Cerpen “Anak Kopaja Sejati”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Cerpen berjudul “Anak Kopaja Sejati” merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama nama pena “Violet Senja”.
Panasnya ibu kota sudah terasa, meski subuh belum lama berlalu. Seperti biasa, aku berada di antara mereka yang tak mengenal batas lelah. Sang primadona yang dinanti tiba, kendaraan berwarna hijau putih bertuliskan “Kopaja” yang sudah terlihat dari jarak beberapa meter, melaju pelan di antara kendaraan yang berjalan dengan santun.
Semua merapat ke sisi jalan, lalu masuk ke dalam bus idaman, kecuali aku yang sedang membeli air mineral. Aku berlari mengejar bus yang sudah mulai melaju dan secepatnya melompat ke ambang pintu, tanpa rasa takut sedikut pun.
Ekor mataku menangkap satu kursi yang kosong. Beruntung pagi ini aku mendapatkan kopaja yang berbangku busa, meski terlihat sangat dekil. Biasanya kopaja selalu menggunakan bangku pelastik dengan warna hijau, senada dengan warna bus. Bangku yang mampu membuat bokong ngilu-ngilu jika duduk lebih dari satu jam.
Lumayan, bisa meneruskan tidur sepanjang perjalanan, gumamku seraya membetulkan posisi duduk.
Sebuah sepatu bayi dan dot berwarna biru tergantung sebagai hiasan persis terpajang di depan sopir. Kaca depan bus ditempel setiker bertuliskan “Pulang Malu Tak Pulang Rindu” yang membuatku jadi tersenyum membacanya. Mungkin Pak Sopir kopaja ini adalah seorang ayah yang sedang mengadu nasib di perantauan, berjuang mencari nafkah untuk keluarga kecilnya di rumah.
Tidak berapa lama, dalam bus sudah berjejal beragam manusia dengan aneka aroma yang berbaur menjadi satu. Mataku mulai terserang kantuk, tapi ada sesuatu yang mengusikku. Solidaritasku sebagai anak kopaja sejati sedang diuji. Seorang kakek berjalan di antara himpitan anak-anak muda yang menjadi budak corporation, termasuk aku.
Ekor mataku melirik ke kanan dan kekiri, mencoba melihat reaksi orang-orang yang ada di sekitarku. Tidak ada yang bergerak seorang pun. Semua terlihat asyik menikmati posisinya masing-masing, seakan-akan bangku kopaja itu adalah milik pribadi mereka dan tidak boleh siapapun mengusiknya. Benar-benar Tak Acuh!
Dengan ikhlas akhirnya kurelakan posisi ternyamanku dalam kopaja untuk kakek renta itu sebagai bentuk penghormatanku terhadap orang tua. Ya, mungkin baru ini setitik debu kebaikan yang baru bisa kulakukan di hari itu.
***
Menjadi penumpang pasif itu kadang-kadang asyik juga. Banyak kejadian berbeda setiap harinya. Anggap saja tontonan gratis, termasuk bertemu dengan seniman-seniman lepas alias pengamen jalanan.
Dalam rute perjalananku, ada seorang pengamen berambut gondrong. Petikan gitarnya mantap. Suaranya khas, jernih, dan menenangkan. Lagu yang dibawakannya pun tidak mengikuti trend pasaran yang dinyanyikan pengamen lain yaitu lagu-lagu jadul era 70-an yang jadi pavoritku. Tak jarang aku ikut berdendang saat ia bernyanyi.
Jika ada uang lebih, aku memberinya seribu dan mas-masnya bilang, “Terimakasih Mbak” berikut bonus senyum manisnya. Sengaja atau tidak yang pasti setiap pulang kerja aku selalu menunggu kedatangan pengamen itu masuk ke dalam kopaja yang aku tumpangi, seperti mood boster saat otak dan badan lelah setelah bekerja.
Beda hal jika pagi, aku sudah dandan rapih, cantik, dan wangi. Tiba-tiba datang pengamen, seorang ibu-ibu berwajah datar yang selalu bernyanyi entah lagu dari era mana. Pastinya aku langsung merasa dekil, lemas, letih, dan lesu seperti kurang darah. Jadi bad mood!
Tempat duduk favorit aku adalah di bangku ketiga, baris paling belakang atau di pojokan. Nah! Ada apa di sana? Aksi para seniman bus kopaja yang menorehkan sekelumit karyanya di sana berupa pesan cinta dengan spidol, bolpoin atau tip-x.
“Kamu adalah pikiran terakhir dalam pikiranku sebelum tidur dan pikiran pertama ketika aku bangun tidur”, itu salah satu kalimat yang tertulis di sana. Nice!
“Kamu mungkin memegang tanganku sementara, tapi kamu memegang hatiku selamanya”, tulisan lainnya yang tak kalah menarik perhatianku. Ah, masih banyak lagi coretan-coretan yang entah siapa pembuatnya. Semua tampak seperti ungkapan spontan yang tak memerlukan jawaban dari pembacanya.
Bisa jadi salah satu dari si empunya kata-kata itu kini sudah menjadi seniman besar. Kukeluarkan bolpoin boxi tinta biru dari tasku dan turut menggoreskan kenangan di sana, meniru kelakuan para seniman jalanan tersebut.
“Jika kamu mencintai seseorang, bebaskanlah mereka. Jika mereka kembali maka ia milikmu. Jika tidak, tinggalkan dan lupakanlah”, kalimat itu kutulis sebaris di belakang bangku sebelum meninggalkan tempat dudukku.
Semoga kelak aku menjadi seniman besar tatkala mengingat tulisan pertamaku ini dan bisa di baca semua, gumamku sambil terkekeh sendiri. Boleh dong punya mimpi!
***
Bagi warga ibu kota, kopaja memiliki tempat tersendiri dalam kenangan. Berbagai tingkah polah warga ibu kota berbaur jadi satu dalam kuasa sang sopir. Kita pun sering kali di buat sport jantung dengan ulah pengendara bus ini yang kadang enggak punya akhlak di jalan. Melaju seenaknya sendiri bagai jalanan ini milik nenek moyangnya.
Penumpang kopaja sangat beragam. Ada mas-mas ganteng, juga mbak-mbak yang cantik, mereka adalah para pegawai kantoran yang rapih dan wangi. Namun, terkadang ada juga rombongan orkes. Bahkan, rombongan pengamen kuda lumping.
Tingkah polah para penumpangnya pun aneh-aneh dan lucu-lucu. Namun, ada juga yang enggak lucu, yaitu saat ada seseorang ngelakuin sexsual abuse alias curi-curi kesempatan, seperti pegang-pegang barang yang bukan miliknya, atau mepet kayak arus lalu lintas yang lagi macet-macetnya.
“Aduh! Mbak kaki saya keinjak,” teriak seorang laki-laki yang berusaha mepet di belakangku.
“Mundur kalau tidak mau keinjak!” Seruku jutek, seraya mengangkat kakiku yang sengaja kuinjakkan di atas kakinya.
Jurus menginjak kaki itulah yang selalu aku gunakan jika ada mahluk yang kelakuannya tidak kasat mata. Biar kapok! Makhluk tak beradab itu memang harus dikasih pelajaran.
Ada juga kopaja yang tidak berkenek. Wah, asyik nih enggak ada keneknya, gumamku kala itu. Setelah itu tiba-tiba kopaja berhenti. Sang sopir beralih ke bangku penumpang untuk meminta ongkos. Ternyata setiap beberapa meter hal itu dilakukan sang sopir.
Selain itu, ada juga yang turun sebelum sopir meminta ongkos, tapi dengan jujurnya para penumpang menghampiri bangku sopir untuk memberi ongkos. Hebat!
Kejujuran di uji di sini, dalam kopaja tak berkenek, padahal bisa saja kita diam-diam turun dari pintu belakang. Ini benar-benar sebuah kenangan manis bersama kopaja si angkutan umum fenomenal ibu kota. Setiap hari tidak pernah habis cerita. Penumpang setia pun bisa kita lihat dari caranya menaiki kopaja.
Kalau dulu kalian pernah melihat ada seorang cewek naik kopaja yang masih berjalan tanpa rasa takut, mungkin itu adalah aku! Si anak kopaja sejati. (Violet Senja).
Note:
Cerita ini sebagai pengobat rindu untuk kalian yang memiliki kenangan manis dalam kopaja, angkutan umum fenomenal yang kini tinggal kenangan.
***
Judul: “Anak Kopaja Sejati”
Pengarang: Neneng Salbiah
Editor: JHK
Sekilas tentang pengarang
Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platfoam. Tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang sikotropika ini juga merupakan seorang ibu ruah tangga, ibu dari satu orang putri dan satu orang putra.