Cerpen “Damar: Lorong Tanpa Tepi”
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom Sastra, Kamis (16/10/2025) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Damar: Lorong Tanpa Tepi” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, seorang penulis dan pengarang, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Dia Damar. Orangnya sehat, kuat, mapan, tekun, bekerja keras dan penuh semangat menjalankan usahanya. Meskipun “hanya” usaha penampungan dan penyaluran barang rongsokan.
Pada pagi hari, apapun keadaannya, mendung, gerimis, hujan, maupun cerah, dia selalu berusaha gembira saat memulai aktifitas. Biasanya dia mulai dengan menyapa akrab pembantu setianya, Jajo.
“Selamat pagi Jo, sudah minum kopi?” Sapa Damar pagi itu.
Sepotong sapaan yang sebenarnya biasa saja tapi membuat hati Jajo senang dan merasa oksigen tergelontor memenuhi dadanya. Semangat hidup Jajo pagi itu dibuat menyala laksana terbakar api.
Sebagai seorang pembantu, Jajo merasa sapaan bos Damar di awal hari adalah sebuah penghormatan. Dia balas sapaan itu, “Sudah Bos, malah belum habis, masih setengah gelas.”
“Jangan kebanyakan minum kopi Jo,” sahut Damar.
“Hah, memang kenapa Boss?” Tanya Jajo terpana, soalnya mereka berdua hampir tidak pernah melewatkan pagi tanpa kopi.
Begitu bangun pagi, Jajo langsung membuat dua gelas kopi hitam untuk dirinya dan untuk Damar.
“Nanti kamu tambah hitam,” kata Damar dengan nada serius.
Tahu itu candaan, Jajo menyahut, “He … he…, biar kulit hitam toh sudah punya anak-bini Bos.”
Si Bos kena skak, lalu ketawa lepas, “Ha … ha …ha, iya deh!”
Damar memang masih sendiri. Pria cukup umur itu punya segalanya kecuali istri. Jajo, meski pembantu, sering memberanikan diri membujuk dan memanas-manasi bosnya untuk segera beristri, tapi belum berhasil.
Jajo sesekali ngomong, “Ayolah, orang pasti mengira Bos ini sudah punya anak.”
Benar, orang melihat Damar matang dan mapan, sering bertanya, “Sudah punya putra berapa?” Atau, “Anak-anak sekolah di mana?”
Biasanya Damar menjawab, “Wah maaf, sampai sekarang saya belum dipercaya untuk punya istri. Semoga saja kepercayaan dari atas segera turun.”
Atau jawaban lainnya, “Tunggu saja undangannya ya.”
Semakin bertambah umur, pria berwajah bersih ini semakin tidak terlalu mikir calon istri. Sukur dapat, tidak beristri juga tidak masalah. Damar kurang bersemangat. Lelaki ini seperti pernah disakiti perempuan lalu menjadi jera.
Memang, Damar kala muda dulu pernah beberapa kali dikecewakan perempuan. Saking kecewanya sampai hatinya remuk berkeping-keping, pedih tidak terperi, terasa tercampakkan, diremehkan dan tidak memiliki arti.
Perlakuan buruk yang dia terima membuat nyalinya mengkerut dan meruntuhkan keberaniannya menatap langit. Namun, semua dia telan sendiri, tidak mau melibatkan orang. Bahkan, Ibunya pun tidak.
Wajah dan perawakan Damar memang biasa saja, jauh dari sebutan tampan. Hidupnya pun sederhana, jauh dari mewah, hura-hura dan gelimang glamor pergaulan. Damar sadar diri, dirinya bukan siapa-siapa. Wajar saja perempuan yang dia dekati pun dari kalangan yang biasa-biasa juga. Sudah begitu, masih ditolak juga. Sakit bukan main. Damar baru tersadar, ditolak itu sakit.
Dia kini mengerti, ternyata asmaramemang tidak pandang kasta dan pangkat, tapi asmara sangat memandang kemilau harta. Penolakan yang diterimanya tertanam di alam bawah sadarnya bahwa segala yang indah dan kasat mata jauh lebih mendatangkan pesona mata.
Berbeda dengan orang-orang yang hanya iseng, Damar ingin rasa terpesonanya berujung pada pernikahan. Tidak salah kalau benaknya dipenuhi prasangka, tanpa pesona yang nyata, silahkan minggir.
Damar terpinggirkan, lelaki yang awalnya tegar itu terhuyung, terkapar dan jatuh terperosok meluncur jauh ke lorong tanpa tepi. Tak ada ujung.
Gairah dan semangat hidupnya hilang, melempem, bak kerupuk tesiram air. Berhari-hari dia mengurung diri di kamar, merenungi betapa tidak adilnya nasib. Dia marah, tapi tidak tahu marah ke siapa. Dia benci, tapi tidak tahu benci kepada siapa. Akhirnya dia kesal, kesal pada dirinya sendiri.
Ibu dan bapaknya khawatir Darma menjadi gila. Namun, mereka tidak kuasa mengusik. Ibunya hanya bisa menyiapkan minuman kopi hitam dan jajanan ringan setiap pagi dan petang.
Begitu juga sore itu, seperti biasa, secangkir kopi ditambah sebungkus kacang rebus dihidangkan ke kamar Damar. Kopi panas diseruputnya seteguk demi seteguk. Kacang rebusnya dimakan satu persatu dengan penuh nikmat.Sentuhan cinta ibunda membuat hidangan sederhana itu sedikit menutupi rasa kesalnya.
Lalu, tanpa sengaja Damar membaca tulisan di kertas pembungkus kacang. Bunyinya: “Menangislah, maka kamu akan meraung-raung sendirian, tersenyumlah, maka seisi dunia akan ikut tersenyum lebar”.
Seperti tersundut api rokok, bacaan pendek itu membuat Damar terhenyak. Sesaat kemudian tercenung. Dia merasa bersyukur.
Untung aku suka kacang, tapi lebih untung lagi aku suka membaca, kata hatinya, lalu: Terima kasih Bu, telah engkau kirim tulisan sakti ini.
Lebih dari sepekan mengurung diri, kini Damar bangkit dari dipan, meloncat dan menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri, kakinya berjingkat-jingkat seperti petinju bangun tidur.
Tak pandang sore sudah menjelang gelap, jendela kamar dia buka lebar-lebar. Gorden dia sibak penuh ke tepi dan pintu kamar dia buka tanpa sela.
Damar keluar kamar dan berjalan ke pekarangan, dia hela udara segar semampunya dan kemudian dia hembuskan napas kuat-kuat.
“Yiiihhaaaaaa,” teriaknya keras-keras.
Damar bertekad seburuk apapun perasaannya akan selalu tersenyum, biar seluruh dunia ikut bahagia.
Waktu terus berjalan. Satu persatu kedua orang tuanya mendahului, meninggalkan dia sendiri di dunia yang fana ini. Sejak itu dia harus bisa hidup berdiri di atas kakinya.
Dengan sisa-sisa ketegarannya, dia berusaha terus tersenyum dan menjalani hidup tanpa keluh tanpa kesah. Menapak maju dengan langkah penuh. Tidak ada yang setengah-setengah.
Damar sangat mengerti, untuk meraih sukses itu tidak mudah. Perlu kerja keras, ramah, banyak teman dan pandai bergaul. Tentu saja nasib baik.
Selesai sekolah, Damar susah mendapat pekerjaan meski ijazahnya asli. Dia bernasib kurang baik karena tidak punya orang dalam. Meski begitu, pemuda ini tidak mau melakukan tipu-tipu dan memalsukan sesuatu.
Dalam segala keterbatasan, suatu hari Damar diajak teman baiknya untuk mencari uang sambil bersih-bersih lingkungan. Tanpa pikir panjang, bersama temannya dia berkeliling kampung memunguti barang-barang bekas dan mengumpulkannya lalu dijual ke tempat penampungan. Sedikit demi sedikit uang masuk kantong.
Damar menemukan kegembiraan luar biasa mencari nafkah sambil membersihkan lingkungan. Tidak terbayang sebelumnya, dia bisa mendapatkan penghasilan sekaligus membersihkan lingkungan hanya bermodal rajin dan tidak takut kotor.
Memunguti sampah dan barang rongsok itu bukan pekerjaan biasa. Namun, Damar tidak peduli, tekun dan tidak malu. Ini pekerjaan halal, mengapa malu? Dia meyakini, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Oleh karena itu, walaupun kecil, dia berusaha agar usahanya terus tumbuh.
Dalam masa prihatin berjuang menjalankan usaha, suatu hari dia ketemu perempuan yang pernah dia dekati. Teman itu tiba-tiba ngomong, “Hai Damar, aku sekarang sudah menikah.”
Damar bengong, tidak menjawab dan malah ngedumel sendiri, “Sukurlah sudah menikah, tapi apa urusanku?”
Kali lain, ketemu seorang teman perempuan yang dulu pernah menolaknya. Perempuan itu mendatanginya di sebuah resepsi hanya untuk ngomong, “Hai Damar, aku sekarang sudah jadi janda.”
Kali ini pun Damar bengong, tidak menjawab dan bertanya-tanya sendiri, “Apa urusanku?”
Ya, Damar sama sekali tidak tertarik dengan apa yang terjadi pada perempuan-perempuan itu. Itu bukan urusannya lagi. Dia sedang menyalurkan energi tanpa mengenal lelah untuk bisa menjadi pengusaha barang rongsok yang sukses.
***
Ketekunan dan usaha kerasnya membawa hasil, Damar akhirnya bisa punya pangkalan penampungan dan penyaluran barang rongsok sendiri. Dia tidak perlu lagi keliling mencari barang tapi malah banyak menerima kiriman barang rongsok.
Dibantu Jajo, dia mengelola usahanya tanpa mengenal lelah, ikut terjun langsung, ikut memilah dan memilih rongsokan. Dia tidak peduli dengan penampilannya saat berkerja. Pada saat seperti itu, apalagi di bawah terik sinar matahari, tidak ada bedanya dia dengan Jajo. Sama-sama dekil dan sama-sama bermandi keringat.
Orang acap terkecoh, mengira Damar kuli, padahal dia adalah si pemilik usaha. Itu dialami oleh seorang perempuan muda yang datang naik becak penuh bermuatan barang rongsok. Becak penuh aneka ragam rongsokan alat tulis kantor, baju bekas dan mainan anak-anak.
Perempuan muda berhijab itu turun dari becak mendekat ke Damar dan bertanya, “Maaf Pak, pengelola tempat ini siapa ya? Saya mau menjual barang rongsok yang ada di becak itu.”
Damar agak tertegun, lantas menjawab, “Oh, silahkan ke laki-laki berkaos hitam di ujung sana, namanya Pak Jajo.”
“Terimakasih Pak,” kata si perempuan.
“Ah ya, sama-sama,” Damar menjawab.
Benak Damar bertanya-tanya dalam hati, Banyak betul hasil memulung perempuan itu, satu becak penuh. Benarkah dia pemulung?
Perempuan itu melangkah ke arah Jajo dan mata Damar tidak lepas sedetikpun dari langkahnya. Bos rongsok semakin ragu, pikirnya: Perempuan itu terlalu bersih dan kurang berkeringat sebagai pemulung.
Damar menghela nafas panjang, kata hatinya, wajahnya terlalu manis sebagai pemulung. Ah, pasti dia bukan pemulung.
Di sudut lain, dengan ramah Jajo menerima barang-barang rongsok di becak dari si perempuan. Jajo memilah, memilih dan menimbang. Sambil bertransaksi dua orang itu tampak serius bercakap-cakap.
Sementara dari jauh Damar mengamati Jajo. Sebaliknya dari jauh, Jajo juga melihat Damar berkali-kali mencuri pandang pada si perempuan.
Damar memang berulang kali memandang si perempuan. Dia memandang lagi, sekali lagi, lalu, sekali lagi dan sekali lagi, lagi dan lagi. Dia seperti takut kehilangan kesempatan memandang keindahan ciptaan Tuhan itu.
Tanpa disadari ada yang bergetar di dalam tubuh Damar. Getaran rasa ingin tahu lebih jauh siapa perempuan itu.
Di tempat lain, Jajo membatin: Tumben banget Damar melihat perempuan ini berulang-ulang. Ah, pasti dia tertarik.
Jajo dengan sengaja melambatkan pelayanannya dan mengajak ngobrol panjang lebar menggali informasi, siapa si perempuan ini.
***
Damar tidak bisa mengingkari isi hatinya. Perempuan tadi sungguh menggetarkan kalbunya. Entah mengapa ketertarikan ke perempuan itu sangat kuat. Dia berhijab, wajahnya manis dan tampak bersih. Ada aura cerah memancar dari wajahnya. Wajahnya bersih dibasuh air wudhu.
Ah, lupakan saja, kata Damar dalam hati, semua perempuan sama saja, apalagi aku dekil dan kumuh gini, mana dia mau.
Rupanya Damar sudah berpikir jauh, sangat jauh ke masa depan. Dia belum lupa pengalaman masa lalunya. Aku belum lupa sakitnya ditolak. Masak mau ditolak lagi? Hanya keledai yang kembali jatuh di lubang yang sama.
Damar kembali bekerja memilah sampah, berusaha tidak memikir perempuan tadi. Namun, sulit. Lalu dia menyibukan diri melakukan apa saja. Tiba-tiba didengarnya suara perempuan tadi, “Maaf Pak Damar, saya mohon pamit.”
“Eh, iya Bu, eh Mba, terima kasih ya,” jawab Damar terbata-bata.
Perempuan itu kembali naik becak, menjauh dari lokasi timbunan rongsok, entah ke mana, mungkin pulang.
Lelaki pekerja keras ini hatinya kembali berbinar-binar. Kepalanya penuh dengan puja-puji untuk perempuan tadi.
“Wah, ramah sekali dia, kok tahu namaku ya? Senyumnya renyah, seperti keripik singkong. Juga sopan sekali, mau pulang masih pamitan, pasti semuanya sempurna,” kata Damar setengah melamun.
Dengan tidak sabar, Jajo dipanggil, “Jooo…., Jaajoooo….”
Jajo dengan sigap lari mendekat ke Damar, lalu, “Siaap Bos!”
“Jo, itu perempuan tadi siapa namanya? Di mana rumahnya?” Kata Damar tidak sabar.
“Namanya Jizah, tinggalnya di ujung kampung, sebelah masjid,” sahut Jajo.
“Okey, terima kasih Jo,” kata Damar.
Jajo bertanya, “Emang mau apa Bos?”
“Halaahhh, kamu mau tahu saja!” Jawab Damar ketus.
“Tapi Bos,” kata Jajo, tapi omongan ini sudah tidak digubris lagi. Damar lagi dimabuk asmara.
Damar kemudian sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia bertekad bulat apabila cocok akan mengajak perempuan tadi menikah, katanya dalam hati: Inilah jodohku, pemulung mempunyai istri pemulung juga, asik ya.
“Asal jangan sampai punya anak nantinya menjadi pemulung juga,” kata Damar.
Damar tidak sabar menunggu malam. Begitu sholat Isya selesai, dia dengan pakaian rapi dan semprotan parfum, mengendarai mobil bak terbuka yang biasa untuk mengangkut barang rongsok, meluncur ke rumah Jizah.
Tidak sulit untuk menemukan rumah Jizah yang berada di sebelah masjid persis. Damar melangkah ke rumah mungil tapi bersih. Menandakan si pemilik suka kebersihan.
Juga ada banyak pot berbagai tanaman bunga berbaris teratur di penggiran teras. dan sederet tanaman pagar di sepanjang tepian batas jalan. Damar semakin terpesona, Jizah suka kebersihan dan suka keindahan.
Betapa bahagianya bila keinginannya untuk menyunting Jizah menjadi kenyataan. Damar sudah mengkhayal ke mana-mana.
Cahaya lampu di halaman tidak begitu terang, remang-remang. Halamannya tidak luas. Ada dua kursi kayu. Tidak ada meja. Damar menambah khayalannya, kalau nanti jadi istriku, rumahmu aku pugar Jizah.
Di halaman yang sempit itu ada becak parkir membuat halaman semakin terasa sempit. Damar mengenali becak tersebut, becak yang siang tadi mengantar Jizah ke menjual rongsok. Lalu tambah satu lagi khayalannya: Jika nanti jadi istriku, aku larang ada becak parkir di sini.
Damar yang tampaknya sudah kebelet kawin itu uluk salam, “Assalamualaikum.”
Tidak ada yang menjawab. Damar mulai khawatir jangan-jangan Jizah tidak ada di rumah. Baru pada ucapan salam ke tiga, ada lelaki sebaya Damar tergopoh-gopoh berjalan dari arah masjid menyambutnya.
Dia menjawab salam, “Waalaikum salam, oh Pak Damar, silahkan Pak, duduk.”
Damar menjawab sekaligus bertanya, “Terima kasih, kok tahu nama saya Pak?”
“Iya, istri saya cerita nama Bapak saat kami berdua mengantar barang rongsok tadi siang,” jelas si lelaki.
Tubuh Damar langsung lunglai. Dalam hatinya yang terdalam dia berkata: Jizah diperistri tukang becak? Kok mau? Perempuan hitam manis mau sama lelaki itu? Apa kelebihannya? Kok perempuan tidak secantik Jizah pada tidak mau sama aku?
Seribu pertanyaan memenuhi kepalanya. Damar berjalan sempoyongan pulang. Dia tidak peduli lagi. Mobilnya pun ditinggal di depan rumah Jizah. Dia sedih sekali, rasa terpesonanya tak pernah berujung. Damar terperosok lagi ke lorong tanpa tepi.
***
Judul: Damar: Lorong Tanpa Tepi
Pengarang: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: Jumari Haryadi
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di Fakultas Kehutanan (E16) IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.

Kesukaannya membaca tidak terbatas, dari buku tebal hingga sekedar bungkus kacang.Kesukaan membaca ini diimbangi dengan kegemaran menulis.Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Sebagian dari tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Sedangkan sebagian cerpennya telah dibukukan dengan judul: Dunia Tak Seindah Rembulan” yang juga diterbitkan oleh SIP Publishing, 2024.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto.Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event.
***