ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Ngopi, Menulis, dan Hidup yang Terus Bergerak

BERITA JABAR NEWS (BJN)Rubrik OPINI, Sabtu (18/01/2025) – Artikel berjudul Ngopi, Menulis, dan Hidup yang Terus Bergerakini adalah sebuah esai karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Hidup adalah perjalanan yang penuh dinamika, termasuk ketika menjalani rutinitas menulis. Saya sering kali merasa bahwa aktivitas ini bukan sekadar tentang merangkai kata-kata menjadi paragraf. Di balik layar laptop atau kertas kosong, selalu ada tamu-tamu tak diundang yang datang tanpa aba-aba. Sebut saja mereka: Si Jenuh, Si Malas, dan Si Teu Beukian – sosok imajiner yang mewakili rasa bosan, malas, dan ketidaksukaan terhadap menulis. Mereka tidak pernah minta izin untuk mampir, tetapi selalu datang membawa “oleh-oleh” berupa persoalan hidup yang kadang membuat segalanya terasa lebih berat.

Didin Tulus
Didin Kamayana Tulus, Penggiat Buku tinggal di Kota Cimahi – (Sumber: Didin KT/BJN)

Si Jenuh biasanya datang dengan cara yang cukup sopan. Ia duduk di sudut meja, mulai merengek, dan mengajak saya untuk berhenti sejenak. “Ayo ngobrol saja, baca artikel yang enteng, atau scrolling media sosial,” katanya. Pada awalnya, saya sering menganggap bahwa mendengarkannya sesaat tidak akan merusak apa-apa, tapi sebelum saya sadar, waktu sudah berlalu tanpa satu kalimat pun yang tercipta.

Sementara itu, Si Malas hadir dengan agenda yang lebih berbahaya. Ia membawa perhitungan-perhitungan materi, menyoroti hal-hal seperti uang, honor, dan pertanyaan menggelitik seperti, “Apakah menulis ini benar-benar ada manfaatnya?” Si Malas membuat saya mempertanyakan motivasi saya sendiri, menanamkan keraguan apakah usaha ini layak untuk dilanjutkan. Jika saya terlalu lama mendengarkan bisikannya, semangat menulis sering kali perlahan menguap, meninggalkan rasa frustrasi.

Kemudian, ada Si Teu Beukian – tamu paling sulit ditangani. Sosok ini hadir bukan hanya dengan rasa bosan atau malas, tetapi dengan sikap tidak suka yang mendalam terhadap aktivitas menulis. Ia bertanya dengan sinis, “Kenapa harus menulis? Bukankah ada cara lain untuk menjalani hidup? Apa gunanya semua ini?” Pertemuan dengan Si Teu Beukian sering kali terasa seperti perang mental, membuat saya bergulat dengan pemikiran bahwa tidak semua orang menghargai atau membutuhkan tulisan.

Namun, saya menyadari bahwa membiarkan mereka tinggal terlalu lama hanya akan memperburuk keadaan. Kehadiran mereka adalah tantangan, tapi juga pengingat bahwa menulis bukan sekadar soal aktivitas, melainkan soal menjaga semangat hidup. Ketika saya menulis, saya menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata: saya membangun jejak pemikiran, menuangkan cerita, dan berbagi pemahaman yang mungkin bermanfaat bagi orang lain.

Bayangkan jika satu keluarga, satu kampung, atau bahkan satu negara tidak lagi memiliki kebiasaan membaca dan menulis. Betapa suramnya masa depan kita! Membaca dan menulis adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Mereka adalah kunci untuk membuka wawasan, menumbuhkan imajinasi, dan menjaga kita tetap relevan di tengah arus perubahan zaman.

Saya menyadari bahwa menulis adalah investasi. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Setiap tulisan yang dihasilkan, betapapun sederhananya, memiliki potensi untuk menginspirasi. Ia adalah sumbangan kecil untuk peradaban, bukti bahwa kita peduli terhadap dunia di sekitar kita. Lebih dari itu, menulis adalah cara untuk melawan lupa, menjaga ingatan, dan memberikan ruang bagi suara hati.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan dan godaan untuk menyerah pada Si Jenuh, Si Malas, dan Si Teu Beukian, saya memutuskan untuk terus menulis. Saya ingin menjadikan menulis sebagai kebutuhan, bukan sekadar aktivitas tambahan yang dilakukan ketika ada waktu luang. Sama seperti secangkir kopi yang menyegarkan pikiran di pagi hari, menulis adalah cara saya untuk kembali berenergi, menyusun rencana, dan bergerak maju.

Hari ini, saya mengundang Anda untuk ikut serta. Singkirkan keraguan, bosan, dan rasa malas yang mungkin menyelimuti. Jangan takut untuk mencoba, gagal, atau merasa tulisan Anda tidak cukup baik. Menulis bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang keberanian untuk menuangkan isi pikiran dan berbagi cerita.

Jadi, mari kita ambil secangkir kopi – atau teh, jika Anda lebih suka. Duduklah sejenak, dan mulailah menulis. Jangan pikirkan hasilnya, fokus saja pada prosesnya. Si Jenuh, Si Malas, dan Si Teu Beukian mungkin masih akan datang, tetapi kali ini, biarkan mereka menjadi tamu yang lewat, bukan penghuni tetap dalam hidup kita.

Ingatlah, membaca dan menulis adalah kunci untuk maju dan siapa tahu? Mungkin, suatu saat nanti, tulisan Anda akan menjadi cahaya bagi orang lain di tengah kegelapan. Ngopi dulu, lalu menulis – karena hidup ini, seperti kata orang bijak, selalu bergerak.

***

Judul: Ngopi, Menulis, dan Hidup yang Terus Bergerak
Penulis: Didin Kamayana Tulus
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *