Cerpen “Aku Anak Emak, Anak Merdeka”
Berita Jabar News (BJN), cerita pendek (cerpen) berjudul “Aku Anak Emak, Anak Merdeka” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Sore itu, selesai salat Magrib, tidak seperti biasa Emak memanggil kami berdua, anak-anaknya. Kami diminta Emak berkumpul di seputaran sajadahnya, lalu ia bercerita.
Emak bilang, “Sudah beberapa hari ini Mamangmu, Mang Danu, lagi sakit dan terbaring lemah di rumahnya. Tolong setiap selesai sholat doakan untuk kesembuhannya ya.”
“Sakit apa emang dia Mak?” Sahut adikku.
Aku diam.
“Entah sakit apa, Mang Danu sekarang lebih banyak diam di kamar, di tempat tidur dan tergeletak di atas kasur. Dia tidak mampu berjalan jauh dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Urusan kecil ke belakang pun dia perlu bantuan,” tambah Emak.
Emak melanjutkan ceritanya bahwa kedua kaki Mang Danu tidak kuat lagi menyangga tubuhnya yang sebenarnya tidak terlalu besar. Sesekali berjalan ke luar kamar, tapi harus perlahan dibantu tongkat, kursi roda atau dituntun. Istrinya merawat dan beberapa hari sekali mengantar ke rumah sakit untuk kontrol.
“Jika Mang Danu berjalan tanpa bantuan, dalam beberapa langkah saja dia akan jatuh terpuruk seperti selimut terlempar dari tempat tidur,” kata Emak.
“Kasihan juga ya Mak, kayak ayam jantan sayapnya patah, tidak berdaya. Padahal belum tua kan Mak?” Balas adikku lagi.
Aku masih diam tidak berkomentar.
Emak menjelaskan bahwa umur adiknya itu sebenarnya belum bisa disebut tua. Namun, untuk ukuran zaman sekarang ini, penyakit apapun seperti tidak pandang usia lagi. Penyakit yang dulu kedengarannya hanya menyerang orang yang berusia tua, kini pun diderita oleh anak-anak muda.
“Itu di RT sebelah, ada anak muda masuk rumah sakit gara-gara terserang stroke. Makanya kamu pada jangan suka begadang,” kata Emak.
Aku yang dari tadi diam saja, rupanya memancing Emak ngomong, “Kamu kenapa diam Nak? Boleh saja kalau gak suka sama Mang Danu, tapi tolong kali ini doakan Mamang ya. Apa sih susahnya mendoakan orang?”
Aku masih enggan ngomong berkomentar tentang Mang Danu. Bagiku, dia hanya lelaki adik Emak dengan sederet label-label negatifku.
Emak meneruskan ceritanya bahwa Mang Danu kini tidak bisa pulang kampung sesering sebelumnya. Biasanya dia pulang saat liburan hari-hari besar, hajatan keluarga, atau pulang saat ada kabar duka, kerabat meninggal.
“Mang Danu,” kata Emak, “Semenjak remaja pergi merantau ke Ibukota. Dari ketekunan dan kerja kerasnya, dia berhasil memiliki usaha yang terus tumbuh dan berkembang. Mang Danu hidup sederhana, tidak semua hasil usahanya dinikmati sendiri.”
Sebenarnya aku tidak tahu apa usahanya mang Danu, tetapi tampaknya gaya hidupnya memang biasa saja. Dia bawa mobil, mobil biasa. Pakaian yang dia kenakan dan penampilannya saat pulang kampung juga biasa. Istrinya juga biasa saja dan tidak cantik-cantik amat.
Aku memang tidak suka dia. Itu sejak aku tidak bisa melupakan kata-kata kasarnya pada suatu malam dulu gara-gara tidak mau mengantarnya ke terminal menuju Jakarta. Kata-kata bernada merendahkan, menyerempet ke Emak. Aku tidak terima dan masih teringat hingga kini.
Saat itu aku sudah mengadu ke Emak, tapi katanya aku yang terlalu sensitive. Mungkin benar kata Emak, nyatanya aku susah melupakan.
Bagiku, kehadiran Mang Danu seringkali malah hanya membawa suasana menjadi kaku, keki, dan serba salah. Ada saja yang salah di matanya. Ada saja yang harus aku telan dari omongannya yang nyelekit, petuah ini dan itu, atau kerjakan ini dan itu.
Hanya satu hal yang aku kangeni yaitu caranya berjalan. Di mataku, cara berjalannya itu terkesan pongah, sombong, tinggi-hati, meremehkan yang lain, dan hanya mau dihormati.
Kalau berjalan mukanya lurus ke depan. Sesekali menundukpun hanya untuk memastikan tanah yang akan diinjaknya rata dan tidak berlubang. Setiap kali aku lihat cara berjalannya, setiap kali itu pula aku merasakan kepongahannya.
Aku sering membatin, Sombong banget! Kenapa sih tidak berjalan biasa saja, santai dengan lambaian alami. Orang berjalan tentu wajahnya menatap ke depan, tapi juga diselingi tengok kanan dan kiri dengan bibir siap tersenyum dan mulut siaga menyapa, tampak indah bukan?
Sejauh ini belum pernah sekali pun aku lihat dia lebih dulu menyapa orang, padahal sapaan sederhana sudah cukup mencairkan suasana, “Sehat?”, “Mau ke mana?”, “Jalan-jalan pagi?” atau “Berangkat sekolah?”.
Luka hatiku belum bisa terhapus meski sebenarnya Mang Danu punya sisi baik juga. Dia itu suka membantu Emak. Sepertinya tidak ada yang tidak bisa dia lakukan untuk Emak meski tidak semua berakhir baik.
Seperti pernah suatu hari, Mang Danu datang ke rumah saat kebetulan televisi (TV) kami sedang ngadat. TV tabung itu kalau dihidupkan sama sekali tidak bisa dinikmati. Di layar hanya ada segerombolan semut dan suara kemresek.
Dengan sigap Mang Danu mengutak-atik mau memperbaiki. Aku dimintanya membantu, ambilkan obeng, selotip, gunting, dan angkat ini atau geser itu. Aku pun dengan sukarela membantunya. Namun, ternyata kerusakannya tidak sesederhana yang dikira.
Walau Mang Danu terus mencoba memperbaiki TV tersebut sampai bermandi keringat, tetapi TV tidak juga kembali sehat. Ketika dicoba, semutnya tambah banyak. Emak merasa iba melihat Mang Danu tampak kelelahan. Bantuannya berakhir dengan kegagalan.
“Sudahlah Danu, TV ini memang sudah tua, nanti dibawa ke bengkel saja,” kata Emak.
Akulah yang lantas pergi ke bengkel reparasi. Kata orang bengkel, kerusakannya berat dan biaya reparasinya hanya beda sedikit dengan harga TV baru.
Pulang dari bengkel aku bilang ke Emak, “Mak, kata orang bengkel, sebaiknya beli TV baru saja, ongkos servisnya mahal.”
“Haaah, Emak duit dari mana?” Jawab Emak terperangah, kaget.
“Minta Mang Danu Mak, dia kan banyak duit,” sahutku lugu.
Emak menjawab dengan agak sewot, “Emak gak pernah minta-minta Nak. Kamu juga jangan suka minta-minta yaaa!”
“Baik Mak,” jawabku cepat.
Emak menimpali, “Emak kumpulin uang dulu. Kalian bantu berhemat. Mulai besok gak ada lagi uang jajan.”
Daripada tidak bisa nonton TV, aku jawab,“Siaap Mak.”
Ternyata kami tidak siap dengan rumah yang sepi dari suara TV sehingga tidak ada tontonan dan tidak bisa mengikuti berita terkini. Aku sebenarnya berharap Mang Danu membantu uang walau cuma sedikit, tetapi ternyata tidak sepeser pun dia kasih. Dalam hati aku bilang, Oh ternyata selain sombong, dia juga pelit.
Sejak kecil Emak mengajariku berperilaku hormat kepada Mang Danu. Emak tahu benar apa yang aku rasakan. Bahkan, aku diharuskan menggunakan bahasa daerah halus yang kadang menjadikanku merasa rendah.
Kalau Mang Danu ke rumah, Emak menyuruhku menemuinya. Tentu aku turuti meski sebenarnya enggan. Acapkali kalau dia datang, aku memilih menghindar pergi. Aku punya alasan untuk pergi, bisa main bola, mancing, atau belajar bersama.
Kalau ketemu Mang Danu, ada saja yang membuatku tidak nyaman. Seperti terjadi pada suatu hari ketika sepeda motor Pak Sekretaris Desa (Sekdes) mogok di depan rumah. Aku yang sedang asyik baca buku disuruhnya ambil obeng, amplas besi, dan gunting untuk membantunya memperbaiki.
Sebentar kemudian, motor sudah hidup. Pak Sekdes tentu saja sangat berterima kasih. Setelah Mang Danu pergi, aku temui Emak di emperan rumah.
“Mak, kok tumben Mang Danu mau mbenerin sepeda motor Pak Sekdes? Pasti ada maunya ya Mak?”
Emak menjawab, “Nak, jangan selalu berprasangka buruk begitu! Mau membantu orang kan bagus, apa sih salahnya?”
“Ya gak ada yang salah Mak,” jawabku.
Aku tahu Emak memang selalu mencegah aku bertambah benci. Aku menduga Mang Danu berbaik-baik sama Pak Sekdes karena memang ada maunya. Dia ingin urusannya dengan kantor desa lancar.
Di benakku terlanjur tertanam citra Mang Danu suka pilih-pilih orang, apalagi orang lain, aku saja yang masih kerabat dekatnya, kalau tidak menyapa lebih dulu, bisa dianggap angin lalu. Oleh karena itu, aku sering memilih untuk tidak menyapanya. Namun, akibatnya aku sering dimarahi Emak.
Suatu hari Emak menegurku, “Nak, bagaimanapun Mang Danu itu Mamangmu. Apa sih susahnya mengucap salam? Dijawab atau tidak itu urusannya, tapi menyapa dulu itu lebih baik daripada dianggap bersikap kurang hormat.”
“Iya Mak,” jawabku singkat.
Dalam hati aku membatin, Aku heran, dia itu di satu sisi sombong, tetapi di sisi lain kok suka mengadu ya?
Entah ada apa di benakku, tapi kata batinku semakin liar, Kini dia terkapar tidak berdaya dan tidak bisa sering pulang kampung, mungkin itu karma dari perilaku sombongnya.
Permintaan Emak agar aku ikut mendoakannya pun belum aku turuti. Belum sepenggal doa pun yang aku panjatkan.
Sampai pada suatu pagi saat sarapan, Emak cerita, “Kaki Mang Danu benar-benar tidak kuat lagi menyangga tubuhnya berjalan. Banyak sekali makanan yang harus dihindarinya, termasuk jengkol, petai dan jerohan kesukaannya.”
“Lhoo Emak tahu dari siapa? Siapa yang dari sana, kok kayak tahu banget?” Tanya adikku dengan nada heran.
“Kata Pak Sekdes yang baru semalam pulang bersama rombongan satu mini bus nengok Mang Danu,” jawab Emak.
Aku mulai heran, kok pada nengok? Berombongan pula. Orang seperti Mang Danu, apa istimewanya?
“Kata Pak Sekdes, besok malam akan berangkat menyusul satu rombongan lagi,” lanjut Emak.
“Ikut saja Mak,” kata adikku.
“Emak tadinya memang mau ikut, tapi terus ingat seminggu ini lagi memupuk sawah, Emak gak jadi pergi. Hanya titip salam dan sedikit bingkisan untuk Mamang,” jelas Emak.
Ada rasa ingin tahu mengapa orang-orang mau repot menengoknya? Biarlah aku menunggu Emak nanti pasti cerita sendiri.
Emak terus bercerita yang berisi banyak pujian dan menyuruh kami suatu hari nanti menirunya. Cerita ini menjawab pertanyaanku, kenapa banyak yang jauh-jauh menjenguk Mang Danu di Ibu kota.
Mang Danu rajin bersedekah untuk orang-orang yang tidak mampu, terutama orang-orang tua. Dia juga secara rutin menyantuni anak yatim dan juga banyak menolong anak-anak muda bekerja dan berusaha secara mandiri. Dia melakukannya diam-diam karena dia tidak ingin dipuji. Menurutnya pujian akan merusak amal sedekahnya. Biar Tuhan saja yang tahu.
Emak menambahkan, “Mang Danu yang belum punya anak sebenarnya ingin mengajarimu Nak. Membimbingmu menjadi pemuda tangguh yang tahan godaan dan tempaan hidup. Mau bekerja keras.”
“Dunia ini milik mereka yang tangguh, tahan tempaan dan mau bekerja keras. Bukan pemuda yang maunya leha-leha, rokok, minum, makan tidur, hidupnya menjadi beban orang lain,” kata Emak lebih jauh.
“Niat yang mulia itu Mak,” kataku.
“Iya betul mulia sekali, hanya sayangnya kamu selalu menjauh dan tidak suka dekat dengannya. Mang Danu berpikir mau beralih mengajari adikmu, tetapi menurut dia, adikmu masih terlalu kecil,” balas Emak.
Aku dengarkan omongan Emak yang panjang lebar dengan seksama, tanpa sekali pun aku menyela. Aku menyimaknya hingga selesai. Aku merasa tidak perlu banyak berkomentar.
Anehnya, dari cerita Emak, bukan rasa sesal dan iba yang muncul. Justru yang muncul rasa salut dan hormat pada pencapaian Mang Danu. Aku juga menghargai keinginannya utuk membantuku.
Aku sendiri percaya dengan kemampuanku dan kekuatanku sendiri untuk maju. Orang punya jalan dan cara hidup sendiri-sendiri. Akau tidak bisa membayangkan apa kata hati Mang Danu nanti seandainya dengan bimbingannya aku menjadi orang berhasil.
Tidak. Akan aku buktikan pada Emak dan pada dunia bahwa aku bukan anak manja. Aku, anak Emak, anak merdeka!
Purwokerto, 7 Januari 2024.
Sarkoro Doso Budiatmoko.
***
Judul: Aku Anak Emak, Anak Merdeka
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.
Pengalamannya menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang” lalu “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.
Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.
***