Berita Jabar NewsCerpenSastra

Cerpen “Pendakian Malam”

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra – Cerpen berjudul “Pendakian Malam” ini merupakan buah karya original dari D.S. Samdani yang sering menggunakan nama nama pena “Manjaropai”.  Beberapa karya cerpennya pernah terbit di media online Pratama Media News, salah satunya berjudul “Kenapa Aku”.

Berapa umur Anda? Dua puluh tahun? Tiga puluh tahun? Empat puluh tahun? Atau lebih? Mungkin kurang? Yang jelas para pembaca pastinya telah mengalami banyak kejadian dalam fase kehidupan Anda. Semua itu tentunya tercatat dalam arsip di memori otak Anda dan kita semua.

Berikut sepenggal kisah yang menggambarkan sebuah fase dalam perjalanan hidup yang pernah saya alami dan rasakan. Mungkin Anda juga pernah mengalaminya. Kisah ini dimulai ketika hari mulai senja di sebuah lereng gunung yang berlokasi di ujung perkebunan dan batas vegetasi.

Pendaki gunung
Ilustrasi: Suasana mendaki gunung pada malam hari – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Saya dan beberapa teman yang termasuk dalam serombongan pendaki sedang menatap resah ke dalam hutan. Kemudain berbalik arah melihat matahari yang mulai meredup dengan cahaya jingganya. Entah karena disengaja atau tidak, tetapi dalam perhitungan normal ini sebenarnya bukan waktu yang tepat bagi kami untuk mendaki karena waktu sudah terlalu sore.

Umumnya pendakian dilakukan pagi sehingga diperkirakan jika perjalanan dalam kondisi normal maka saat siang atau sore para pendaki sudah tiba di puncak. Namun, perjalanan kami ini memang sedikit beda dan di luar perhitungan. Akibat terlambat memulai pendakian, rombongan kami pun sempat mengalami beberapa masalah sehingga tiba di tepi hutan ketika matahari mulai tenggelam.

Kondisi ini tentu membuat sebagian pendaki merasa resah dan tidak nyaman. Namun, kami berusaha menetralisir keadaan dengan saling bercanda dengan santai. Bahkan, salah seorang dari kami berucap, “Selama kita bersama, tidak masalah kita terlambat atau tidak.”

Pendaki lainnya pun menimpalinya, “Baguslah, kita kan berjalan malam hari sehingga tidak mudah haus.”

Kami pun memutuskan untuk beristirahat di suatu tempat di sisi hutan sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali memulai perjalanan dengan target bisa tiba di puncak menjelang matahari terbit atau sekitar pukul 4-5 dini hari sehingga bisa menikmati indahnya sun rise.

mendaki gunung
Ilustrasi: Kami memutuskan istirahat di tepi hutan sebelum melanjutkan perjalanan mendaki puncak gunung – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Jika perjalanan mendaki gunung tersebut dihitung paling lambat sekitar tujuh jam maka perjalanan akan di mulai pada pukul 21:00 malam. Artinya ada waktu tiga jam yang bisa kami habiskan di tempat tersebut. Biasanya momen ini dibutuhkan untuk proses carbo loading alias makan, sebelum kembali action. Hal itu juga diperlukan untuk proses aklimitasi untuk mencocokan suhu tubuh kita dengan suhu di sekitarnya.

Mendaki gunung
Ilustrasi: Kami melepas lelah sejenak sambil menyiapkan makan malam di lereng hutan tropis yang lebat – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Keberangkatan semalam mungkin pun dilakukan agar rombongan kami tidak tiba di puncak terlalu cepat. Segala sesuatu kami persiapkan sedetail mungkin. Bahkan, segenggam Chlorpheniramine atau CTM pun dipersiapkan sehingga bisa dikonsumsi jika diperlukan untuk membantu kami tidur saat udara dingin sehingga bisa tertidur pulas hingga matahari terbit.

Salah seorang anggota rombongan kami bernama Davis yang boleh dibilang sebagai leader menjelaskan bahwa kami harus waspada dan ekstra hati-hati, meskipun semuanya sudah dipersiapkan dengan baik, tetapi kondisi pendakian kali ini beda dari biasanya, ini  pendakian malam.

“Pertama yang harus sangat diperhatikan, masing masing harus sudah menggenggam alat penerangan sendiri-sendiri. Pastikan P3K dan obat-obatan pribadi ada di bagian ransel terluar. Botol minum masing-masing harus sudah terisi penuh dan ditempatkan di tempat yang mudah terjangkau,” ujar Davis kepada kami dengan nada serius.

Susunan keberangkatan pun diatur dari pembuka jalan hingga team sweaping. Ardi meminta kami untuk mengingat siapa saja nama teman kami yang berada di depan dan di belakang. Semua anggota rombongan tampaknya sudah memahami dan siap melaksanakan instruksi karena sudah terbiasa, kecuali Rinto, anggota rombongan termuda. Dia tampaknya sedikit kebingungan. Maklu, ini pengalaman pertamanya ikut pendakian.

“Kita kan bersama? Ada abang-abang semua. Kita melakukan perjalanan yang sama, kenapa harus se ribet ini?” Ujar Rinto penasaran.

Davis yang mengatur semuanya hanya menjawab singkat, “Nanti kau pun tahu. Sudah, ingat saja posisimu orang ketiga dan ingat saja nama orang yang ada di depan dan belakang. Pastikan kamu masih bisa berkomunikasi dengan mereka, itu tugas kamu. Paham?”

Perjalanan pun dilanjutkan saat jam menunjukan tepat pukul 21.00. Usai melakukan doa bersama, rombongan kami mulai melangkah memasuki hutan. Beberapa orang yang berpengalaman justru memasang muka tegang saat memasuki hutan dan Rinto merasa keheranan melihat para seniornya begitu tegang. Suasana mulai gelap. Semakin dalam memasuki hutan, pandangan semakin pekat, apalagi ditambah datangnya kabut malam yang membuat jarak pandang manjadi pendek.

Lima belas menit beralu, suasana masih sedikit cair dengan teriakan Davis dari belakang yang memanggil Arya yang berada pada posisi paling depan. Kami terus berjalan sambil membicarakan kondisi jalan yang mulai terjal.

Dalam gelapnya malam, kami dibantu head lamp yang dimiliki semua pendaki. Kami saling bahu membahu melewati jalanan terjal dan berliku.

Satu jam berlalu. Napas kami mulai terasa berat. Langkah pun tidak semulus sebelumnya. Jarak antara kami pun mulai menjauh.

Menjelang dua jam perjalanan, jarak antara kami sudah semakin tidak karuan. Hanya kilatan senter dari orang di depan yang terlihat, itu pun timbul tenggelam terhalang pepohonan. Komunikasi yang dilakukan hanya teriakan memanggil nama yang ada di depan atau di belakang untuk memastikan keberadaannya.

Waktu terus berlalu. Tiga jam berjalan nyaris tanpa henti. Badan sudah semakin lelah diselingi rasa kantuk yang mengganggu konsentrasi.

Beberapa kali sempat terdengar ada seperti suara orang terpeleset dan terjatuh. Namun, rekan yang lainnya hanya berteriak, “Siapa itu?” Lantas dijawab singkat, “Aku,” lalu disambung lagi oleh lawan bicaranya,  “Masih bisa bangun kan?” Terus dijawab lagi, “Masih, ayo lanjuut.”

Suasana kembali hening. Senyap. Hutan bagaikan tanpa penghuninya. Hanya kegelapan dan yang ada di sekitar kami dan kilatan cahaya head lamp yang membelah kegelapan.

Tidak lama kemudian suasana hening terpecah dengan suara orang terpeleset. Rinto yang ada di tengah sedang berusaha menaiki lereng dengan kemiringan 40 derajat sepanjang lima meter, sialnya kakinya menginjak lumut dan tanah gembur sehingga terpeleset. Dia tersungkur ke tebing sejauh lima meter, kondisinya cukup mengkhawatirkan.

“Ahhhh…..wadauuu, sakiiiiit,” teriak Rinto spontan.

Untung saja tubuh Rinto tertahan batang pohon yang cukup kuat sehingga tidak mengelosor ke jurang. Beberapa properti yang dibawanya sedikit rusak akibat benturan, terutama head lamp-nya karena sempat terlepas dari kepalanya.

pendaki gunung terpleset
Ilustrasi: Rinto terpleset di tepi jurang yang terjal sedang berusaha naik, untung tubuhnya tertahan dahan pohon – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Rinto berusaha mencari tahu keberadaan head lamp-nya dengan cara meraba-raba apa saja yang ada di sekitarnya. Sementara Arya yng berada di depannya mendengar itu berteriak sambil melihat jalan terjal yang berada di belakangnya.

“Siapa itu? Baik baik saja?” Ujar Arya sambil melihat jalan terjal yang barusan telah dilewatinya.

Arya berharap tidak terjadi hal-hal yang membahayakan dan terhadap Rinto yang ada di belakangnya karena kalau ada masalah serius, dia malas untuk kembali turun ke tempat temannya tersebut dan naik kembali ke posisinya sekarang.

Sementara itu Davis yang berada di posisi belakang pun khawatir dan berteriak menanyakan kondisi Rinto. Anak muda itu diam,  tak terdengar suaranya yang membuat Davis sedikit tegang. Namun, beberapa saat kemudian terdengan rintihan Rinto.

Head lamp aku … Head lamp aku lepas. Ini lagi aku nyari Bang,” terdengar suara Rinto dengan nada kebingungan.

Rinto berharap teman-temannya bisa datang dan membantu pencariannya. Sementara Davis yang berada di posisi kelima sedang terhalang oleh Agus yang bergerak lambat di posisi keempat.

Rasanya tak mungkin mengandalkan Agus yang berjalan bagaikan keong. Dia tampaknya juga sudah kelelahan. Jadi, tak rasanya tak mungkin Agus mampu mendekati posisi Rinto yang sekarang sedang membutuhkan bantuan.

Satu sisi, Davis berpikir keras untuk bisa menuju posisi Rinto karena selain dia harus melewati Agus, posisinya juga cukup jauh dan jalurnya cukup terjal. Tidak ada satu pun yang beraksi di antara kami untuk membantu Rinto. Pendaki yang ada di bawah kerepotan untuk menyusul Rinto, sementara pendaki yang di atas keberatan untuk turun lagi.

Akhirnya dengan segala alasannya masing-masing, kami hanya bisa berteriak, “Sudah ketemu? Jangan panik! Tetap tenang cuy!”

Rinto yang merasa mulai panik pun akhirnya menemukan head lamp-nya dengan kondisi mati sebelah. Lalu dia melanjutkan perjalanan dengan kondisi agak gelap.

Naik gunung
Ilustrasi: Rinto akhirnya siap melanjutkan kembali perjalanannya menuju puncak gunung – (Sumber: Bing Image Creator/Dall-E)

“Ada nih, tapi mati sebelah lampunya. Lanjuuuuut … mudah-mudahan di puncak ada Kang service,” teriak Rinto masih berusaha bercanda.

Kami mulai bergerak kembali, begitu juga Rinto yang berjalan setengah meraba karena lampunya tidak sempurna. Cahaya bulan yang menembus celah dedaunan cukup membantu gerakan Rinto untuk menuju puncak.

“Waduuuuuuh, gelap nih. Lampuku somplak ini,” keluh Rinto sambil terus bergerak bagai keong racun.

“Pelan-pelan aja jalannya cuy,” jawab teman-temannya dengan jawaban singkat dan napas berat.

Perasaan Rinto mulai resah  karena tubuhnya sudah semakin lelah. Dia berharap cahaya bulan mampu memberikannya pandangan tambahan sehingga tidak terlalu gelap.

Jalan malam di tengah hutan lebat yang sama-sama memerlukan oksigen tentu membuat napas kami semakin sesak. Jika kondisi siang, tentu kehadiran pohon hijau ini sangat membantu kami karena merupakan sumber oksigen, tapi berbeda dengan kondisi malam. Justru tumbuhan pun memerlukan oksigen seperti kami sehingga kondisi ini membuat perjalanan kami menjadi tidak mudah.

Rinto meratapi perjalanannya dan berusaha berusaha memaklumi sikap teman-temannya yang tidak mudah untuk membantu, terutama Agus. Jangankan membantu dia, membentu dirinya sendiri saja sudah kerepotan. Berjalan pun Agus sudah memaksakan diri. Kalau tahu begini, mungkin Agus tak akan ikutan mendaki.

Saat itu sempat terpikir dalam benak Davis betapa repotnya dia kalau harus menolong Rinto. Mau tak mau dia harus menjaga Agus yang berada di posisi belakang dan Anto yang berada di depan Rinto. Belum lagi dia sudah menggendong dua ransel, satu ransel miliknya dan satu lagi ransel milik Agus. Sementara Arya yang berada di posisi paling depan kasian kalau dia harus turun juga dari posisinya yang sudah cukup jauh menuju puncak.

Kondisi yang terjadi sebenarnya bukan tidak ada teman yang mau membantu, tetapi tidak ada teman yang sanggup membantu. Bukan kami tidak peduli, buktinya kami masih saling sahut menanyakan kabar Rinto.

Menyaksikan sun rise di puncak gunung
Ilustrasi: Rasa lelah kami terbayar sudah ketika sempat menyaksikan indahnya kemunculan sinar sang surya dari ufuk timur – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Beberapa saat Rinto memejamkan mata dan berdoa kepada Allah. Selesai berdoa, Rinto perlahan membuka matanya. Tidak disangka setelah matanya terpejam, beberapa setelah matanya dibuka, kini mata Rinto menjadi lebih sensitip pada gelap. Dia bisa melihat walau tanpa cahaya head lamp. Sebuah keajaiban. Aneh, tapi nyata!

Dengan kepekaan mata Rinto dan sedikit bantuan cahaya bulan, Rinto terus berjalan dan tiba di puncak sebelum matahari terbit. Hanya menunggu sekitar 30 menit, matahari dengan sinarnya yang genit mulai menyapa kami dari ufuk timur. Sebuah pemandangan yang sangat indah pun dapat kami nikmati sebagai buah perjuangan pendakian yang melelahkan. (Manjaropai).

***

Judul: “Pendakian Malam”
Pengarang: Manjaropai
Editor: JHK

Sekilas tentang pengarang

Manjaropai adalah nama pena dari D.S. Samdani. Mantan karyawan di sebuah perusahaan internasional ternama ini pernah terpaksa memilih resign dari tempatnya bekerja daripada terlibat dengan permainan  curang yang dilakukan kantor tempatnya bekerja. Selama masa pandemi, ia lebih memilih jadi driver ojek online daripada bekerja di tempat yang diragukan kehalalannya.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *