ArtikelBerita Jabar NewsBJNEkonomiOpini

Kebijakan Pajak dan APBN Indonesia: Dampak, Tantangan, dan Solusi dalam Perspektif Islam

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Selasa (21/01/2025) – Artikel berjudulKebijakan Pajak dan APBN Indonesia: Dampak, Tantangan, dan Solusi dalam Perspektif Islam” ini ditulis oleh Annisa Aisha, Pemerhati Kebijakan Publik. Penulis tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Kas keuangan merupakan suatu hal yang penting dalam sebuah negara. Jika kas keuangan suatu negara kosong maka bisa berakibat fatal terhadap kehidupan masyarakatnya karena sejatinya pembangunan yang dilaksanakan negara akan bermodalkan dari kas keuangannya sehingga pengelolaan kas negara beserta sumber-sumbernya harus dilaksanakan dengan baik.

Di Indonesia kas negara dikenal juga dengan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Sumber pendapatan APBN ada penerimaan dalam negeri dan penerimaan hibah. Untuk penerimaan dalam negeri terdiri atas penerimaan perpajakan dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Yang akan kita fokuskan dalam tulisan ini adalah penerimaan pajak. Alasan penulis mengambil topik ini karena perkembangan PPN yang menjadi sorotan masyarakat negeri zambrud khatulistiwa cukup menarik untuk dibahas.

Pekerja asing
Ilustrasi – Seorang konsultan pajak yang bekerja di sebuah perusajaan jasa keuangan – (Sumber: Arie/BJN)

Sejak wacana pemerintah menaikan PPN menjadi 12% per Januari 2025 hingga kebijakan ini “dibatalkan” dan hanya menyasar barang-barang premium. Opini di tengah masyarakat pun beragam, walaupun banyak masyarakat yang kontra akan kebijakan ini namun tak dipungkiri ada lapisan masyarakat yang merasa harus “berterimakasih” pada negara dengan membayar pajak. Tulisan ini akan membedah kesalahan sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber penerimaan APBN.

Perekonomian dunia diperkirakan akan menghadapi tantangan berat pada 2025. Proyeksi IMF pun menunjukkan pertumbuhan ekonomi dunia akan stagnan di kisaran 3,2% pada 2025. Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengatakan risiko-risiko global semakin meningkat dan ekonomi global sedang dalam ketidakpastian yang semakin besar. Menurutnya, ada risiko geopolitik, dengan potensi eskalasi konflik regional, yang dapat memengaruhi pasar komoditas.

Kemudian, ada peningkatan proteksionisme, kebijakan-kebijakan proteksionis, gangguan-gangguan dalam perdagangan yang juga dapat mempengaruhi aktivitas global. (cnbcindonesia.com, 2 Desember 2024). Kondisi ini tentunya akan mempengaruhi APBN negara, pendapatan negara dari SDA yang sebetulnya tidak optimal karena privatisasi SDA pun menurun karena harga komoditas ekspor andalan Indonesia seperti batu bara, minyak sawit dan nikel menurun. Hal ini pun mengakibatkan pendapatan dari royalty dan pajak perusahaan-perusahaan tambang juga perkebunan ikut menurun.

Di sisi lain belanja negara pada 2025 ini pun tak ubahnya sama dengan di tahun-tahun sebelumnya yakni belanja negara untuk hal yang tidak terkait dengan kesejahteraan rakyat. Misalnya, pada 2025, pembayaran cicilan utang yang jatuh tempo beserta bunganya masing-masing mencapai Rp 800,33 triliun dan Rp 552,8 triliun.

Dilansir dari website kementerian keuangan, anggaran prioritas yang diusung dalam APBN 2025 bertujuan mendorong tercapainya agenda pembangunan. Alokasi prioritas tersebut mencakup sektor pendidikan sebesar Rp724,3 triliun; perlindungan sosial Rp504,7 triliun; infrastruktur Rp400,3 triliun; kesehatan Rp197,8 triliun; ketahanan pangan Rp139,4 triliun; serta hukum dan hankam Rp375,9 triliun.

Namun apakah agenda pembangunan ini murni untuk kesejahteraan masyarakat ataukah kepentingan kapitalis. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa oligarki begitu menguasai Indonesia bahkan memiliki pengaruh dalam penentuan kebijakan.

Juga terpampang jelas di hadapan kita fakta-fakta kebijakan yang pada akhirnya tidak dirasakan oleh masyarakat. Contohnya, anggaran pendidikan yang diamanatkan 20 persen dari total pengeluaran justru tak mampu diserap oleh Pemerintah. Sebanyak Rp 111 triliun tak terserap pada tahun 2023.

Anggaran yang menganggur itu sangat ironis di tengah mahalnya biaya pendidikan yang mengakibatkan banyak anak usia sekolah yang putus sekolah atau tak dapat bersekolah lantaran biaya yang tak terjangkau. (alwaie.net, 20 Desember 2024). Anggaran belanja negara pada akhirnya hanya akan dihabiskan pada proyek-proyek yang menguntungkan para oligarki. Sementara Ketika APBN defisit, pemerintah memberlakukan pajak pada masyarakat yang justru menjadi beban di tengah biaya hidup tinggi.

Inilah kondisi sumber anggaran di Indonesia dan bagaimana pemerintah membelanjakannya. Bisa kita katakan pemerintah tak memiliki sumber tetap dalam penerimaan negara, alhasil Ketika pajak royalty dari perusahaan-perusahaan besar menurun dan hibah (devisa, investasi) pun menurun maka rakyatlah yang menjadi korban dengan harus melaksanakan wajib pajak, padahal kehidupan rakyat sendiri sudah sangat sempit, kenaikan harga bahan makanan pokok, pajak kendaraan, belum lagi urusan kesehatan yang tiap bulannya harus membayar premi sementara pelayanannya sangat minim. Sementara peruntukan APBN juga bukan untuk rakyat melainkan untuk program pembangunan yang menguntungkan oligarki.

Inilah negara dalam pusaran arus kapitalisme global dimana posisi Indonesia dalam konstelasi politik internasional adalah sebagai negara pengekor artinya negara yang “membebek” pada negara kampiunnya kapitalisme yakni Amerika Serikat sebagai negara nomor satu saat ini menjadikan Indonesia terikat baik dalam sistem politik maupun ekonomi.

Pajak dan Keuangan
Ilustrasi: Pajak dan keuangan – (Sumber: Arie/BJN)

Indonesia terjebak dalam instrumen kapitalisme dimana sistem elektoral negeri ini meniscayakan masuknya oligarki, pemodal asing maupun dalam negeri untuk membiayai calon penguasa. Jika memang keberhasilan seseorang meraih tampuk kekuasaan bergantung pada komitmennya untuk melaksanakan kapitalisasi di negara ini maka mereka harus membayar para pemodal tadi dengan uang secara langsung, dan inilah yang menyebabkan banyaknya korupsi.

Bisa juga dengan membuat regulasi dengan memberikan hak pengelolaan SDA atau kebijakan lain seperti omnibuslaw yang jelas tak berpihak pada rakyat. Namun, melanggengkan cengkraman kapitalis di negeri yang kaya akan sumber daya alam ini. Ini dalam konteks dalam negeri. Lantas bagaimana dengan di luar negeri?

Setiap negara wajib berpartisipasi dalam pasar bebas yang sebetulnya sudah disetting sedemikian rupa siapa yang berkuasa di sana. Belum lagi keberadaan dolar sebagai mata uang internasional yang sejatinya adalah alat penjajahan, membuat mata uang rupiah semakin tersisih yang berimbas pada mahalnya biaya hidup dan rakyatlah yang menanggung penderitaannya.

Dari sini sudah sangat jelas bahwa aspek yang seharusnya menjadi sumber pendapatan APBN malah dikelola asing. Andaikan Indonesia mendapatkan dividennya maka itu tak sebanding dengan hasil pengelolaan SDA yang “diambil” asing.

Masuknya Indonesia pada pasar bebas dalam narasi ekspor juga tak menjadkan APBN terisi karena geopolitik dunia akan mempengaruhi pasar global dan geopolitik dunia disebabkan oleh keinginan negara adidaya yakni Amerika Serikat untuk menguasai dunia, menancapkan hegemoninya di setiap negara sehingga manuver-manuver politik dilakukan AS yang menyebabkan panasnya eskalasi politik dunia: perang di Suriah, genosida Gaza, perang Ukraina hingga ancaman nuklir di semenanjung Korea.

Dengan gambaran seperti ini jelas bagaimana posisi Indonesia dan kenapa kebijakan pajak diambil sebagai sumber pemasukan APBN yang pada akhirnya rakyat menjerit karena seluruh aspek kehidupannya “dipajaki” seperti rakyat harus berterima kasih pada negara, padahal kebijakan negara acapkali lebih memihak oligarki daripada rakyat, terjebak dalam pusaran arus kapitalisme yang membuat negara ini tak berdaya hingga harus memungut pajak pada rakyatnya demi mencapai pembangunan dengan standar SDGs (Sustainable Development Goals) yang pada hakikatnya adalah agenda penjajahan berkelanjutan di bawah PBB.

Pajak Dalam Islam

Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam seharusnya bisa menjadi negara adidaya dengan ekonomi yang mapan sehingga tak perlu lagi memungut pajak dari masyarakat. Hal ini hanya bisa terjadi jika Indonesia menerapkan sistem Islam sebagai aturan bernegara. Hukum asal menarik pungutan (pajak) dari rakyat adalah haram. Hanya saja, syariah Islam telah menetapkan kondisi-kondisi tertentu yang membolehkan negara menetapkan pajak atas rakyat.

Hanya saja, pajak (dharîbah) yang ditetapkan oleh negara Islam tentu saja tidak sama dengan pajak di negara kapitalis, baik dari sisi latar belakang, tujuan, dan peruntukkannya. Perbedaan pajak (dharîbah) dalam negara Islam dengan negara kapitalis adalah sebagai berikut:

Pertama, karena hukum asal dharîbah (pajak) adalah haram maka dharîbah hanya akan ditarik kembali ketika negara Islam dalam keadaan darurat. Pajak tidak akan dikenakan dalam keadaan normal.

Adapun yang dimaksud dengan keadaan darurat di sini adalah suatu keadaan yang jika negara tidak menarik pungutan (pajak) akan menimbulkan kerugian bagi rakyat, atau menyebabkan terhambatnya pengaturan urusan rakyat.

Hal ini bisa saja terjadi ketika harta di Baitul Mal habis, atau tidak mencukupi untuk menutupi kepentingan rakyat yang dharûri , atau tidak mencukupi pembiayaan pengaturan-pengaturan urusan rakyat oleh negara. Hanya dalam keadaan seperti ini, pajak dapat ditarik. Selain kondisi ini, penarikan pajak dianggap sebagai tindak kezaliman.

Kedua , dalam Islam, penarikan pajak dilakukan secara selektif. Artinya, tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak. Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenakan pajak.

Ketiga , dharîbah (pajak) dalam pandangan syariah Islam adalah pemasukan yang bersifat pelengkap, bukan sebagai pemasukan utama dalam APBN. Islam hanya akan memungut pajak jika negara berada dalam keadaan darurat, yaitu ketika harta di Baitul Mal tidak mencukupi.

Pajak dalam sistem kapitalis yang dikenakan atas semua barang, transaksi, serta jasa termasuk dalam pungutan yang diharamkan oleh syariah. Pasalnya, pungutan semacam ini merupakan bentuk kezaliman dan perampasan hak orang lain. Islam melarang segala bentuk kezaliman dan pelanggaran terhadap hak milik orang lain.

Pada dasarnya, pos-pos pendapatan dan pengeluaran yang terdapat di dalam neraca anggaran negara telah ditetapkan oleh syariah Islam. Syariah Islam telah menetapkan pos-pos pendapatan yang bersifat baku, seperti fai’, jizyah, kharaaj, 1/5 dari harta rikaaz dan zakat.

Harta-harta dari pos-pos ini tetap ditarik dan menjadi pendapatan Baitul Mal, baik di sana ada kebutuhan atau tidak.  Adapun dhariibah (pajak) adalah pemasukan yang bersifat pelengkap. Ia tidak boleh dijadikan sebagai pos pendapatan dalam anggaran belanja negara.

Lalu terkait penyiapan anggaran pada pos-posnya, rinciannya, serta besaran yang ditetapkan di dalamnya maka semua itu telah diatur dan ditetapkan oleh hukum-hukum syariah. Syariah Islam telah menetapkan pos-pos yang menjadi sumber pemasukan Baitul Mal, seperti kharaaj, fai’, dan lain sebagainya.

Syariah juga telah menetapkan pos-pos pengeluaran, tatacara pengeluarannya, dan pos-pos apa yang harus diberi anggaran serta pos-pos apa saja yang diberi anggaran jika ada kecukupan harta di Baitul Mal.

Pos-pos pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan oleh syariah dijadikan sebagai pos-pos yang langgeng. Alasannya, karena semua itu telah ditetapkan oleh syariah, sementara hukum syariah berlaku terus-menerus (langgeng) dan tidak berubah.

Adapun cabang-cabangnya, seperti kharaaj tanah pertanian, tanah yang diairi dengan sumur, dan lain sebagainya maka semua itu ditetapkan oleh Khalifah. Hal semacam ini termasuk bagian dari pengaturan urusan rakyat yang menjadi wewenang dan hak Khalifah.

Ketetapan dalam perkara ini diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah. Jumlah dan besarannya juga diserahkan kepada ijtihad dan pendapat Khalifah, seperti besaran kharaaj, jizyah, dan lain sebagainya.

Demikian pula penetapan pos-pos pengeluaran, jika pos-pos tersebut sudah ditetapkan oleh syariah. Pos tersebut akan dijadikan sebagai pos pengeluaran secara kontinyu karena telah ditetapkan oleh ada nas syariah.

Begitu pula jumlah dan kadar, jika sudah ditetapkan oleh syariah, seperti penetapan jumlah zakat yang harus dikeluarkan oleh muzakki, serta nisab harta, dan jenis harta yang dizakati maka semua itu dikembalikan kepada syariah. Adapun yang belum ditetapkan oleh syariah secara spesifik dikembalikan kepada ijtihad dan pendapat Khalifah.

Demikianlah. Penetapan pos-pos pendapatan dan pengeluaran dalam anggaran pendapatan dan belanja negara di dalam Negara Khilafah.  Semua pos pendapatan dan pengeluaran, jumlah, dan tatacara pengelolaan yang sudah ditetapkan oleh syariah ditetapkan apa adanya di dalam anggaran pendapatan belanja negara sesuai ketentuan syariah.

Adapun yang belum ditetapkan secara rinci dan spesifik oleh syariah, maka pengaturannya diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah. (Tela’ah Kitab Muqadimah Ad-Dustur, alwaie.net). Allahu’alam. (Annisa Aisha).

***

Judul: Kebijakan Pajak dan APBN Indonesia: Dampak, Tantangan, dan Solusi dalam Perspektif Islam
Penulis: Annisa Aisha, Pemerhati Kebijakan Publik
Editor: JHK

Sekilas tentang Penulis

Penulis ini bernama lengkap Annisa Aisha. Ia lahir di Cimahi pada 18 Desember 1989. Pendidikan tingginya dimulai di Jurusan Kimia Tekstil, Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Tekstil Bandung. Di kampus inilah ia  menjadi seorang aktivis kampus sehingga mulai membentuk perjalanan intelektual dan minatnya.

Annisa Aisha, Pemerhati Kebijakan Publik
Annisa Aisha, Pemerhati Kebijakan Publik – (Sumber: Koleksi pribadi)

Selama aktif di organisasi BEM, KAMMI, dan LDK, Annisa sering menulis komentar politik terkait isu-isu kampus dan nasional. Pengalaman ini membuat tulisannya cenderung sarat dengan perspektif Islam yang terus mewarnai karya-karyanya hingga saat ini, meskipun ia tidak lagi terlibat dalam organisasi-organisasi tersebut. Ketertarikannya terhadap geopolitik internasional dan isu-isu politik lokal menjadi bagian dari eksplorasi yang tidak pernah berhenti.

Selain menulis, membaca adalah aktivitas wajib dalam keseharian Annisa. Ia senang memperkaya wawasan melalui artikel, berita, dan buku, khususnya yang membahas Islam sebagai pandangan hidup, konsepsi politik, serta kajian hadis yang juga menjadi fokus perhatiannya.

Saat ini, Annisa bekerja sebagai content writer freelance yang memadukan teknologi seperti ChatGPT dengan HTML. Meski memiliki ketertarikan dalam SEO dan data analisis, bidang ini masih dipelajarinya secara terbatas. Pengalaman menulisnya selalu berusaha mencerminkan pemikiran yang analitis dan tajam, terutama dalam mengupas isu-isu yang kompleks.

Bagi Annisa, menulis adalah cara untuk mengasah kemampuan berpikir dan memperluas cakrawala, sekaligus menjadi medium untuk memengaruhi cara pandang pembaca. Ia percaya bahwa tulisan memiliki kekuatan besar dalam membangun dan membangkitkan pemikiran. Oleh karena itu, ia berkomitmen untuk terus menghasilkan karya yang tidak hanya informatif, tetapi juga inspiratif dan membangun.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *