ArtikelBerita Jabar NewsBJNBudaya

Air, Bambu, dan Pencak: Menyelami Jati Diri Sunda yang Terlupakan

BERITA JABAR NEWS (BJN), Rubrik OPINI, Kamis (13/11/2025) – Esai berjudul Air, Bambu, dan Pencak: Menyelami Jati Diri Sunda yang Terlupakanini adalah karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis/pengarang, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Di tengah derasnya arus modernisasi, budaya Sunda tak sekadar bertahan sebagai warisan, tetapi sebagai karakter hidup yang terus menyala. Ki Jatnika Nanggamiharja, seorang budayawan, aktivis lingkungan, dan pendekar pencak silat, mengajak kita menyelami makna terdalam dari jati diri Sunda—bukan sebagai identitas administratif, melainkan sebagai laku hidup yang berakar pada nilai-nilai luhur.

Bagi Ki Jatnika, budaya bukan sekadar tradisi atau artefak masa lalu. Budaya adalah daya menuju kebaikan. Ia lahir dari Budi dan Daya—kesempurnaan batin dan usaha manusia untuk menjadi lebih baik. Oleh karena itu, budaya Sunda bukan hanya tentang pakaian, makanan, atau bahasa, tetapi tentang bagaimana manusia membentuk dirinya agar selaras dengan alam dan sesama.

Ki Jatnika Nanggamiharja
Ki Jatnika Nanggamiharja sedang bermain pencak silat – (Sumber: Arie/BJN)

Sunda, dalam pemahaman Ki Jatnika, adalah karakter yang menyerupai air. Air yang jernih, fleksibel, menenangkan, dan mampu menyesuaikan diri dengan segala bentuk kehidupan. Ia menyebut bahwa nama-nama kampung di Tatar Sunda yang diawali dengan “Ci”—seperti Cibodas, Cisarua, Ciawi—menunjukkan kedekatan masyarakat dengan sumber kehidupan: air. Filosofi ini meresap hingga ke dalam laku perempuan Sunda yang idealnya memiliki sifat seperti air: lembut, menyejukkan, dan menjadi tempat berlabuh.

Karakter Sunda digambarkan melalui sembilan ciri utama: darehdeh (berbicara teratur), daria (menyembunyikan kesulitan), balaba (berbagi milik untuk orang banyak), nyecep (menghibur yang bersedih), ngajenan (menghormati), dan beberapa lainnya yang semuanya berakar pada semangat kebaikan. Karakter-karakter ini bukan sekadar etika sosial, tetapi menjadi fondasi spiritual yang membentuk masyarakat yang harmonis.

Dalam ranah bela diri, pencak silat Cimande menjadi cerminan paling utuh dari filosofi Sunda. Pencak bukan sekadar teknik bertarung, tetapi jalan pembentukan diri. Seorang pendekar harus menggembleng lima aspek: fisik, akal, rasa, hati, dan ruh. Lima unsur ini membentuk manusia yang utuh, tidak hanya kuat secara jasmani, tetapi juga bijak dan berakhlak.

Ki Jatnika menjelaskan bahwa istilah “pandekar” berasal dari “pande” dan “mandek”—orang yang menggembleng dan membentuk diri. Dalam tradisi Cimande, proses pembelajaran dimulai dengan talek, yaitu sumpah dan nasehat spiritual yang harus dihayati sebelum mempelajari jurus. Ini menunjukkan bahwa pencak silat bukanlah seni kekerasan, melainkan jalan pengendalian diri dan pengabdian kepada Tuhan.

Warisan spiritual Sunda juga terpatri dalam sejarah Kerajaan Pajajaran. Tokoh-tokoh seperti Prabu Siliwangi dan Sri Baduga Maharaja bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga penjaga nilai-nilai budaya dan spiritual. Pajajaran, dengan pusatnya di Pakuwon Bogor, menjadi simbol kejayaan dan keharmonisan antara pemerintahan, budaya, dan agama. Mahkota binokasih, gelar Siliwangi, dan situs-situs seperti Lawang Saketeng dan Batutulis menjadi jejak-jejak yang mengingatkan kita akan peradaban yang menjunjung tinggi kasih sayang dan kebijaksanaan.

Ki Jatnika juga menekankan pentingnya pilar-pilar budaya Sunda yang harus dijaga agar tidak hilang ditelan zaman. Pilar-pilar itu meliputi bambu, pencak, kecapi-suling, pertanian, dongeng, dan pustaka. Bambu, misalnya, bukan hanya bahan bangunan, tetapi simbol keikhlasan dan kekuatan yang lentur. Pencak silat menjadi wakil budaya gerak, kecapi-suling mewakili budaya musik, dan dongeng menjadi jembatan nilai-nilai kepada generasi muda.

Dalam upaya menggabungkan spiritualitas dan kesehatan, Ki Jatnika menciptakan senam hijaiyah Indonesia. Gerakan-gerakan senam ini diselaraskan dengan huruf-huruf hijaiyah dan dzikir, sehingga menjadi latihan tubuh sekaligus jiwa. Ia percaya bahwa membaca huruf hijaiyah dengan benar, disertai pernapasan yang tepat, dapat memperbaiki fungsi saraf dan menenangkan jiwa. Senam ini bukan sekadar olahraga, tetapi bentuk ruqyah dan meditasi yang mengakar pada tradisi Islam dan budaya Sunda.

Melalui refleksi mendalam Ki Jatnika, kita diajak untuk melihat bahwa jati diri Sunda bukanlah sesuatu yang eksklusif atau terbatas pada wilayah geografis. Ia adalah karakter, laku hidup, dan spiritualitas yang bisa tumbuh di mana saja, selama nilai-nilainya dijaga dan dihayati.

Dalam dunia yang semakin bising dan serba cepat, budaya Sunda menawarkan jalan yang tenang, jernih, dan penuh makna—seperti air yang mengalir, bambu yang lentur, dan pencak yang membentuk manusia seutuhnya.. (Didin Tulus).

***

Judul: Air, Bambu, dan Pencak: Menyelami Jati Diri Sunda yang Terlupakan
Penulis: Didin Tulus, sang Petualang Pameran Buku
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas Info Penulis

Didin Tulus lahir di Bandung pada 14 Maret 1977. Ia menghabiskan masa kecilnya di Pangandaran, tempat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA YAS Bandung.

Didin Tulus
Didin TUlus, penulis dan pegiat literasi – (Sumber: BJN)

Setelah lulus SMA, Didin Tulus melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Fakultas Hukum. Selain itu, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, jurusan Seni Rupa.

Aktifitas dan Karir

Didin Tulus memiliki pengalaman yang luas di bidang penerbitan dan kesenian. Ia pernah menjadi marketing pameran di berbagai penerbit dan mengikuti pameran dari kota ke kota selama berbulan-bulan. Saat ini, ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan independen.

Pengalaman Internasional

Didin Tulus beberapa kali diundang ke Kuala Lumpur untuk urusan penerbitan, pembacaan sastra, dan puisi. Pengalaman ini memperluas wawasannya dan membuka peluang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas sastra internasional.

Kegiatan Saat Ini

Saat ini, Didin Tulus tinggal di kota Cimahi dan aktif dalam membangun literasi di kotanya. Ia berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian dan sastra.

Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang luas, Didin Tulus telah membuktikan dirinya sebagai seorang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang kesenian dan penerbitan.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *