya sudah berkeliling mencari tenaga tukang sampah, tidak ada yang berminat. Makanya saya ke sini. Kamu harapan satu-satunya mengganti mendiang Abahmu,” jawab Pak Lurah.
Setelah minta nasehat Emak, Godes menyanggupi bekerja sebagai tukang sampah. Pak Lurah gembira bukan kepalang, setidaknya masalah sampah sudah bisa diatasi.
Itulah awal mula Godes, lelaki berbadan sedang ini menjadi tukang sampah. Sejak hari itu tiap pagi dia keliling memunguti sampah rumah tangga dan membawanya ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Untungnya dulu Godes pernah beberapa kali membantu si Abah. Oleh karena itu, dia cukup menghayati pekerjaan ini.
Bergaul dengan sampah itu sangat dekat dengan bau tidak sedap dan pemandangan barang-barang menjijikkan. Namun, itu bukan sesuatu yang aneh bagi Godes. Demikian juga bagi Emaknya. Dia tinggal meneruskan kebiasaan lamanya, meladeni Godes seperti dia dulu melayani suaminya.
Sampai setua itu, si Emak tidak pernah membayangkan anaknya menjadi tukang sampah. Sepertinya di dunia ini memang tidak ada anak-anak yang bercita-cita menjadi tukang sampah. Godes juga tidak. Kebanyakan mereka bercita-cita menjadi Presiden, Dokter, dan Bos.
Godes kecil pun cita-citanya dulu ingin menjadi tentara. Dia membayangkan suatu hari nanti orang memanggilnya Sersan Prayogo, nama aslinya. Godes hanyalah nama panggilan. Entah dari mana dan entah apa pula artinya, tetapi begitulah teman masa kecilnya memanggilnya Godes. Emaknya pun kadang ikut-ikut memanggilnya Godes.
Mungkin nama Prayogo dianggap terlalu bagus untuk seorang Godes yang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Dia hanya anak tukang sampah.
Sungguhpun Godes tumbuh di keluarga sederhana, tetapi tidak membuatnya menjadi anak yang rendah diri. Malah kala kecil, sering dijadikan contoh oleh ibu-ibu tetangga ke anaknya.
“Nak, lihat tuh Godes. Pagi subuh sudah bangun membantu emaknya jualan, terus berangkat sekolah. Nak, bersyukurlah kamu tidak hidup sengsara. Lihat Godes, dia harus kerja dan belajar keras. Hebatnya, di pintar di sekolahnya,” ujar salah seorang ibu kepada anaknya sambil menasehatinya.
Kini Godes bukan anak kecil lagi. Umurnya sudah mendekati tiga puluh dan hidup hanya berdua dengan Emak yang mengajarinya hidup jujur dan menghargai kerja keras. Emaknya juga memberi teladan hidup sehari-harinya yang tidak lupa untuk selalu bersyukur.
Kini Godes sangat memahami betapa bernilainya setiap hasil tetesan keringatnya. Dia sangat mensyukuri setiap makanan dari hasil kerjanya sendiri. Dia berusaha tidak merepotkan, apalagi merugikan orang lain.
Godes kecil pernah sangat jengkel pada lelaki yang membeli dagangan Emaknya, tetapi pergi begitu saja tanpa membayar. Tanpa rasa takut, dia kejar lelaki itu dan memintanya membayar.
“Bang, bayar dong, itu dagangan Emak, jangan seenaknya diembat!” Kata Godes kecil ketus saat itu.
Godes kecil memang layak dicontoh. Demi cita-citanya menjadi tentara, dia rajin belajar. Warga sekitar sering mendapatinya malam-malam ada di Pos Kamling.
“Ngapain kamu Godes malam-malam di Pos Kamling?” Tanya seorang Ibu suatu malam.
“Belajar Bu, di sini lampunya lebih terang,” jawab Godes.
Godes juga suka membaca dan mengikuti berita TV maupun koran. Wajar dia tumbuh menjadi pria dewasa yang pintar. Walaupun cita-citanya menjadi tentara akhirnya tidak tercapai, tetapi dia tetap merasa bahagia bisa terus mendampingi Emaknya.
Emak juga dengan penuh kasih menyayangi Godes. Dia bangga anaknya walau hanya menjadi tukang sampah. Baginya itu pekerjaan mulia dan berpahala.
Satu keinginan Emak yang belum terwujud. Dia ingin menghentikan kebiasaan anaknya minum kopi. Kebiasaan anaknya ini belakangan membuatnya semakin khawatir. Kesukaan Godes minum kopi membuatnya merasa kenyang meski belum makan. Oleh karena itu, setiap kali melihat anaknya minum kopi, disodorkan makanan pengisi perut sambil menasehatinya.
“Jangan lupa diisi perutmu Nak, ingat kamu pernah sakit gara-gara kenyang minum kopi,” ujar Emaknya.
“He … he …he, iya betul Mak,” sahut Godes.
Godes pun teringat kejadian sekitar sebulan yang lalu. Saat bangun tidur, perutnya mual dan tubuh terasa tak bertenaga, lemas. Saking lemasnya, hari itu dia tidak berangkat kerja. Hari esoknya kondisinya belum membaik, belum bisa kerja. Warga mulai gaduh karena dua hari sampah tidak diambil mengakibatkan lingkungan menjadi kotor dan bau sampah semakin menusuk hidung.
Sorenya, utusan Pak Lurah datang menengok dan menyampaikan keluhan warga. Godes dengan mantap berjanji besok sampah akan kembali bersih dan lingkungan akan bebas dari bau tidak sedap.
Ternyata esok harinya kondisi tubuh Godes masih belum pulih. Godes belum berangkat kerja. Wajar saja kondisi lingkungan menjadi semakin kotor dan bau semakin menyengat.
Warga menjadi resah, gelisah dan gaduh. Sebagian tidak sabar lagi untuk protes. Sejumlah warga mendatangi Godes di rumahnya. Alih-alih menengok, mereka malah bicara dengan nada marah. Godes, menjadi sasaran empuk untuk dikambinghitamkan sebagai penyebab kotornya lingkungan.
Seorang warga yang berbadan besar ngomong, “Kalau mau minta upah naik, ngomong saja, tidak usah beraksi seperti ini, bikin susah semua orang!”
Tamu lainnya, lelaki berpeci hitam, meminta pernyataan Godes untuk membersihkan sampah segera atau berhenti jadi tukang sampah, sedangkan warga yang lain, lelaki berkepala botak menyarankan kalau memang sakit-sakitan lebih baik mundur saja.
Konyolnya, ada juga warga yang mengusulkan agar Godes membayar orang yang dia bayar untuk membersihkan sampahnya sendiri.
Suasana rumah Godes riuh. Emaknya ingin mencoba menenangkan Godes agar tidak emosi, tetapi tidak jadi setelah melihat anaknya cukup tenang. Emaknya semakin tenang setelah ada juga salah satu, lelaki gendut warga yang meminta agar Godes jangan disalahkan.
“Kita lihat sendiri di sini, dia berhalangan karena sakit dan kita juga tahu, tidak ada orang yang mau sakit,” kata lelaki gendut itu mencoba menenangkan warga.
Setelah semua tertumpahkan, Godes meminta waktu untuk bicara. Pelan-pelan dia membetulkan posisi duduknya, lalu mulai bicara. Didahului dengan ucapan terima kasih dan permohonan maaf.
“Semua sampah itu asalnya dari rumah bapak-bapak sekalian. Segala macam sampah ada di sana dan selama ini semua saya bersihkan, tidak peduli bau dan jijik. Ada kotoran bayi, ada makanan basi, ada sisa-sisa dapur, ada sampah plastik, kertas, ada bekas alat kontrasepsi dan kotoran kucing pun ada di sana,” kata Godes.
Warga yang hadir saat itu tak satu pun bicara. Semua terdiam menyimak apa yang diungkapkan oleh Godes.
“Saya pun sering menemukan sisa-sisa makanan yang sebenarnya masih layak dimakan, tetapi sudah bapak buang tanpa rasa sayang. Makanan sisa itu memang sudah Bapak bayar, tetapi pernahkah Bapak-bapak bayangkan orang-orang yang kelaparan di luar sana?” Sambung Godes panjang lebar, seperti layaknya calon wakil rakyat ketika sedang berkampanye.
Godes binar-benar seperti diberi kesempatan emas untuk mengungkapkan uneg-unegnya selama ini.
“Bapak-bapak janganlah karena merasa sudah membayar, lalu seenaknya membuang segala rupa sampah untuk saya bersihkan. Jangan juga karena ada tukang sampah, lalu kekotoran ditempat Bapak-bapak ditimpakan ke saya,” tambah Godes dengan penuh percaya diri.
Semua warga masih menyimak dengan aneka perasaan yang berkecamuk dalam pikirannya. Namun, sepertinya Godes sudah tak peduli. Ia tetap saja terus bciara.
“Kalau soal sampah saja protes, gaduh, riuh rendah seperti ini, mengapa bapak-bapak diam saja ketika ada jalan di lingkungan ini berlubang, got mampet, lampu jalan mati, portal kuncinya hilang, orang kumpul-kebo? Kenapa Bapak-bapak juga diem-diem saja ketika harga sembako naik? Mengapa?” tambah Godes dengan nada mulai meninggi.
Godes semakin asyik berpidato. Dia mulai lupa kalau dirinya hanyalah tukang sampah. Dia merasa selama ini tak diperhatikan oleh warga dan dianggap sebagai warga kelas dua. Kini saatnya dia unjuk gigi bahwa betapa pekerjaan dirinya sebagai tukang sampah juga tak kalah pentingnya dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
“Ada juga Bapak-bapak yang terlambat membayar langganan bulanan sampah. Bahkan, tidak sedikit juga yang menunggak pembayarannya. Saya kan diam saja dan tidak protes. Saya menyadari mungkin saja rizkinya lagi seret,” lanjut Godes dengan ucapan semakin pedas, seperti pedasnya sambal buatan Emak.
Satu-satu warga yang ada di rumah Godes pun mulai angkat kaki tanpa pamit. Akhirnya dia menutup pidatonya dengan permintaan maaf dan berjanji besok pagi sebeum jam sekolah, sampah sudah bersih.
***
Godes menepati janji. Esok harinnya sampah sudah bersih sebelum orang-orang beraktivitas.
Nasiblah yang membawa Godes menjadi tukang sampah. Kalau boleh memilih, dia inginnya menjadi prajurit TNI yang gagah dan disegani orang. Namun, takdir juga yang menentukan dia menjadi tukang sampah. Walau begitu, dia jalani pekerjaan itu dengan sungguh-sungguh.
Setiap pagi, sebelum orang-orang bangun, Godes sudah keluar keringat mendorong gerobak sampahnya dan memungut sampah dari depan rumah-rumah pelanggannya. Untuk pekerjaan ini dia menerima honor dari lurah dan upah dari para pelanggan setiap bulan. Kadang ada juga yang memberinya tips. Penghasilannya cukup untuk membuat dapur Emaknya selalu ngebul.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Nak. Pandailah membawa diri Nak,” itu kata Emak setiap kali menerima uang dari Godes.
“Iya Mak. Mohon doa dan restunya,” jawab Godes penuh hormat kepada Emaknya.
Godes sangat menyadari kalau dia bukanlah seorang Lurah yang bekerja di dalam ruangan nyaman dan berpendingin. Dia ada dilapangan, di tengah masyarakat yang gampang protes apabila kepentingannya sendiri terganggu.
Sebagai tukang sampah Godes memahami, telat sedikit saja mengambil sampah akan diomongin warga. Bahkan, datang terlalu pagi pun akan diomongin warga. Oleh karena itu, dia berusaha bekerja pada waktu yang tetap.
Dalam menjalani pekerjaan ini, Godes harus ekstra sabar dan kuat mental. Bukan hanya hidung dan penciuman yang dia sumpal, telinganya pun sering dia sumbat agar tak mendengar semua keluhan warga.
Bagi Godes, pekerjaannya sebagai tukang sampah adalah sebuah anugerah, biar pun orang lain mungkin mempunyai pandangan berbeda. Dia memperbaiki niatnya, selain bekerja untuk mencari nafkah, dia niatkan pula untuk beribadah. Bukankah manusia yang paling tinggi derajatnya di hadapan Allah adalah orang yang kehidupannya bermanfaat bagi orang banyak?
Purwokerto, 17 Mei 2024
***
Judul: Ini Bukan Nepotisme, Godes
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.
Pengalamannya menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang” lalu “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.
Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.