Berita Jabar NewsBJNCerpenSastra

Cerpen “Cinta dalam Diam dan Ribuan Kata yang Tak Pernah Cukup”

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Rubrik “SASTRA”, Senin (30/12/2024) – Cerpen berjudul “Cinta dalam Diam dan Ribuan Kata yang Tak Pernah Cukup ini merupakan karya original dari Febri Satria Yazid  yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial. Penulis yang berasal dari Sumatra Barat ini merupakan anggota Kompeni (Komunitas Penulis Cimahi) dan kini menetap di Kota Cimahi.

“Bumi Pasundan lahir saat Tuhan sedang tersenyum”. Adalah Martinus Antonius Weselinus Brouwer atau akrab dipanggil M.A.W. Brouwer yang disebut-sebut pertama melontarkan ungkapan tersebut. Dia seorang fenomenologi, psikolog, dan budayawan kelahiran Delf, Belanda. Salah satu bukunya yang terkenal berjudul: ‘Psikologi Fenomenologis’.

Meskipun orang Belanda, tapi Brouwer sangat mencintai Indonesia. Dia menamatkan sarjana pada Fakultas Pedagogis Universitas Indonesia pada 1961, kemudian menjadi guru di Sukabumi, serta sebagai pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran dan Universitas Parahyangan yang turut mewarnai pengembangan ilmu Psikologi di Indonesia.

Febri Satria, penulis dan pengarang
Febri Satria, pengarang – (Sumber: BJN)

Ungkapan Brouwer sebenarnya tidak hanya terbatas pada Kota Bandung, melainkan untuk keseluruhan tatar Pasundan. Tatar Pasundan adalah istilah budaya yang merujuk pada wilayah yang menjadi tempat tinggal masyarakat Sunda yang memiliki tradisi, bahasa, dan budaya Sunda. Secara geografis, tatar Pasundan mencakup sebagian besar wilayah di Provinsi Jawa Barat dan sebagian Banten.

Awan dan Laila, menjalani kehidupan sehari-hari di Bumi Pasundan. Awan seorang penulis introvert yang lebih sering mengekspresikan pikirannya melalui tulisan daripada kata-kata langsung, sedangkan Laila adalah seorang penulis dan pengajar muda cerdas, ceria, dan penuh semangat, serta gemar membaca dan menghargai kata-kata. Mereka berkenalan setahun silam di Kota Betawi, diperkenalkan oleh saudara Laila yang berteman akrab dengan Awan dalam suatu pertemuan yang dirancang dan bertajuk “se-frekuensi”.

Pertemuan Awan dan Laila kemudian berlanjut secara intens melalui kegiatan-kegiatan kemanusian yang dilaksanakan oleh berbagai komunitas yang ada di tanah Pasundan. Ungkapan “Bumi Pasundan lahir saat Tuhan sedang tersenyum” mereka rasakan dari senyuman-senyuman yang selalu tersungging di bibir mereka saat berbincang serius diselingi tawa canda di tengah keindahan dan kekayaan alam, serta budaya yang dimiliki oleh tanah Pasundan, yaitu wilayah Sunda di Indonesia, meliputi keindahan alam yang menakjubkan, keharmonisan budaya dan kehidupan.

Masyarakat Sunda dikenal karena budaya yang lemah lembut, ramah, dan penuh kesantunan. Meski mereka berdua bukan berasal dari tanah Pasundan, tapi Awan telah tinggal di wilayah ini sejak dia menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di salah satu kota di Sumatera dan melanjutkan pendidikan tinggi hingga bekerja di kota Periangan , kota kenang-kenangan.

Demikian juga Leila, meski berdarah campuran “SuMin”, nuansa Sunda sangat kental dalam dirinya baik dalam logat dan bertutur kata lembut, tidak terkontaminasi logat Betawi, meski Leila tinggal dan kuliah di perbatasan Sunda dan Betawi. Karakter masyarakat Sunda tanpa disadari telah melekat pada masing-masing mereka karena berinteraksi cukup lama dan berada di lingkungan masyarakat Sunda.

Ungkapan ini menandakan bahwa karakter dan tradisi masyarakat Sunda adalah bagian dari “senyuman Tuhan”, termasuk pada diri Awan menyimpan perasaan mendalam kepada Laila.

Awan menemukan bahwa Laila sering membaca artikel yang dia tulis di media lokal. Di sisi lain, Laila mulai merasakan keakraban aneh dengan tulisan-tulisan tersebut, seolah-olah penulisnya memahami dirinya dengan sangat baik. Ada kekhawatiran dalam diri Awan merasa takut bahwa mengungkapkan rasa cinta akan mengubah dinamika hubungan mereka yang telah terjalin baik dengan pemikiran dan wawasan yang senada dan seirama.

Laila sedang merencanakan acara literasi di sekolahnya, membedah buku karyanya yang viral dan ingin mengundang Awan. Dalam proses persiapan acara, mereka semakin sering berbincang, dan Laila membagikan pandangannya tentang cinta yang ditemukan dalam kata-kata.

Meski sempat berpikir “bullshit” tentang cinta, belakangan pikiran Leila bergeser dan merasakan berada pada “New chapter” tentang cinta. Kini bagi Leila, cinta bukan hanya sekadar rasa yang bergetar di dada atau senyuman yang menghangatkan jiwa. Cinta adalah serangkaikan kata yang terjalin seperti untaian doa, menggema lembut di balik halaman-halaman buku usang dan puisi-puisi malam yang tak pernah selesai ia tulis.

“Bagiku,” bisik Leila pada secarik kertas di mejanya, “Cinta hidup di antara huruf-huruf yang dirangkai dengan kejujuran. Ia adalah keheningan yang menjadi indah ketika diuraikan dengan kata, sebab cinta tak bisa dipahami hanya dengan indera, melainkan dengan makna.”

Saat membaca, Leila sering kali merasa sedang jatuh cinta. Setiap metafora adalah pelukan hangat, setiap personifikasi seperti tatapan yang penuh pengertian, dan setiap rima bagai napas cinta yang terembus lembut di udara.

“Ketika seseorang mencintai dengan kata,” tulis Leila suatu malam, “Ia mencintai tanpa batas waktu karena kata-kata abadi. Bahkan, ketika aku tak lagi ada, cinta itu akan tetap hidup, tersimpan di dalam bait-bait yang pernah aku rangkai.”

Leila percaya, cinta yang sejati tidak hanya ditemukan dalam pelukan atau genggaman tangan. Cinta sejati adalah keberanian untuk menuangkan rasa dalam kata, membiarkan jiwa terbuka, dan merangkai keindahan yang tak kan lekang oleh waktu. Di sanalah, di antara tinta yang menari di atas kertas, Leila menemukan keabadian cinta.

Pada acara literasi, Laila membaca kutipan favoritnya dari salah satu tulisan Awan. Momen ini membuat Awan sadar bahwa Laila mungkin sudah memahami dirinya lebih dalam daripada yang dia bayangkan. Catatan itu berisi satu kalimat puitis yang sangat personal, sesuatu yang sering ia baca di karya anonim penulis tersebut: “Langit malam menyimpan rahasia rindu, hanya bulan yang tahu” di bawahnya terdapat inisial yang ditulis sangat halus: “Awan”.

Tulisan tangan itu sebagai milik Awan, teman yang dia kenal melalui saudaranya yang selalu ada untuknya namun tak pernah ia curigai sebagai sosok di balik kata-kata magis yang selama ini membuatnya terpesona. Ketegangan pun membuncah saat Laila mulai merangkai semua kejadian, menyadari betapa dekatnya penulis itu selama ini, tetapi ia tak pernah benar-benar menyadarinya. Laila, yang terkejut dan tersentuh, mendekati Awan setelah acara dan mengucapkan terima kasih atas tulisan-tulisannya yang telah mengisi kekosongan dalam hidupnya.

Pada suatu momen perjalanan mereka dalam rangka mempersiapkan suatu event di salah satu kota yang masih termasuk dalam tataran Pasundan, Awan akhirnya mengungkapkan perasaannya dengan cara yang unik. Mengungkap rasa cinta yang telah bergejolak di dalam dadanya untuk Laila, rasa yang telah lama dia simpan.

Untuk Laila, Sang Penjaga Cahaya dalam Hidupku

Laila,

Aku tahu ribuan kata tak akan mampu mengungkapkan seluruh isi hatiku. Namun, izinkan aku mencoba, meski kata-kata mungkin tak seindah senyummu atau sehangat tatapan matamu.

Kau adalah puisi yang tak henti aku baca, bait demi bait yang menggetarkan jiwa. Aku menemukan dirimu di setiap hembuskan angin malam, di setiap desau dedaunan yang menari bersama waktu. Aku melihatmu dalam mimpi dan dalam doa-doa panjangku. Kau hadir seperti fajar yang mengusir gulita, membawa terang yang tak pernah kuduga.

Tahukah kau, Laila? Setiap kata yang kutulis adalah tentangmu. Tentang bagaimana caramu mengisi ruang kosong dalam hidupku. Tentang caramu menjadi alasan aku tetap berdiri, meski badai sering kali mencoba meruntuhkan. Aku pernah takut untuk berkata jujur. Takut bahwa pengakuan ini akan membuat jarak di antara kita. Tapi, aku tak lagi bisa memendam perasaan yang telah tumbuh begitu dalam. Kau adalah inspirasiku, cahaya yang memandu rasa pada setiap kisah yang kita lalui sejak kita jumpa untuk pertama kali setahun silam.

Jika semesta mengizinkan, aku ingin menjadi tempatmu pulang, menjadi sandaranmu saat lelah, menjadi alasan senyummu yang paling indah. Aku ingin mencintaimu dengan cara yang sederhana, seperti hujan mencintai bumi, tak pernah meminta, hanya memberi.

Awan menyampaikan dengan segenap rasa, dan gayung bersambut Leila menerima ungkapan cinta Awan dengan rasa haru dan bahagia. Leila mencintai Awan, akhirnya cinta Leila menemukan tempatnya.

Ilustrasi: Awan dan Leila sedang berbincang-bincang di tepian telaga sambil menikmati purnama - (Sumber: Arie/BJN)
Ilustrasi: Awan dan Leila sedang berbincang-bincang di tepian telaga sambil menikmati purnama – (Sumber: Arie/BJN)

Laila dan Awan memulai kisah baru, di mana kata-kata menjadi penghubung hati mereka. Bagaimana cinta kadang ditemukan dalam diam, dan ribuan kata hanya menjadi jalan untuk memahami apa yang sudah ada sejak awal. Cinta dalam keheningan dan kekuatan kata-kata sebagai penghubung jiwa.

Kadang, semesta bekerja dengan cara yang tidak terduga untuk mempertemukan dua hati yang ditakdirkan bersama. Semesta sering kali menghadirkan pertemuan atau kejadian yang tampaknya kebetulan, namun sebenarnya menyimpan makna yang lebih besar. Ini bisa berupa peristiwa kecil, seperti bertemu seseorang di tempat yang tidak direncanakan, atau melalui situasi sulit yang justru mendekatkan dua hati. Hal-hal ini di luar kendali manusia, namun mengarah pada satu tujuan pertemuan mereka.

Takdir dua hati mengisyaratkan keyakinan bahwa ada pasangan jiwa yang telah ditetapkan untuk bersama. Meski jalan menuju kebersamaan itu mungkin berliku, penuh rintangan, atau tampak mustahil, semesta bekerja untuk memastikan mereka bertemu di waktu dan cara yang tepat.

Terkadang, apa yang tampak sebagai kejadian acak sebenarnya adalah bagian dari rencana yang lebih besar. Semesta, dalam artian ini, melambangkan kekuatan yang melampaui logika manusia, entah itu melalui takdir, keberuntungan, atau campur tangan Illahi.

Cinta sejati sering kali ditemukan dalam momen-momen yang tidak direncanakan, mengingatkan kita untuk percaya pada keajaiban perjalanan hidup dan kekuatan cinta yang telah digariskan. Kata-kata yang tulus selalu menemukan jalannya, meski butuh waktu dan keberanian untuk mengungkapkannya.

Beberapa waktu Awan dan Leila berdiskusi dan menyepakati beberapa hal yang krusial dan prinsip tentang bagaimana menjaga anugerah cinta yang kini melekat pada masing-masing diri mereka agar melahirkan kebahagiaan karena sesungguhnya manusia itu sengsara bila tak punya cinta. Akhirnya mereka meraih kesetimbangan baru untuk membangun kerajaan cinta Leila dan Awan ke depan, menyusun langkah baru dalam biduk cinta keabadian. (Febri Satria Yazid).

***

Judul: Cinta dalam Diam dan Ribuan Kata yang Tak Pernah Cukup
Pengarang: Febri Satria Yazid
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *